Pustaka

Menjadi Wartawan, Menjadi Literat

Membaca buku | Fixabay/Przemysław Trojan

SEORANG wartawan senior meninggal. Kabarnya menyebar di media sosial. Agaknya, dia cukup terkenal. Banyak ungkapan belasungkawa dan doa untuknya. Artinya, dia wartawan yang cukup terkenal pada masanya. Masalahnya, dia terlalu senior buat saya. Saya tak mengenal dan tidak pernah bertemu dengannya. Atau, mungkin bertemu, tetapi tidak saling mengenal. Tapi, ingat-ingat agaknya saya pernah membaca reportasenya di sebuah koran Ibu Kota tahun 1980-an dan 1990-an. Penasaran, saya coba searching di dunia maya, tetapi “jejak digital”-nya tetap susah dilacak. Sebenarnya, saya tak boleh menyerah mencari info tenang sang wartawan. Tapi, saya sudah kehilangan minat untuk menulis tentang wartawan yang meninggal.  Saya gagal menggali kisah seorang manusia yang semasa hidupnya sebenarnya banyak menulis (berita), tetapi justru biografinya sulit dibaca.

“Kematian yang benar-benar sunyi!” saya bergumam seraya berdoa semoga Allah Swt memberikan Sang Wartawan tempat terbaik di sisi-Nya.  Amin.

***

Seorang guru senior meninggal. Ratih Handayaningrat, guru SMPN 3 Satu Atap Petir, Kabupaten Serang, Banten berpulang ke Rahmatullah pada 26 Juli 2024 lalu. Perempuan kelahiran Pandeglang, Banten ini kakak tingkat dua-tiga tahun di atas saya di Universitas Lampung (Unila). Walaupun setelah dia lulus kuliah tahun 1994,  kami tak pernah bertemu lagi, saya sangat ingat  dengannya. Kami sama-sama aktivis Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Teknokra. Saat Kuliah Kerja Nyata (KKN) sekira tahun 1992, saya bersama Redaktur Pelaksana Teknokra S. Muryono (sekarang wartawan LKBN Antara) yang mengikuti rombongan Badan Penyelenggara (BP) KKN Unila mengunjungi Teteh Ratih yang KKN di Desa Biha, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Lampung Barat (sekarang: Biha, Kecamatan Pesisir Selatan, Kabupaten Pesisir Barat) tahun 1992. Jalan lintas pantai barat belum mulus seperti saat ini. Untuk sampai ke Desa Biha rombongan BP KKN harus melewati sungai dengan getek.

Dari desa KKN–nya, Teh Ratih menulis reportase untuk Teknokra yang saya ingat berjudul “Mak Ngedok Kibau Mati Ngulam” (Tak ada Kerbau Mati karena Banyak Makan Rumput). Idiom ini dipakai penduduk setempat (ulun Lampung) agar tamu tidak sungkan-sungkan menyantap hidangan yang disajikan oleh tuan rumah.

Eeh, dua tahun kemudian, 1994, seakan menggantikan Teh Ratih, giliran saya yang ber-KKN di Biha. Untungnya saat saya KKN di sini sudah ada jembatan dan Jalan Lintas Pantai Barat sudah mulai dibangun, walaupun baru sampai Kecamatan Ngaras, belum sampai ke Kotaagung, Tanggamus.

Pagebluk yang datang memaksa semua orang harus tetap di rumah saja (2020—2022). Hikmahnya, saya dan Teh Ratih bertemu dalam buku keroyokan Pandemi Pasti Berlalu: Mencatat Covid-19, Tragedi, dan Harapan Setelah Itu (2021). Lalu bersua lagi dalam antologi Terkenang Kampung Halaman: Ingatan-Ingatan pada Tanah Kelahiran (2024). Selain dua buku ini, magister dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) ini juga menulis beberapa buku dan ikut antologi bersama lainnya.

“Kuliah adalah tuntutan pekerjaan formal. Menulis adalah passion. Saya menyukai menulis sedari remaja hingga kini. Menulis adalah penghiburan diri yang sangat menyenangkan,” kata mantan bendahara Teknokra ini.

