Human

Sejuta Kenangan di Fakultas Oranye

Oleh I Made Wianta

KETIKA sampai di kampung dan kusampaikan bahwa aku lulus UMPTN dan diterima di Prodi Sosiologi Unila seperti disarankan kakakku, bapakku almarhum hanya bergumam, “Yah, lulus.” Aku tidak paham apa bapak menyesal karena aku lulus dan bingung akan mencukupi beayaku atau hanya pura-pura saja padahal dalam hati senang.

Memang saat itu kondisi ekonomi keluargaku berada pada titik nadir. Bapak hanya petani kecil di Seputih Raman yang sudah tidak punya sebidang sawah atau ladang, kecuali pekarangan rumah. Biasanya bapak menjadi tukang bangunan. Tapi, usianya yang semakin menua membuatnya mulai tidak banyak dipakai orang lagi.

Inilah mulai awal episode kehidupan penuh haru-biru yang hanya kupendam dalam perjalanan penuh makna yang ingin kugenggam terus dalam kenangan hidupku. Kenangan yang membuatku pilu yang berselimut bahagia, lemah yang membuatku kuat. Yang pasti rasa dan kenangan yang bernilai sejuta rasa dan makna.

Bingung membayar uang daftar ulang atau SPP yang hanya Rp90 ribu rupiah untuk menjadi mahasiswa baru Unila. Uang itu akhirnya kudapatkan dari meminjam uang dari Seka Teruna Teruni/karang taruna desa karena aku juga waktu itu ikut jadi pengurusnya. Pakaian putih hitam atau putih-putih kudapatkan dari meminjam saudara sepupuku. Terbayang semua ukurannya tidaklah pas benar. Sepatu hitam sebagai syarat Ospek adalah sepatu hitam bapakku yang entah beliau dapat darimana dan ukurannya juga tidak pas benar. Lalu, aku jadi bingung mau tinggal di mana, karena tidak bisa bayar kos.

Aku mulai kos di Asrama Pratita, dan “ditampung” oleh teman yang baru kukenal. Awalnya akan bayar bareng, tetapi aku tidak bisa ikut bayar tempat kos itu setelah satu tahun kami sewa. Aku hanya numpang jadinya. Mahmudi, mahasiswa Ilmu Pemerintahan seangkatan denganku, pahlawan yang memberiku tumpangan pada akhirnya. Aku lupa bagaimana riwayatnya aku bisa kos satu kamar dengannya.

Oh ya, aku lupa aku juga punya tetangga satu kampung yang kuliah di Unila dan saat itu sedang menyusun skripsi dan satu asrama denganku. Sebenarnya aku juga punya saudara sepupu yang kos di Asrama Pratita. Namun, saudara sepupuku tidak bisa kos berdua denganku. Jadilah, aku numpang di kosan Mahmudi yang satu fakultas denganku. Mahmudi ini sebenarnya sudah duluan kuliah Program Studi Pendidikan Sejarah, tes lagi, dan diterima di Ilmu Pemerintahan. Ketika tetanggaku yang juga kos di Asrama Pratita pulang kampung aku kadang menempati kamar kosnya.

Makan dan minum juga aku banyak dibantu Mahmudi. Sebab, ia sudah bisa mencari uang dengan nyambi membuat stempel. Sudah profesional. Banyak orderan dan ia dapat duit dari sini. Ini mungkin cara Tuhan menolongku melalui Mahmudi. Aku satu tahun numpang kos dengannya sebelum akhirnya aku memutuskan untuk cuti kuliah karena sudah tidak ada beaya. Aku masih ingat tatapan mata sahabatku ini Ketika melepasku untuk pulang kampung setelah izin cutiku keluar. Orang baik dia. Ingat dia, aku berjanji dalam hati  akan kembali ke bangku kuliah kelak.

