Human

Tentang Lampung di buku Hukum Adat Indonesia oleh Soerjono Soekanto dan Soleman B Taneko (6-Habis)

Tari Sekura. | Ist

Catatan Rilda Taneko

Perkawinan Ambil Anak dan Perkawinan Mengabdi

Perlu diingatkan kembali bahwa masyarakat patrilineal itu didasarkan atas pertalian darah menurut garis bapak. Oleh karena itu perkawinan dalam sistem ini akan mengakibatkan si istri tersebut menjadi warga masyarakat dari pihak suaminya.

Corak utama dari perkawinan pada sistem kekeluargaan patrilineal ini adalah disertai dengan pembayaran perkawinan. Maksud dari pembayaran perkawinan (jujur) oleh pihak laki-laki kepad keluarga pihak perempuan merupakan tanda bahwa hubungan kekeluargaan si istri dengan orangtuanya, saudara-saudaranya, bahkan masyarakatnya telah diputuskan. Sebagai konsekuensi dari keadaan itu maka anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menarik garis keturunan pihak ayahnya dan akan menjadi anggota dari masyarakat hukum adat di mana ayahnya menjadi anggotanya.

Oleh karena itu apabila perkawinan dilakukan tanpa pembayaran perkawinan (tanpa jujur) maka perkawinan yang demikian itu dimaksud untuk mengambil si suami sebagai anak laki-laki mereka, sehingga si istri akan berkedudukan tetap sebagai anggota klan-nya dan anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut akan menarik garis keturunan melalui ayahnya (yang pada dasarnya telah menjadi anggota klan istri, sehingga praktis ayahnya itu menjadi anak lelaki dari ayahnya si istri).

Perkawinan yang demikian ini lazimnya disebut sebagai perkawinan ambil anak (inlijfhuwelijk).

Salah satu alasan dilakukannya perkawinan ambil anak (semanda) adalah karena ada keluarga yang tidak mempunyai anak lelaki. Adanya anak perempuan belaka akan mengakibatkan hubungan patrilineal-nya mupus.

Dengan semanda berarti hubungan kekeluargaan antara suami dengan keluarganya sendiri menjadi putus dan si suami masuk menjadi anggota keluarga si istri (tetapi hal ini tidak selalu demikian –akan terlihat pada uraian di bawah).

Si istri dalam kegiatan adat mempunyai peran sebagai kepala keluarga dan yang diwakilkan pada suaminya (Rizani Puspawidjaja dkk, 1981:31).

Perkawinan ambil anak pada masyarakat Lampung Pepadon dapat dilakukan dengan jalan:

  1. Suatu perkawinan yang menyebabkan anak saudaranya (kawin tegaq-tegi);
  2. Seorang lain dipungut masuk dalam kerabat si bapak dan sebagai anak mantu laki-laki memperoleh kebesaran dan warisannya, agar supaya kelak diwariskan kepada anak laki-lakinya, singkatnya anak lelaki dari mantu dan anak perempuan bapak tersebut;
  3. Suatu perkawinan yang menyebabkan si suami betul beralih ke kerabat istrinya, tetapi ia hanya memelihara saja kebesaran dan warisan untuk istrinya dan anak lelakinya kelak, anak lelaki mereka juga (jeng mirul);
  4. Suatu perkawinan yang menyebabkan si suami tidak beralih dari kerabatnya sendiri, tetapi hanya diluluskan sebagai penurun anak-cucu (nginjam jago).

Apabila perkawinan dilakukan dan pembayaran perkawinan ditunda atau dihutang, maka si suami bekerja mengabdi pad kerabat mertuanya sampai jujurnya lunas. Perkawinan yang demikian ini oleh Ter Haar disebut sebagai perkawinan mengabdi (dienhuwelijk).

Di sini suami tidak masuk dalam kerabat istrinya, anak-anak yang lahir dalam masa pengabdian biasanya masuk dalam golongan sanak-saudara istri, tetapi bila jujurnya telah lunas dibayar maka keadaan ini akan berubah.

Suatu perkawinan mengabdi yang disebut ngisik terdapat di kalangan orang-orang puminggir di Lampung, di mana si suami memberi nafkah kepada kerabat pihak si istri. Sebagai akibat untuk mempertahankan garis keturunan patrilineal (di mana si istri telah menjadi anggota kerabat si suami), maka terdapat ketentuan yang merupakan kebolehan bahwa saudaranya yang laki-laki meneruskan perkawinan apabila si suami meninggal dunia, dengan tanpa pembayaran jujur lagi.

Tetapi kenyataan yang ada hal ini tidak saja dilakukan apabila si suami atau pihak laki-laki yang meninggal dunia, akan tetapi apabila si istri yang meninggal dunia maka ia dapat digantikan oleh saudara perempuannya.

Tekanan bukanlah terletak pada cara mempertahankan garis keturunan patrilineal, akan tetapi lebih ditekankan pada terjalinnya keutuhan keluarga (hubungan kekeluargaan) dan pada kehidupan anak-anak yang lahir dari perkawinan yang lalu tetap terpelihara, untuk menjaga keutuhan harta kekayaan (harta perkawinan). []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top