Pustaka

Cinta Lama yang Tiada Bersemi Kembali, Sebuah Autofiksi dari Udo Z Karzi

Oleh Iwan Nurdaya-Djafar

NOVEL terbaru Udo adalah novel romantis berlatar gerakan mahasiswa dasawarsa 1990-an. Sinopsisnya, melalui surat yang ditujukan kepada Pithagiras, Kenut Ali Kelumbai menuturkan tentang betapa dia tak pernah berhenti mencintai Pithagiras. Tapi, waktu dan keadaan, tetap menyimpan perasaan Kenut terhadap Pithagiras. Tak terkatakan dan pula tersurat sampai puluhan tahun kemudian. Lalu, Kenut kenal dengan Vitalita Dania yang mirip dalam nama dan banyak hal dengan Pithagiras. Dimulailah kisah asmara itu. Tapi, semua tak berjalan seperti yang Kenut dambakan. Musibah pun menimpa keluarga dan sanak-familinya di Liwa, Lampung Barat yang tertimpa gempa. Sebagai aktivis dan penulis, ia ditangkap dan ditahan aparat. Sekeluarnya dari penjara, Kenut pun harus rela kehilangan banyak hal, teman, termasuk kekasih.

Berikut petikannya: “Aku terlambat memahami semua ini. Kini semua menjauh. Aku telah kehilangan segalanya. Aku mencoba membayangkan satu persatu wajah-wajah orang yang kukasihi. Mulai dari dirimu, Pitha, yang begitu dekat, tetapi sedari awal rasanya memang tak bisa terjangkau olehku. Ada Tari yang manis, tetapi terlalu singkat untuk mengenalnya lebih dekat karena terpaksa atau dipaksa orang tuanya menikah dengan seorang lelaki yang sudah mengikat keluarganya dengan budi. Tari menikah muda sekali ketika ia belum lagi naik kelas dua SMP. Aku hampir tak percaya di zaman yang bergerak maju, masih saja berlaku perjodohan ala Siti Nurbaya. Aku ingin menentang itu. Tapi, apalah dayaku. Sebab, menampak padaku Tari nyatanya senang-senang saja. Mengapa pula aku harus peduli dan membela nasib Tari? Setelah itu Tiara, adikku sayang yang harus pergi meninggalkan keremajaannya bersama ratusan saudaraku yang lain yang menjadi korban gempa Liwa 1994 yang meluluhlantakkan Bumi Beguai Jejama. Lalu, Vitalita Dania yang sempat menjadi tumpuan kasih-sayang dan harapanku di masa depan. Namun, ternyata dalam perjalanan waktu sulit dia menerima keadaan diriku yang serba-membingungkan, sering bikin cemas, penuh ketidakpastian, dan akhirnya memilih seseorang yang lebih bisa memberikan hal yang lebih jelas dan konkret. Dan, Nafsiah … ah, malangnya dirinya … Bukan, bukan dirinya yang malang, melainkan akulah yang bodoh dan sialan karena telah mengabaikan sekeping hati yang penuh ketulusan berharap mendapatkan sambutan dariku hingga akhir hayatnya. Kanker telah merenggut nyawanya tanpa aku bisa berbuat apa-apa. Semua menjadi gelap. Jalan-jalan membelukar dan penuh onak. Sementara, semangat dan vitalitas hidupku telah jatuh ke jurang yang paling dalam. Oohh … apa kini yang bisa aku lakukan? (hlm 141—142)

 “Setelah itu, kami menikmati jalan-jalan setapak di bawah terik matahari. Menelusuri pematang sawah, menapaki sela-sela kebun, dan memandang aneka tetanaman yang tumbuh di perladangan sambil berpegang tangan. Berbincang, bertukar senyum, dan kadang tertawa. Duh, lumayan mesra.” (hlm 71)

“Karena itu, daripada mengadu pada yang masih hidup yang tidak mau mendengar dan tidak bisa membantu apa-apa, lebih baik melapor kepada arwah para pahlawan bahwa telah terjadi penindasan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan di tanah yang mereka perjuangkan dulu.” (hlm 117)

Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis adalah sebuah novel romantis berlatar gerakan mahasiswa 1990-an, gempa Liwa 1994, dan keindahan hamparan perkebunan kopi di kaki Gunung Pesagi. Udo mengambil bentuk surat untuk menuturkan pelbagai hal mulai dari cinta lama yang tiada bersemi kembali, gempa Liwa 1994, gerakan mahasiswa, hingga perkebunan kopi di kaki Pesagi dan musim bunga di Kota Liwa yang berudara sejuk. Novel terdiri atas 24 bab. Karena mengambil bentuk surat, sejumlah bab diawali dengan “Phita yang baik”, bahkan “Pitha yang manis” dan “Pitha yang cantik” dalam bab “Mawar Merah untukku.” Pitha adalah sapaan pendek untuk Pithagiras dan tokoh “aku” bernama lengkap Kenut Ali Kelumbai yang disapa Kenut atau Nut.