Garangnya Para Senior

Awal masa pengenalan kampus, aku mulai merasakan “garangnya” senior. Aku ingat pagi-pagi setibanya di halaman Gedung F dari depan Gedung Fakultas Hukum aku disuruh jalan jongkok. Entah apa salahku saat itu. Apa dianggap terlambat ya? Pokoknya “ngeri” saat itu.

Aku ingat kakak tingkatku yang namanya atau suka dipanggil Fren, Kak Fren atau Bang Fren itu yang ngeri. Ada juga kakak tingkatku yang rambutnya gondrong. Aku gak tahu siapa namanya. Suara lantang senior saat itu masih terngiang sampai saat ini. Lumayan tersiksa rasanya selama masa pengenalan lingkungan kampus atau masa orientasi mahasiswa baru. Tersiksa oleh “ketakutanku” sendri sebenarnya. Atau karena tidak nyaman dengan lingkungan baru, belum kenal siapa-siapa. Masih asing.

Namun, di sisi lain sejujurnya aku merasa sangat bangga bisa menjadi mahasiswa, bangga yang luar biasa. Ada selipan bahagia ketika kusapu malu-malu wajah teman-teman baru seangkatanku saat itu yang belum kutahu siapa mereka sejatinya.

Di ujung kegiatan Ospek, ada insiden yang sampai saat ini tak kulupakan. Di sore hari penutupan kegiatan ini kami “digiring” menuju GSG dengan berjalan kaki dalam formasi berbaris. Nah, di sinilah insiden itu terjadi. Entah siapa yang menginjak sepatuku saat itu. Yang pasti teman yang di belakangku.

Alhasil, sepatu itu robek di bagian tengahnya, nyaris putus. Sepanjang menuju GSG sepatu itu kuseret-seret di kakiku agar tidak terlepas. Malu jangan sampai ada yang tahu bahwa sepatuku robek dan hampir putus di tengah badannya. Tiba di GSG teman-temanku naik di balkon atas, tetapi aku memilih di bawah agar sepatuku tidak dilihat orang robeknya.

Minder di Awal Kuliah

Tidak, aku tidak ingin mengeksloitasi kemiskinanku saat itu.  Namun, ini hal yang harus kutulis jujur karena kondisi ini sangat berpengaruh pada suasana belajarku dan apa yang kurasakan saat itu. Ya celana, baju dan sepatu selama masa pengenalan lingkungan kampus atau orientasi mahasiswa baru adalah hasil meminjam dari sepupuku karena aku tidak kuat beli. Namun, ukurannya tidak pas dan pres di badanku. Sepatu adalah sepatu pantopel bapakku.

Ini semua membuatku minder di awal-awal menjadi mahasiswa kampus oranye. Milih-milih teman akhirnya. Gak PD. Apalagi aku kos di jalan kopi dan selalu jalan kaki karena tak ada duit untuk naik mikrolet.

Di awal tahun sebagai mahasiswa baru nilai akademikku kurang memuaskan. Hal ini disebabkan karena beban ekonomi dan belum ketemu pola belajar dan seperti apa harus belajar di perguruan tinggi. Yang pasti rasa minder dan kurang percaya diri di ruang kuliah menjadi penghambatku pula. Aku lebih banyak diam dan kurang aktif dalam pembelajaran. Akibatnya dosen tidak tahu kemampuanku dan aku juga tidak paham apa maksud dosen.

Hambatan lain, tidak jelas apa yang harus dipelajari. Dosen sepertinya tidak jelas memberikan batasan materi apa yang harus dipelajari mahasiswa pada semester tersebut. Kami hanya dapat judul mata kuliah dan tidak tahu materinya apa saja. Mungkin ini perbedaan kuliah dan SMA. IPK-ku jika tidak salah hanya sekitar 2,9 di awal semester pertama. Bahkan, untuk mata kuliah statistik nilaiku D, dosennya Pak Bukhori Kipli. Beliau mengajar statistika betul-betul the real statistika. Untukku yang latar belakang IPS betul-betul ini mata kuliah mati kutu. Bahasa Inggris juga hanya dapat C. Huh!

