Tentang Lampung di buku Hukum Adat Indonesia oleh Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko (3)
Catatan Rilda Taneko
Perkawinan di Lampung
Khususnya pada masyarakat Abung Siwo Mego (Abung Sembilan Marga) dan Pubian Telu Suku (Pubian Tiga Suku), sama sekali tidak dikenal perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang merupakan anak dari saudara sekandung laki-laki. Akan tetapi pada masyarakat Rarem Mego Pak (Rarem Empat Marga) dan Buay Lima (Sungkai dan Way Kanan), perkawinan yang disebutkan tadi dapat dilangsungkan. Namun, perkawinan ini bukanlah merupakan suatu kelaziman, dan alasan yang mendorongnya adalah agar harta menjadi tetap utuh atau karena keluarga yang bersangkutan hanya mempunyai anak tunggal.
Pada masyarakat Lampung, perkawinan yang lazim (umum dilakukan) adalah perkawinan antara orang laki-laki dengan orang perempuan yang merupakan anak dari dua saudara sekandung perempuan. Sedangkan perkawinan antara anak dari saudara sekandung laki-laki dan perempuan juga dapat dilangsungkan. Masyarakat di sana berpendapat bahwa adalah tidak layak apabila setiap anak dapat melangsungkan perkawinan pada dua keluarga yang sama.
Perkawinan yang di dalam ilmu antropologi disebut dengan leviraat dan sororaat, pada masyarakat Lampung juga dilakukan. Dengan perkawinan leviraat (Lampung: nyemalang-nyikok) adalah perkawinan seorang perempuan (janda) dengan seorang laki-laki yang merupakan adik atau kakak dari almarhum suaminya. Sedangkan perkawinan sororaat, adalah kebalikan dari pengertian perkawinan leviraat.
Rupa-rupanya, masyarakat Lampung tidak lagi mengenal perkawinan anak-anak, di mana laki-laki dan perempuan masih berstatus anak-anak (Lampung: sanak).
Sampai dengan saat sekarang, masih tetap berlaku ketentuan bahwa perkawinan itu hanya dapat dilakukan di antara anggota masyarakat yang tidak sesuku (bilik), juga masih berlaku ketentuan bahwa perkawinan itu hanya dapat dilangsungkan antara mereka yang serumpun (sama-sama anggota masyarakat Lampung). Tetapi ketentuan ini tidak menutup kemungkinan untuk melakukan perkawinan dengan orang luar masyarakat itu, dengan cara melalui pengangkatan menjadi anggota masyarakat itu.
Pada masyarakat hukum adat Lampung yang beradat Pepadun ditentukan pula siapa dengan siapa yang tidak dibolehkan untuk melangsungkan perkawinan, yaitu antara dua orang yang masih mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas maupun ke bawah, antara dua orang yang masih berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara saudara orangtua, antara saudara nenek, antara dua orang yang masih berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu dan bapak tiri, dan antara dua orang yang masih berhubungan sesusuan.
Kawin Lari
Bila calon suami-istri melakukan lari bersama dengan tiada peminangan atau pertunangan secara formal, maka terjadi perkawinan lari bersama atau sama-sama melarikan diri (wegloophuwelijk, vlychyhuwelijk). Rupa-rupanya cara yang demikian ini merupakan cara yang umum dalam melakukan perkawinan di dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem patrilineal, dan juga terdapat dalam wilayah-wilayah masyarakat yang menganut sistem kekerabatan bilateral, malahan dapat diketemukan pula pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal.
Perkawinan dengan cara lari bersama ini dilakukan untuk menghindarkan diri dari berbagai keharusan sebagai akibat perkawinan dengan cara pelamaran atau peminangan, atau juga untuk menghindarkan diri dari rintangan-rintangan dari pihak orangtua dan saudara, yang terutama datangnya dari pihak orangtua dan saudara pihak perempuan. Alasan yang dikemukakan terakhir inilah kiranya yang merupakan alasan utama mengapa dilakukannya perkawinan dengan cara lari bersama.