Sekarang Teh Ratih sudah tenang di kampungnya yang baru. Alhamdulillah, ia sempat mewariskan tulisan-tulisan di buku, koran, blog, dan berbagai media lainnya. Semoga itu menjadi ilmu yang bermanfaat bagi yang ditinggalkan dan menjadi amal yang menjadi bekal terbaik bagi almarhum dalam perjalanan menuju keabadian. Amin.

***

Itu sudah.  Sekarang, saya ditugaskan untuk memberi kata pengantar untuk buku Maspril Aries untuk Literasi dan Jurnalisme karya Maspril Aries, seorang wartawan senior di Pelembang. Sama seperti Teh Ratih dan saya, Kak Oedjang—demikian kami biasa memanggilnya—ketika mahasiswa juga mengelola Teknokra. Hanya saja ia lebih senior lagi. Ia pemimpin redaksinya tahun 1989—1990. Setelah itu, ia bergabung dengan Lampung Post (1991—1993). Tahun 1993 menjadi koresponden Harian Republika wilayah Liputan Provinsi Lampung. Hijrah ke Jakarta menjadi wartawan Republika untuk liputan di ibu kota (1994—1998). Mei 1998 ditugaskan kembali menjadi wartawan Republika di Lampung. Lalu, menjelang Pemilu 1999 dialihtugaskan menjadi wartawan Republika ke Sumatera Selatan (Sumsel hingga purnatugas pada 2019.

Tak ada kata “pensiun” untuk wartawan. Benar belaka! Sebab dalam kenyataan, Kak Oedjang masih terus menjalankan kerja-kerja jurnalisme, menulis artikel, dan bahkan menulis/menerbitkan buku. Malah kian produktif.

Mengenai buku dan wartawan, Maspril berkali mengutip Yurnaldi yang menulis, “Wartawan banyak, tetapi sedkit yang menulis buku.” Jakob Oetama bilang, “Buku adalah mahkota untuk wartawan.” Amarzan Loebis meledek dengan berkata, “Jangan menyebut diri sebagai wartawan senior kalau belum pernah menulis buku. Kalau belum menulis buku, istilah yang paling tepat adalah ‘wartawan tua’.” Dan, AM Hoeta Soehoet melengkapinya dengan ucapan, “Kelemahan wartawan hanya bisa menulis berita, bukan menulis buku. Wartawan yang sampai hari tuanya tidak sekalipun pernah menulis buku, hanya pantas disebut wartawan bangkotan.”

Demikianlah, ada banyak buku Maspril yang sudah terbit, baik yang ditulis sendiri maupun yang ditulis bersama (antologi/bunga rampai). Tulisan-tulisan atau artikelnya yang kemudian dibukukan dengan tema-tema tertentu bisa berupa hasil liputan atau pandangannya terhadap peristiwa atau fenomena tertentu; boleh jadi hasil bincang-bincang dengan penulis; dapat pula  dari hasil pembacaannya terhadap buku.

Ya, Maspril Aries adalah seorang yang literat.

Tak sekadar kemampuan membaca dan menulis atau melek aksara; konteks sekarang, literasi memiliki arti yang sangat luas. Literasi bisa berarti melek teknologi, politik, berpikiran kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar. Kirsch dan Jungeblut dalam buku Literacy: Profile of America’s Young Adult mendefinisikan literasi kontemporer sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan pengetahuan sehingga mendatangkan manfaat bagi masyarakat. Seorang baru bisa dikatakan literat jika ia sudah bisa memahami sesuatu karena membaca dan melakukan sesuatu berdasarkan pemahaman bacaannya. Membaca yang produktif adalah menjadi penulis kedua, pembaca yang bagus adalah menjadi penulis kedua.

Saya suka dengan Adinegoro yang mendefinisikan  jurnalistik sebagai semacam kepandaian mengarang yang pokoknya memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar tersiar seluas-luasnya. “Kepandaian mengarang” ini juga dekat dengan kemampuan literer (sastra) dan intelektualitas (kecendekiaan). Wajar jika sosok seperti Adinegoro, Sutan Takdir Alisjahbana, Mohammad Yamin, Goenawan Mohamad, Mochtar Lubis, dan Sapardi Djoko Damono–sekadar menyebut beberapa nama–dikenal sekaligus sebagai wartawan, sastrawan, dan cendekiawan. Sehingga, tanpa mengabaikan profesi lain yang berhubungan dengan tulis-menulis sejatinya literasi itu sangat lekat dengan jurnalistik, sastra, dan intelektualitas (akademis). 

