Human

Sinkritisme Agama

Oleh Gufron Aziz Fuadi

ADA ibu-ibu yang bertanya, “Mengapa Islam di Indonesia terutama di Jawa cenderung bercampur-aduk dengan budaya lokal?”

Itulah khasnya budaya Jawa, kata seorang ahli. Di antara ciri khas budaya Jawa adalah kemampuannya untuk melakukan akulturasi budaya dengan memadukan pengaruh budaya luar, termasuk agama, dengan jatidiri jawa sehingga luluh menjadi identitas ‘baru’.

Hal ini tidak hanya terjadi terhadap agama Islam. Jauh sebelum itu, Wangsa Syailendra telah melakukan sinkritisasi budaya Jawa dengan agama Syiwa dan Budha.

Maka, kita bisa saksikan agama-agama sebelum dan sesudah Islam yang masuk ke Jawa selalu mengalami sinkritisme dengan budaya Jawa.

Agama Islam pun tidak lepas dari akulturasi dengan budaya Jawa, terutama dalam metode dakwah, meski ada juga dalam beberapa sisi yang cukup mendasar dalam aqidah dan syariahnya.

Hal ini karena metode dakwah para ulama dan para wali dulu mengedepankan akulturasi budaya. Biasanya dengan mempertahankan cangkangnya atau casingnya dan merubah isinya. 

Di samping itu penguasa keraton atau kesultanan juga merupakan entitas yang kental dengan budaya sinkritisme.

Coba kita telusuri setelah runtuhnya Demak yang hanya bertahan lebih-kurang 40 tahun.

Setelah Joko Tingkir, Adipati Pajang berhasil mengalahkan Ario Penangsang, kekuasaan Demak berpindah ke Pajang dan Joko Tingkir berkuasa dengan gelar Sultan Adiwijaya.

Jaka Tingkir adalah putra dari Ki Kebo Kenanga (Ki Ageng Pengging), anak dari Pangeran Handayaningrat (Ki Ageng Pengging Sepuh), seorang bangsawan keturunan Raja Majapahit yang menikahi Ratu Pembayun, satu-satunya anak dari Prabu Brawijaya dengan permaisurinya.

Ki Ageng Pengging bersama dengan Ki Ageng Tingkir adalah murid dari Syek Siti Jenar yang beraliran Syiah dan panteisme yang mengajarkan  manunggaling kawulo Gusti. Sehingga kemudian Siti Jenar dan ki Ageng Pengging dihukum mati oleh kerajaan Demak.

Setelah itu Joko Tingkir diasuh oleh Nyi Ageng Tingkir. Joko Tingkir berguru kepada Sunan Kalijaga dan Ki Ageng Selo yang kemudian dipersaudarakan dengan cucunya: Ki Panjawi, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Juru Mertani.

Setelah Ki Ageng Pemanahan bersama Danang Sutawijaya, anaknya, berhasil membunuh Arya Penangsang maka dihadiahi tanah alas Mentaok yang kemudian di babat menjadi cikal-bakal Kerajaan Mataram dan Ki Ageng Pemanahan digelari Panembahan Mataram. Lalu, menyusul nanti anaknya, Danang Sutawijaya digelari dengan Panembahan Senopati.

Mataram yang awalnya hanya kabupaten di bawah Pajang, oleh Sutawijaya diubah menjadi kerjaan mandiri lepas dari Pajang dan Panembahan Senopati menjadi Sultan Mataram yang pertama.

Kelak cucunya, Sultan Agung Mataram juga melakukan akulturasi budaya yang cukup spektakuler yakni menggabungkan kalender Jawa dengan simtem kalender Hijriyah. Dengan tahun tetap menggunakan tahun jawa yang sedang berjalan, nama bulan dan hari yang dikombinasikan.

Dari situlah kita mengenal bahwa bulan Rabiul Awal sering disebut bulan Mulud, bulan Sya’ban sering disebut bulan Ruwah dari kata arwah.

Konon pada bulan kedelapan ini, sejak zaman Majapahit sudah ada perayaan chadra, yaitu upacara untuk memuja leluhur, mungkin seperti upacara Cheng Beng pada masyarakat China.

Oleh karena itu pada bulan Rajab ada kegiatan ruwahan dan nyadran dengan aktivitas utamanya nyekar ke kuburan…

Wayang, dulu merupakan hiburan yang paling wah mungkin sekarang ibarat film atau sinetron. Bedanya wayang bukan semata tontonan, tetapi sarat dengan tuntunan. Karena itu wayang, dulu, menjadi sarana dakwah yang efektif.

Tetapi masalahnya dasar cerita wayang, Ramayana dan Mahabharata, diambil dari karya pujangga India yang sudah barang tentu sarat dengan nilai-nilai agama Hindu. Lagi-lagi para ulama di antaranya Sunan Kalijaga melakukan akulturasi wayang dengan mengubah beberapa bagian cerita agar sesuai dengan ajaran Islam dan merubah bentuk wayang dengan digepengkan (Wayang kulit) dan memanjangkan tangannya agar tidak seperti patung atau seperti manusia.

Masalah sinkritisme sebenarnya bukan hanya masalah Islam di Indonesia saja, tetapi juga diberbagai belahan dunia yang lain, hanya berbeda derajat identifikasinya.

Hampir tidak mungkin mungkin menghindari akulturasi budaya dalam dakwah, kita dituntut untuk mampu memilah mana yang tsawabit dan mutaghayirat. Tidak boleh gebyah uyah terhadap budaya lokal yang sudah ada sebelumnya.

Guru kami, Ustaz Hilmi mengawali aktivitas dakwahnya melalui rasmul bayan, bukan dengan ceramah dan tulisan bukan tanpa alasan. Beliau menjelaskan dasarnya bahwa masyarakat Indonesia tidak memiliki budaya baca-tulis yang kuat, tetapi budaya tutur dan dengar. Karena itu lebih suka dengan sesuatu yang instan. Di samping tidak banyak literatur yang memadai.

Intinya masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tidak suka membaca dan menulis, senang yang instan atau mental menerobos, serius tapi santai serta menyukai harmoni dan menghindari konflik.

Ada cerita kawan mahasiswa Indonesia di saudi bertanya ke dosennya tentang kedudukan hadits tabassumuka sadaqah

Dan dosen tersebut menjawab bahwa derajat hadits tersebut sahih,  tanpa menoleh apalagi tersenyum…

Sambil mbatin mahasiswa tadi bilang, di Indonesia tidak banyak yang tahu hadits ini tapi sudah biasa tersenyum…

Mungkin itulah mengapa penceramah lutju lebih disukai dibanding yang serius.

Wallahua’lam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top