Berjibaku agar Bisa Kembali ke Kampus

Kembali ke soal aku harus cuti Ketika memasuki semester tiga. Jujur aku tidak pernah yakin apakah bisa kembali melihat kampus dan fakultas oranye, teman-teman, dan harapan masa depanku. Semua hal kukerjakan demi bisa kembali menjadi mahasiswa. Dari menjadi buruh bangunan, memanen padi tetangga, menggarap tanah desa untuk kutanami padi dan beternak. Hasil satu tahun ini kukumpulkan dan di tabung di tempat kakak tertuaku dan dikelolanya untuk modal warung kecilnya.

Dari sinilah kemudian aku mendapat uang bulanan untuk kehidupan kuliah yang faktanya juga tidak selalu cukup. Yang pasti uang yang ada hanya cukup untuk tiga minggu setiap bulannya dan satu minggu terakhir entah dari mana uangnya. Yang pasti setiap pagi sarapanku hanya nasi putih tanpa lauk, baru siang dan malam nasi dengan lauk sayur asem dan tempe goreng dan itu menu sepanjang usia kuliahku.

Mirisnya lagi aku tidak pernah sempat merasakan lezatnya aneka menu makanan dan jajanan yang ada di kantin di sisi Gedung F. Tidak pernah nongkrong di situ. Dan, ketika kemudian kini sedikit uangku ada, kantin itu sudah tiada. Tapi jikaku ingat-ingat sebenarnya cukup banyak juga teman-teman yang kondisi keuangannya hampir serupa denganku.

“Emak”, Iwaw, Siono, Saipul, Yudha Budhi Abadi, Zulkarnain Zubari, Hartini, Jak, dan Mahmudi (Sang Penolong)…

Jumlah kami Angkatan 90 yang Jurusan Sosiologi lebih sedikit dari Ilmu Pemerintahan. Kami jurusan Sosiologi sekitar dua puluh empat dan Ilmu Pemerintahan lebih dari tiga puluh. Secara rasa sepertinya Sosiologi di bawah Pemerintahan kastanya. Pemerintahan “lebih cerdas-cerdas” dan “berpengaruh” rasanya. Terbukti pula ketua senat seingatku dari Pemerintahan. Ada Yudha Budi Abadi dan Saipul. Nama mereka ini selalu membuatku iri karena mereka sangat menonjol. Terkesan pintar dan menjadi bintang di kampus. Mereka terbukti sebagai ketua Senat Fakultas.

Gaya dan mimik Yudha Budhi Abadi jika berbicara sangat serius dan intelek. Jalannya cepat, penuh keyakinan. Beda dengan Saipul yang agak santai, tetapi mereka berpengaruh dan punya follower.

Di sisi lainnya ada Sri “Emak” Nusilawati yang kocak, riang, dan selalu membuat riuh suasana. Pengikutnya juga banyak. Bukan dalam arena perpolitikan di kampus, melainkan dalam ajang interaksi saja. Siono ini unik karena khas jawanya yang medok. Ada juga Ning yang omongnya cepat bak kereta api. Iwaw? Namanya yang unik untuk ku kenang. Fajar Suparyanto yang sering menyapaku…”Madeee…”. Ada juga Nedyo yang lembut banget. Silvi si rambut pirang berkaca mata seperti Atik CB. Biolos? Ini bintang di antara bintang yang kuingat.

Tapi sungguh sebenarnya ada satu lagi yang inginku catat karena entah mengapa pernah ada sekelebat rasa “suka” yang aneh. Gerak-gerik dan bentuk bibirnya masih kuingat jelas. Pernah mau ngomong tapi enggak tahu mengapa tidak jadi. Retnoningtyas Sriharyati. Tidak lengkap jika tidak kutulis Hartini Sulastri (alm). Selalu saja ia “mepet” aku untuk banyak urusan. Sikapnya yang manja, kekanak-kanakan dan “aneh” seperti sengaja menitipkan kenangan untuk kukenang bahkan setelah kini ia tiada.