Seperti novel Udo sebelumnya, Negarabatin, novel ini pun berupa autofiksi atau novel biografis yang menceritakan pengalaman tokoh “aku” saat duduk di SMP, saat terjadi gempa Liwa, kota tempat tokoh “aku” berasal dan tempat tinggal orang tua, adik-adik, kakek-nenek, dan sanak famili. Juga saat menjadi jurnalis kampus dan mahasiswa aktivis. Udo juga bercerita tentang Atul, yang bernama lengkap Saidatul Fitriah, jurnalis/fotografer surat kabar mahasiswa Teknokra yang menjadi korban kekerasan  aparat dalam Tragedi UBL (Universitas Bandar Lampung) Berdarah, 28 September 1998 (mestinya: 1999). Atul (21 tahun) mahasiswa FKIP Unila meninggal pada 3 Oktober 1999 karena kepalanya retak akibat dipopor tentara saat sedang menjalankan tugas jurnalistik meliput demontrasi mahasiswa menentang RUU Penanggulangan Keadaan Bahaya.

Novel biografis atau autofiksi (fiksi autobiografis) adalah suatu genre sastra yang mengombinasikan elemen-elemen autobiografi dan sastra. Di dalam autofiksi, detail-detail dari kehidupan penulis dipadukan dengan informasi fiksional, para karakter (tokoh cerita), dan peristiwa-peristiwa. Karya ini merupakan naratif personal yang dituturkan melalui lensa ingatan, kesan-kesan masa lalu dan masa kini.

Pada “Ucapan Terima Kasih” untuk novel ini, Udo menulis, “Gerakan mahasiswa di Lampung tahun 1990-an prareformasi 1998, gempa bumi Liwa pada 16 Februari 1994, dan suasana perkebunan kopi robusta di tanah kelahiran saya berputar-putar di kepala saya sekian lama. Saya harus menulis sebuah novel dengan latar ketiga situasi itu, begitu yang terpikir oleh saya setelah menyelesaikan novel Negarabatin (2016) dan menerbitkan Negarabatin, Negeri di Balik Bukit (2022). Dalam proses penjajakan dan penulisan novel Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis ini, terlalu banyak pihak yang membantu jalan cerita, inpirasi, dan gagasan. Saya berutang ide kepada Knut Hamsun (1859–1952), novelis Norwegia, penerima Nobel Sastra 1920. Nama Knut Hamsun secara kebetulan mirip dengan nama Mamak Kenut, seorang tokoh fiktif dalam khazanah folklor Lampung. Mamak Kenut ini kemudian saya gunakan sebagai nama tokoh dalam kolom-kolom saya. Dan, dalam novel ini saya modifikasi menjadi nama tokoh utama, Kenut Ali Kelumbai (aku). Pythagoras, filsuf Yunani yang terkenal dengan rumus Pythagoras-nya, dipinjam dengan modifikasi juga untuk nama seorang perempuan cantik dan cerdas: Pithagiras. Kepada Pithagiras inilah, Kenut menuliskan surat cintanya.

Salam hormat juga kepada aktivis prodemokrasi asal Lampung Muhajir Utomo, Andi Arief, dan (alm) Bambang Ekalaya yang pernah ditangkap, diculik, dan ditahan aparat di era masing-masing. Sedikit-banyak saya meminjam cerita mereka untuk novel ini. Diskusi dan bahan bacaan dari Rosita Sihombing dengan novelnya Luka di Champs Elysees (2008) serta Rilda Taneko dengan novel Anomie (2017) dan Selama Air Hilir (2023) kian menumbuhkan kecintaan pada Lampung dan mendorong saya merampungkan surat tak terlalu panjang ini.”

Sebuah novel dari sedikit novel yang mengambil latar Lampung.  Sangat menarik! []

———
Iwan Nudaya-Djafar, sastrawan; sebuah petikan dari naskah panjang 

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top