Dalam proses lari bersama di Lampung, misalnya, biasanya kedua belah pihak (calon suami-istri) telah menyusun suatu rencana yang cukup matang dan hati-hati, terutama mengenai uang tengepik dan surat tengepik, serta waktu atau saat untuk melakukan lari bersama itu.
Mengenai besarnya uang tengepik, sangatlah tergantung pada status dari orangtua laki-laki dari pihak perempuan (calon istri). Apabila status orangtua laki-laki pihak perempuan itu misalnya adalah penyimbang marga, maka jumlah uang tengepik haruslah mengandung angka 24, artinya bahwa uang tengepik itu bolehlah berujud Rp 240, Rp 2.400, Rp 24.000 atau 240.000 atau juga Rp 2.400.000. Tetapi apabila status orangtua laki-laki pihak perempuan itu adalah penyimbang tiyuh maka uang tengepik itu haruslah dalam jumlah yang mengandung angka 12, misalnya Rp 1.200, Rp 12.000, atau Rp 120.000 dan seterusnya.
Pada umumnya surat tengepik dibuat oleh pihak perempuan, tetapi dapat juga dibuat oleh si pemuda, yang dicontoh oleh si gadis, atau dibuat secara bersama-sama. Yang penting surat tengepik itu harus nyata merupakan tulisan dari si gadis (pihak perempuan). Surat tengepik ini haruslah berisi keterangan tentang uang tengepik, tempat atau kampung sebagai tujuan, keterangan mengenai diri si pemuda (siapa dan anak siapa), pernyataan mohon maaf kepada orangtua, keluarga atau kerabat atas perbuatan tersebut, juga memuat suatu permohonan agar memperoleh penyelesaian dengan baik, serta pernyataan bahwa lari bersama itu adalah atas kehendak sendiri.
Pada saat hendak menjemput si gadis untuk lari bersama, pihak laki-laki itu ditemani oleh keluarga yang berstatus paman, atau saudara-saudaranya, dan si gadis tersebut harus ditempatkan di rumah keluarga pihak laki-laki yang berstatus sebagai kepala kelompok keluarga yang disebut penyimbang. Penyelesaian dari cara lari bersama ini dimulai dengan cara pihak laki-laki datang untuk menyatakan bahwa telah melakukan perbuatan salah dan memohon maaf (ngantak salah) kepada keluarga pihak si gadis, dan tempat untuk ngantak salah ini sudah tentu tidak pada keluarga yang gadisnya dilarikan. Biasanya ngantak salah ini dilakukan pada keluarga pihak gadis yang mempunyai kedudukan sebagai penyimbang. Pemaparan proses kawin lari (lari bersama) yang terjadi pada masyarakat Lampung ini oleh Rizani Puspawidjaja dkk, 1981:31.
Perkawinan Bawa Lari
Yang disebut perkawinan bawa lari (schaakhuwelijk) berupa lari dengan seorang perempuan yang sudah dituangkan atau dikawinkan dengan orang lain atau membawa lari perempuan dengan paksaan. Acapkali antara perkawinan lari bersama (wegloophuwelijk) dengan perkawinan bawa lari (schaakhuwelijk) sukar untuk dibedakan. Salah satu ukuran yang dapat dijadikan patokan bahwa telah terjadi perkawinan bawa lari pada masyarakat Lampung adalah tidak adanya surat tengepik. Apabila si gadis dilarikan dengan tanpa surat tengepik, ini berarti tidak ada persetujuan dari pihak si gadis. Dengan demikian, di sini telah terjadi perkawinan bawa lari. Hal ini sudah tentu membawa konsekuensi yang sifatnya negatif, baik bagi si gadis maupun keluarganya, demikian juga terhadap si pemuda dengan keluarganya.
Upacara Adat pada Perkawinan Masyarakat Lampung
Upacara perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat Lampung pada dasarnya ditentukan oleh cara yang digunakan untuk dapat melangsungkan perkawinan. Apabila yang digunakan adalah cara pelamaran, maka …
>> BERSAMBUNG