Gema Ramadan

Baju Baru Lebaran

Oleh Gufron Aziz Fuadi

BEBERAPA waktu lalu ada seorang nenek bilang,  minyak goreng ngantri, giliran baju lebaran bisa beli…

Saya tidak bermaksud membahas perbandingan antara minyak goreng dengan baju baru lebaran, sudah banyak yang bahas, bahkan viral.

Ya, yang jelas memang beberapa hari lagi kita akan berpisah dengan bulan Ramadan yang penuh berkah dan biasanya ditandai dengan semakin sepinya jamaah Salat Terawih dan semakin ramainya pasar dan mal. Ini memang khas tradisi kita di Indonesia. Berburu kebutuhan Lebaran, terutama baju baru.

Khas Indonesia, karena memang ini tidak terjadi di Arab atau tempat lain di luar Asia Tenggara.

Membeli baju lebaran itu tradisi dan kesempatan.  Kesempatan, karena memang banyak masyarakat yang tidak membeli baju baru sepanjang tahun, kecuali saat Lebaran, selain baju seragam sekolah.

Tentu ini berbeda dengan masyarakat menengah ke atas perkotaan yang setiap waktu bisa beli baju baru. Tentu ini harus kita syukuri karena kita diberi kemampuan dan daya beli yang lebih baik.

Oleh karena itu bila kita melihat banyak masyarakat yang membeli baju baru untuk lebaran jangan dinyinyirin, apapun alasannya. Ini tradisi dan kesempatan untuk bergembira yang hanya datang setahun sekali. Apalagi di era hidup serba sulit seperti sekarang ini. Jangan juga dibid’ahkan, meskipun nggak ada haditsnya.

Memang sampai sekarang belum terdengar ada hadits tentang baju baru untuk lebaran. Beberapa referensi hanya menyebutkan berhias dan berpakaian yang bagus.

Rasulullah SAW hanya menganjurkan umat muslim untuk mengenakan pakaian terbaiknya di hari Lebaran. 

“Diriwayatkan dari Al-Hasan bin Ali RA, ia berkata, ‘Rasulullah SAW telah memerintahkan kami pada dua hari raya agar memakai pakaian terbaik yang kami temukan.” (HR Al-Baihaqi dan Al-Hakim). 

Berdasarkan hadist di atas, maka dapat kita pahami  bahwa baju terbaik yang kita kenakan pada saat Lebaran tidak harus baru. Apalagi mengingat tidak semua umat muslim memiliki cukup uang untuk membeli baju baru lebaran. Maka dari sini, jelas hukum membeli baru baju lebaran adalah mubah, boleh saja, atau paling tinggi sunnah. 

Menurut buku Sejarah Nasional Indonesia karya Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, tradisi memakai baju baru untuk Lebaran telah dimulai sejak tahun 1569 pada masa Kesultanan Banten. 

Dahulu, penduduk yang beragama Islam di bawah kepemimpinan Raja Banten sibuk mempersiapkan baju baru. Namun pada saat itu, hanya kalangan kerajaan yang dapat membeli baju baru untuk perayaan Idul Fitri. Sedangkan masyarakat biasa hanya bisa membuatnya sendiri. 

Hal serupa juga ditemui di Kerajaan Mataram baru, Yogyakarta. Dari situ hingga saat ini mayoritas masyarakat akan membeli baju baru ketika menjelang lebaran. Sedikit sekali yang membuat atau menjahit sendiri karena lebih praktis membeli ke pasar, mal, butik atau via online.

Itulah mengapa Lebaran identik dengan baju baru.

Saya masih ingat waktu kecil dulu, ada beberapa keluarga yang tidak mampu membeli baju baru untuk Lebaran, mereka membeli baju bekas layak pakai, kebetulan beberapa tetangga saya berprofesi “tukang rombeng”, istilah untuk pedagang baju bekas di kampung saya. Dan, kalau nggak sanggup juga membeli yang bekas, mereka meng-kanji baju yang masih cukup baik sehingga lebih kaku seperti baju baru.

Jadi, apakah Anda sudah membeli baju baru untuk Lebaran? 

Kalau sudah, syukurilah dengan luberan atau ke(ber)lebihan, berbagi dengan yang lain. Hingga hari raya kita nanti betul betul lebaran (selesai, dari perang melawan hawa nafsu), luberan (saling berbagi karena kita punya berlebih), leburan (saling memaafkan, meleburkan kesalahan) dan laburan (kembali suci, putih seperti dicat putih/labur).

Wallahua’lam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top