Pada sisi lain, untuk melancarkan pena dan menambah perbendaharaan kosakata, seorang wartawan sharus membaca sastra. “Wartawan wajib baca novel,” kata wartawan senior Saur Hutabarat suatu kali. Sebab, novel atau sastra adalah abstraksi dari hidup dan kehidupan manusia. Sastra merupakan hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan (mimesis), kata Plato. Karya sastra harus merupakan peneladanan alam semesta dan sekaligus merupakan model kenyataan. Aristoteles pun menimpalinya dengan mengatakan sastra sebagai kegiatan lainnya melalui agama, ilmu pengetahuan dan filsafat. Bagi Sapardi Djoko Damono, sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Lalu, Karlina Supelli menegaskan fiksi (sastra) itu sangat penting karena ia membuka imajinasi. Fiksi itu mengajak kita masuk possible word (dunia yang mungkin) yang tidak ada di sini sehingga imajinasi ini begitu liar mengembara dan ketika masuk kembali ke dunia nyata imajinasi ini membantu kita untuk memahami dunia yang begitu carut-marut. Baca fiksi sebanyak-banyaknya dengan berbagai variasinya… Orang bisa menulis bagus, menulis dengan jiwa, kendati dia bukan penyair kalau dia rajin membaca fiksi. Jelas pula, sastra mampu memberikan inspirasi bagi kita sebagai bangsa untuk mengatasi masalah bangsa.

Dari biografinya, Maspril sejatinya juga sastrawan dan  seniman yang pernah ikut merintis pendirian Dewan Kesenian Lampung (DKL) tahun 1993. Sebuah buku kumpulan cerpen berjudul Kado dari Jukvhin Stallone lahir darinya pada 2013 yang berisi cerpen-cerpennya di berbagai media sejak masih aktif pers mahasiswa. Ia juga menjadi penulis sekaligus editor buku Bunga Rampai Cerpen 8 Jurnalis dari Bumi  Sriwijaya (2013).

Sempurna, Kak Oedjang!

Maka, tanpa harus membahas apa-apa yang ditulis Maspril, kita sambut kelahiran buku Maspril Aries untuk Literasi dan Jurnalisme ini. Dari buku tebal ini kita akan dipertemukan dengan penulis dan bukunya, mulai dari Benny Arnas, Khairul Jasmi, Usman Kansong, Gol A Gong, Hilman, Abdoel Moeis, Chairil Anwar, Taufiq Ismail, Remy Sylado,Sapardi Djoko Damono, Wiji Thukul, Ken Akamatsu, Udo Z Karzi, Kunto Arief Wibowo, Abdul Malik Syafei hingga Abdul Hadi WM.

Dari buku ini pula kita akan tahu betapa masih banyak yang mencintai buku dan bergiat dalam dunia literasi mulai dari AM Fatwa, Syahrial Oesman hingga Anita Noeringhati; Rumah Dunia di Serang, Banten yang didirikan Gol A Gong; buku sejarah parlemen di Sumatera Selatan; fenomena menulis buku keroyokan; bahasa dan ekonomi kreatif; pustakawan dan perpustakaan; serta bibliocrime.

Pada bagian lain pula, pembaca akan disegarkan dengan bagaimana menulis berita, konvergensi media, jurnalisme politik dan berita politik, jurnalisme profetik, jurnalisme radio, jurnalisme televisi, menulis untuk multimedia, siaran pers, menulis feature, menulis artikel dan esai, kode etik jurnalistik, literasi digital, kreator konten, public speaking, serta berbagai teknis jurnalistik dan literasi lainnya.

Tentu, semua ini sangat bermanfaat. Bagi yang membaca, tentunya!

Tabik. []

Kemiling, Agustus 2024

———– 
Udo Z Karzi, jurnalis-penulis. Buku terbarunya: Negarabatin: Negeri di Balik Bukit (novel, 2022), Yang (A)gak Serius dan yang Lucu-Lucu tentang Jurnalisme, Sastra, Literasi (2023), Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (novel, 2024), dan Minan Lela Sebambangan (kumpulan cerpen, 2024).

*Ditulis untuk pengantar buku Maspril Aries untuk Literasi dan Jurnalisme karya Maspril Aries (proses terbit).

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top