Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (04)


Pitha yang baik,
AKU senang kita masih ketemu di tahun pertama di SMP. Tapi, aku tak bisa berdekat-dekatan denganmu lagi. Malangnya diriku. Kita beda kelas, walau cuma berbatas dinding saja di sebelah. Untungnya, kita masih bisa bersua di berbagai kesempatan, kita masih acap bertatap muka di depan kelas atau tempat lainnya, bersirobok mata meski agak jauh. Aku sekarang–dari dulu juga sebenarnya–tak punya keberanian mendekati, menyapa, dan mengajakmu berbicara.
Sekarang temanmu tentu bertambah. Dan, aku merasa semakin kecil, semakin jauh. Aku coba menghilangkan bayanganmu dari hati dan pikiranku. Hampir berhasil. Sosokmu pun kian samar. Tapi, tetap saja susah untuk benar-benar pupus. Tapi, aku nyata benar-benar kehilangan manakala engkau betul-betul pergi dan pindah sekolah ke kota lain.
Tinggallah aku. Hidup yang sepi kian sunyi. Meski ramai, terasa sendiri mengikuti alur perjalanan kehidupan.
Aha… Mungkin terlalu berlebihan aku menggambarkan emosi diriku yang kau tinggalkan–tetapi tentu saja tanpa kau pernah merasa meninggalku. Hanya rasaku. Terpendam kuat dalam angan saja.
Ais, tak baik juga menyiksa diri. Aku lanjutkan cerita ya, Pitha. Tapi, tentu bukan tentangmu.
Ehm… nanti dulu, meskipun aku tak menemui walau sekadar bayangmu, aku tetap mencoba dengar-dengar cerita tentangmu. Ada saja teman yang mau bercerita dan tempat bertanya mengenaimu.
Diam-diam dalam hati, aku membelamu mati-matian ketika ada yang bilang kau sekarang sombong. Tidak engkau tak pernah tinggi hati, kataku. Tapi, kalaupun benar kau demikian, aku akan mencoba memahami. Ya, wajar karena kau punya segalanya untuk disombongkan.
Beda jauh denganku!
Bagiku, apa pun yang ada padamu, apa pun sikap yang keluar darimu, apa pun polah yang timbul dari dalam dirimu adalah normal-normal saja. Pantas-pantas saja untukmu. Hahaa… Saking besarnya rasa kagumku padamu.
Nah, sekarang aku mulai cerita. Bukan tentangmu. Tapi, tetap bertema cinta sesuai dengan judul. Sebisanya aku tak bohong, meski tak terlalu menjamin jujur. Yang jelas, kisah-kisahku ini dijamin takkan diketahui oleh orang yang terkena senggol yang aku ceritakan. Kisah-kisah yang aku simpan sendiri, tidak pernah aku ceritakan. Aku rangkai saja sambung-menyambung menjadi satu di sela-sela cerita kita, walau ujung-ujungnya tetap saja bermuara padamu. Soalnya, di setiap waktu tetap saja aku tak bisa membuang sosokmu dari ingatanku.
***
Kelas dua SMP. Di kelas aku duduk di bangku nomor dua di tengah bersama seorang teman. Nama teman tak usah disebut ya, Pitha. Dia sendiri yang minta jangan bawa-bawa namanya kalau bikin cerita. Ya, tentu saja aku juga tak mau terseret kasus pencemaran nama baik dan dilaporkan ke pelisi segala.
Tak usah kuceritakan tentang kepintaran teman sebangku ini. Yang akan kukisahkan adalah seorang gadis kecil yang duduknya persis di kursi depanku. Aku tak pandai menggambarkan sosok gadis cantik gaya Pujangga Baru. Tapi, dengan perawakan sedang, tubuh, ramping, kulit hitam tak terlalu hitam ya manislah, rambut hitam panjang terurai, hidung mungil, mudah diajak bicara, selalu tampak riang, senyum dan tawa yang mudah hadir dari mulut mungilnya, cukuplah untuk mengatakan ni cewek lumayan menawan juga.
Dalam hal mata pelajaran, Tari, begitu dia dipanggil, cukup menonjol. Bakal jadi saingan juga nih.
Teman sebangkuku dan teman-teman lain, suka usil menggodanya. Kadang suka terlalu. Tapi, seingatku Tari tak pernah marah. Dia terlalu mudah tersenyum dan malah membalas godaan teman-temanku. Akan halnya aku, tetap saja… cool alias tak punya iniasiatif dan keberanian melakukan hal-hal yang aneh-aneh. Aku sih orangnya biasa-biasa saja. Biasa juga ketawa kalau ada yang lucu. Biasa ikut-ikutan saja.
Benar-benar gak mutu aku ini.
Sebenarnya, Tari bukan satu-satunya tokoh dalam kisah ini. Tapi, ia aku comot saja sebagai bahan cerita unukmu, Pitha. Semata-mata cerita tanpa harus melibatkan perasaanku karena hatiku, jiwaku sudah terampas olehmu. Semoga tak kau bilang pula aku ini gombal. Hiks…
Begitulah, aku mengisi hari-hariku di sekolah dan di luar sekolah dengan teman-teman dan orang-orang yang mengitariku dengan segenap perasaan cinta mereka. Kalau ada yang kurang, ya … tak ada dirimu.
Kembali cerita Tari, aduh… sesuatu telah terjadi. Belum lagi berbilang tahun, tiba-tiba suatu ketika ia pamit kepadaku dan teman-teman lainnya. Dia berhenti sekolah….
>> BERSAMBUNG
