Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (05)


“KOK berenti sekolah, Tari? Kenapa?” Aku menyerbu Tari dengan pertanyaan begitu bel tanda pulang sekolah berbunyi dan segera menjejerinya melangkah keluar kelas.
“Nggak kenapa-kenapa…,” sahut Tari.
“Masa tak ada sebab?”
“Benar. Cuma diminta berhenti saja sama Bapak.”
“Kok begitu?”
Aku susah percaya.
Tari meneruskan, “Kasihan adik-adik. Mereka juga butuh biaya.. “
“Memang adikmu berapa?”
“Banyak. Ada tiga.”
“Kamu yang tua ya?”
‘Iya.”
“Sayang sekali kau berhenti sekolah ya Tari. Padahal kau kan pintar.”
“Mau bagaimana lagi. Orang tuaku tak mampu membiayai..”
Ada nada getir dalam ucapanmu yang terakhir. Aku masih belum yakin itu alasan itu. Uang sekolah untuk SMP Negeri tak terlalu mahallah. Berpikir demikian, aku bergumam, “Masa… ”
Karena aku tak melanjutkan kalimatku, Tari bertanya, “Masa apa?”
“Ah, nggak,” ujarku tak mau mengutarakan apa yang barusan aku pikirkan.
Apa pula yang bisa kulakukan. Meskipun aku tak kan bisa menbantuku, walau cuma kata-kata penghiburan, aku tak mau menambah perih hatinya.
Setelah sejenak saling berdiam dengan pikiran masing-masing, aku berkata lagi, “Berarti besok kita gak ketemu lagi ya.”
“Ah, masihlah…,” timpalnya mengambang.
Entah apa yang ada dalam benak Tari saat itu.
Kami berdua terdiam sampai terminal.
“Saya naik mobil ya,” semacam pamitan kepadaku.
“Ya…” sahutku lesu menganggukkan kepala. Tak ada kata-kata lagi.
Lalu, Tari menaiki mobil angkutan umum yang akan membawanya pulang ke kampung yang lain. Sedangkan aku, melangkah pula pulang ke rumah.
Aku ceritakan padamu, Pitha yang baik. Ya, sekadar berkisah. Semoga kau tak bosan membacanya.
Aku teruskan ya. Beberapa hari kemudian, aku tahu dari mulut ke mulut bahwa Tari telah dinikahkan dengan seorang lelaki yang jauh lebih tua dari Tari.
Aduh, malangnya Tari, ehh.. diriku kali ya yang sok perhatian dengannya. Hehee… Mana pula aku paham kalau Tari senang-senang saja disunting pria sialan yang beruntung itu. Meskipun dari kabar yang kudengar, orang tua Tari terlilit utang. Satu-satunya jalan untuk melunasi utang itu, Tari mesti rela menikah dengan lelaki tersebut.
Benar-benar, bangsat tuh lelaki.
Uh, maaf, Pitha aku kok mengumpat. Habis aku kesal juga dengan lelaki yang kayak gitu. Dia kok tega memenggal begitu saja masa remaja yang penuh keceriaan seorang Tari dengan memaksanya menikah dalam usia sangat muda.
Benar-benar terlalu. Sulit aku terima. Tapi, apa pula hakku untuk mengatur kehidupan orang lain?
>> BERSAMBUNG