Jakpar Syadid (sering kupanggil Jack) akhirnya berjodoh denganku dan satu indekos di Kampungbaru setelah Mahmudi tinggal di Gedung F bersama Saipul. Aku tidak tahu ceritanya bagaimana mereka bisa tinggal di sana. Yang pasti tidak harus bayar kos tentunya. Jadilah aku juga sering bertandang ke Gedung F. Bahkan, jika malam hari (pernah suatu hari aku pulang hampir tengah malam dan mendengar suara mesin ketik dari ruang atas Gedung F, padahal ruang itu kosong dan gelap dan aku segera kabur menuju kosanku di Kampung Baru. Mungkin hanya ilusiku saja!

Mungkin ini pula mengapa aku “masuk dalam link” mereka dan dikenal para dosen sehingga memudahkanku dalam segala urusan. Aku merasa seperti aktivis kampus sejati saat itu walau sebenarnya peranku sampiran saja. Ini tentang M. Suharyono yang selalu baik dan ramah denganku. Ia seakan melihatku sebagai orang baik atau tekun dan selalu bertegur sapa. Ada juga M. “Gugi” Sugiharto yang kakinya jenjang.

Tidak lengkap jika tidak kuingat Zulkarnain Zubairi yang pandai menulis. Jago menulis puisi dan opini. Ia punya beberapa nama pena seperti Udo Z Karzi dan Joel K Enairy. Aku sebenarnya iri dan ingin bisa gabung di surat kabar mahasiswa Teknokra mengikuti jejaknya, atau melanglang buana di dunia pers tanah air. Ini makhluk yang memiliki prinsip hidup dan idealisme. Serupa dengan Iswadi Pratama sang penyair, yang suka lesehan di lantai sambil berbicara postmodernisme.

Pak Gun, Pak Usman, Pak Erom, Pak Hodlan, Pak Gede,…

Mengenang para dosen. Apakah perekonomian Indonesia payah pada tahun 90-an ya? Dosen-dosen tersayangku tidak ada yang naik mobil. Rata-rata naik vespa atau motor “laki”. Atau tahun 90-an kita masih di masa penjajahan? Kaloku ingat jadi penuh tanya saja. Kuingat Pak Gunawan jika mengajar naik vespa birunya. Pak Usman Raidar naik vespa kuningnya. Staf TU–aku lupa namanya–naik motor ‘laki’. Yang lain banyak dosen yang naik angkot dan jalan kaki sampai ke fakultas. Tidak ada tumpukan mobil atau motor di area parkir Gedung F. Begitu juga sebenarnya area parkir di seluruh Unila, sepi tidak seperti sekarang yang sesak dengan kendaraan.

Ya, Unila masa itu sunyi senyap, bebas polusi. Mungkin ketua persiapan yang naik mobil atau diantar. Pak Kantan Abdulah. Ketua persiapan yang “ditakuti”. Katanya beliau disiplin. Tapi, beberapa kali aku berinteraksi dengan beliau syukurlah aman-aman saja. Hanya jujur, takutku juga sudah kurasakan sejak sehari sebelumnya jika akan berurusan dengan beliau.

Gaya mengajar Pak Gun masihku ingat sampai sekarang. Pak Usman jika berbicara berapi-api. Mungkin karena beliau orang Sulawesi. Aku diajar Sosiologi Industri olehnya.

Pak Erom dosen PA-ku di semester pertama. Beliau ramah dan lembut banget. Gak takut sama sekali aku rasanya. Tapi, setelah itu beliau lanjut S2 sehingga PA-ku digantikan dosen lain, Pak Bintang (Kajur Sosiologi). beliau.

