Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis (06)


BEGITULAH kehidupan, Pitha. Kita suka berharap dan berupaya menerima situasi yang menyenangkan, menggembirakan, dan menbahagiakan. Namun, apa yang terjadi sesungguhnya jauh di luar kendali kita. Ada kekuasaan Yang Mahabesar yang membuat kita memiliki keterbatasan, kelemahan, dan ketidakmampuan untuk memperoleh apa yang kita inginkan atau sebaliknya, menolak apa yang hendak kita hindari. Kita pada akhir hanya menjalani apa-apa yang sudah digariiskan dan mungkin memang yang terbaik buat kita.
Kalaulah sejak awal mula, aku menyadari hal sedemikian, tentulah aku tak akan berlaku bodoh, putus asa, dan bahkan menjadi vatalis. Ketidakadilan, keburukan, atau perlakuan tidak baik yang aku (kita?) harus terima misalnya, menjadi warna tersendiri di antara bejibun kebaikan, rasa peduli, dan sikap terpuji dari banyak orang yang kita temui dan rasakan. Kesemuanya menjadikan kehidupan ini menjadi pelangi. Indah, damai, dan harmonis.
Nah, kenapa pula aku kok jadi sok bijak ya. Hihii.. Soalnya, banyak hal yang tidak aku pahami, Pitha. Dan, memang tak seharusnya aku pahami.
Tiga-empat tahun kemudian aku melihat Tari lagi. Tak hanya sekali. Kali pertama, aku melihatnya dari kejauhan. Dia sedang menggendong anaknya di jalan setapak di perladangan. Dia sedang berbicara dengan seorang anak perempuan dua tahunan berdiri di depannya. Agaknya, Tari sedang membujuk anaknya agar berjalan lagi. Mungkin anaknya merajuk kecapekan atau bagaimana… Aku tak begitu jelas. Tak lama, mereka bertiga anak-beranak meneruskan perjalanan.
Aku hanya memperhatikan dari kejauhan dan berharap Tari tak melihatku.
Aku melihat Tari lagi yang kedua kalinya. Dia bersama suaminya. Tampaknya dia senang-senang saja. Syukurlah. Aku tetap tak menghampiri. Kalaupun Tari melihatku ya biar saja. Aku juga tak yakin Tari masih mengingatku.
Kali ketiga, aku bersua, aku tak bisa mengelak. Tari memanggil duluan. Masih ingat rupanya denganku. Tak banyak bicara, sekadar bertanya mau ke mana dan apa kabar, dan apa pun jawabannya tak penting-penting amat bagiku.
***
Kembali ke situasi kelas dua SMP. setelah engkau pergi, Pitha. Engkau pindah sekolah ke kota lain. Sebaliknya, beberapa siswa baru pindahan dari sekolah lain masuk ke SMP kita. Meski tak ada siswa pindahan yang ditempatkan di kelasku, tetap saja kehebohannya sampai padaku. Barang baru, orang baru, siswa baru, sesuatu yang baru… selalu menjadi bahan perbincangan yang hangat.
Aku sih gak peduli-peduli amat dengan gosip-gosip tentang cewek. Aku mau belajar yang baik-baik saja di sekolah, meskipun aku tak pula jadi pintar dan jadi bintang di sekolah. Aku ya biasa-biasa saja. Tapi, kok ya teman-teman ramai benar membicarakan cewek yang satu ke cewek yang lainnya. Di antara omong-omong cowok tentang cewek, sebuah nama paling sering disebut.
Ada cerita baru. Tapi, kok de javu padaku ya.
Lain waktu aku sambung ya, Pitha. Agak risih juga sebenarnya menulis yang beginian di saat kita-kita sudah cukup berumur. Tapi, sambil menekan rasa malu, tetap aku goreskan juga sebagai kisah dibuang sayang. Paling tidak jadi ingatan bahwa kita pernah muda.
>> BERSAMBUNG