O ya, ingatanku tentang Pak Hartanto samar-samar masih melekat. Jika tidak salah ingat beliau Kajur Pemerintahan. Tegas dan agak “garang.” Paling gak suka melihat mahasiswa atau mahasiswinya yang cengengesan dan gak perhatian ketika beliau berbicara atau mengajar.

Pak Hodlan salah satu dosen idolaku. Beliau mengajar sangat teoritis dan dalam. Dasar keilmuannya dapat banget. Dosen cerdas! Untuk banyak kawan dianggap “dosen angel” karena nilainya sulit.  Tapi, nilaiku selalu A dengan beliau. Aku ikut Filsafat Politik dengannya. Aku beberapa kali sempat diskusi dengan beliau di kampus atau di rumah dinas dosen. Kebetulan aku sering berkunjung ke perumahan dosen karena Pak Gede Sidemen sering memintaku membantu beliau mengolah data penelitian jika dapat “proyek”.

Pak Gede Sidemen ini juga yang sedikit “menyambung” hidupku karena selalu memberiku uang lelah setelah selesai melaksanakan tugas. Bahkan aku sering diminta menunggu rumah dinas beliau jika beliau pergi. Aku leluasa meminjam komputer dan menyantap makanan yang tersedia dikulkas saat itu. Aku gak tahu apakah Pak Gede sadar bahwa aku sering “mencuri” isi kulkasnya.

Satu yang kuingat, jika aku disuruhnya membeli nasi di kedai dekat jalan masuk Unila, beliau selalu minta lauk belut goreng. Pak Gede juga yang akhirnya menjadi pembimbing sekripsiku berpatner dengan Drs. Selamet Rusmialdi dosen Fakultas Pertanian.

Ini juga akhirnya penyebab skripsiku cukup lama. Pandangan pembimbing satu dan pembimbing dua tidak selalu sama. Bahkan aku pernah “diusir” oleh Bapak Drs. Selamet Rusmialdi karena aku dianggap tidak tepat janji bimbingan. Padahal waktu itu aku sudah sampaikan akan memperbaiki dulu proposal penelitian untuk menyamakan saran pembimbing satu dan dua. Tapi,’ rupanya beliau lupa dan murka.

Aku ketakutan dan tidak berani menghadap untuk bimbingan sekripsi berbulan-bulan. Mau lari saja rasanya. Sampai Pak Gede menegurku dan menyuruhku untuk menghadap beliau lagi. Dengan gemetar aku temui beliau di kompleks perumahan dosen sambil menyiapkan mental untuk diusirnya. Tetapi alangkah terkejutnya aku karena beliau bersikap baik dan langsung menandatangani untuk melanjutkan keproses selanjutnya. Belum selesai. Pak Gede menyuruhku untuk melaksanakan proses penghitungan dan analisis data secara mendetail dan cermat. Maklum ini memang bidangnya.

Tak urung hampir dua tahun baru selesai proses pembuatan skripsi yang kumulai sebelum berangkat KKN di awal tahun 1995 dan sampai akhirnya aku diwisuda November 1996. Jika dipotong masa cuti selama 1 tahun. Masa studiku di fakultas orange adalah lima tahun empat bulan. Masuk Juli 1990 dan diwisuda November 1996.

O, ya ada satu cita-cita yang juga ku pendam sejatinya saat itu, yaitu bisa menjadi salah satu dosen FISIP Unila. Namun, jalan itu tidak pernah terbuka karena takdir Tuhan ternyata menentukanku sebagai seorang guru SMA kini. Yang pasti ilmu yang pernah kuraih difakultas orange tidak sia-sia.

Di fakultas orange ini juga aku penuh warna berkegiatan organisasi kemahasiswaan. Aku ditawari teman-teman untuk bergabung di kegiatan organisasi fakultas. Salah satunya Hardi yang mengajakku. Ia Angkatan 1991. Karena aku cuti sehingga aku juga sering mengambil kuliah yang ‘sama dengan Angkatan 91 dan 92. Jadilah aku anggota Badan Perwakilan Mahasiswa dan juga menjadi Koordinator Bidang Penelitian dan Penulisan Himasos. Hardi adalah ketua Himasos saat itu.          Pernah juga ada rencana aku diutus mengikuti kegiatan Himasos di Padang, tetapi kutunggu-tunggu tidak kunjung jadi. Padahal aku sudah menyiapkan materi tulisan dan memborong buku-buku di perpustakaan kampus dan perpustakaan fakultas. Jumlahnya lumayan mungkin ada satu becak banyaknya. Memang kebiasaan baikku salah satunya adalah selalu mengunjungi perpustakaan setiap ada waktu senggang. Segala jenis buku kulahap. Aku menjadi pelanggang peminjam paling aktif mungkin sehingga petugas perpustakaan hapal betul denganku saat itu.

Bukan hanya di fakultas orange ini saja sebenarnya, saat yang sama aku juga aktif di Keluarga Mahasiswa Hindu Unila (KMH) dan Keluarga Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia Lampung (KMHDI). Syahwat belajar berorganisasi betul-betul aku lampiaskan saat itu. Hebatnya di semester padat kegiatan ini nilaiku justru rata-rata A. Ini mungkin pertanda aku semakin percaya diri dan nyaman dengan suasana dan pola perkuliahan.

Demo

Aku tidak tahu asal-usulnya sebenarnya. Pagi itu aku berangkat kuliah seperti biasa. Rupanya kawan-kawan tahu bahwa Mendikbud Wardiman datang ke Lampung untuk melantik Rektor dan berkunjung ke STMN Tanjungjarang yang letaknya persis di sebelah FISIP Unila melewati jalan kecil ke arah Kampungbaru.

Sepontan kami bergerak membentuk formasi menghadang jalan. Kami dalam formasi duduk di tengah jalan. Aku kebagian memegang poster yang pastinya sudah disiapkan sebelumnya. Ini seperti teori jiwa massa bahwa ketika individu berada dalam kelompoknya yang banyak ia akan merasa berani dan kuat melampaui apapun jika dibandingkan seorang diri.

Wardiman turun. Aku lihat keringatnya sebesar-besar biji jagung. Entah karena panas atau juga shock. Ini pengalaman pertama berdemo bagiku. Perwakilan kami menyampaikan maksud dan tujuan demo. Aku lupa siapa yang membacakan “tuntutan”. Wardiman menerima “tuntutan” tersebut.

“Saya tidak kaget dengan demo ini. Saya sudah biasa. Ini belum apa-apa.” Kurang lebih itu sebagian kata-katanya yang masih kuingat  yang disampaikannya tanpa pengeras suara. Setelah itu kami memberi jalan dan Wardiman menuju SMKN Tanjungkarang.

Entah karena demo itu atau karena memang sudah saatnya akhirnya status “persiapan” tergantikan menjadi fakultas definitif. Persiapan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik berubah menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Horeee! Penantian berujung happy ending. Status ketua persiapan berganti menjadi dekan. Lega, puas, bahagia!

Kini setelah lebih tiga dasawarsa, sesekali kami “pulang” untuk menengok kenangan kami dulu. Semua sudah berubah. Hilang. Gedung yang dulunya hanya dua yaitu E dan F kini sudah beranak pinak. Tidak ada lagi semak dan pohon kelapa di belakang Gedung E. Sebenarnya aku menginginkan halaman di depan Gedung E tetap dibiarkan sebagai halaman. Dan akses ke jalan arah Kampung Baru tetap dibuka.

Di sanalah dulu kami duduk berjejer beralaskan beton yang memanjang persis di depan Gedung E itu. Menanti hadirnya dosen. Bercengkrama bersama teman-teman sembari merenda mimpi yang indah untuk hari esok kami. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top