Bung Pai
Oleh M Zia Ul Islam
SEMUA mahasiswa FISIP memanggilnya dengan sebutan Bung. Dia dosen. Dia mengampu mata kuliah Antropologi, ilmu yang mempelajari kehidupan manusia. Dalam benakku Antropologi lebih luas dari itu. Antropologi lebih mirip Filsafat karena ia juga mempelajari kebudayaan, interaksi sosial, norma, dan juga sejarah hidup manusia.
Penampilan dan perawakan Bung ini memang beda dari dosen lainnya. Pertama kali ikut kelas perkuliahannya, aku pikir dia adalah senior kakak tingkat yang juga mengambil mata kuliah yang sama. Tapi ternyata, justru dia dosennya.
Jumat itu aku duduk di deretan bangku paling depan. Tak banyak mahasiswa yang mau duduk di depan. Kebanyakan berebut duduk di bangku bagian belakang. Istilah sekarang, mahasiswa yang duduk di deretan depan disebut cupu, sedangkan yang duduk di deretan belakang disebut legend.
Tak selang beberapa lama Bung masuk ke kelas. Dengan jalan petantang-petentengnya, dia masuk kelas sambil ketawa.
“Kenapa ya? Bingung liat gua?”
Kalimat pertamanya saat masuk kelas membuatku heran. Gila nih orang. Bahasanya jalanan banget. Gua! Perawakan dan tampilan Bung juga enggak konvensional banget dengan dosen lainnya. Tinggi badan rata-ratanya, rambut ikal dan agak gondrong, berkumis, dan warna kulit kecoklatan. Hari itu dia memakai celana jeans ketat, kemeja tangan panjang yang digulung hingga setengah lengan. Dua buah kancing kemeja paling atas tidak terkancing menampakkan kalung perak tipis di lehernya. Kemeja planel kotak-kotak yang dikenakannya dimasukkan ke celana jeansnya yang sudah pudar warnanya. Buluk, bahasa kerennya. Ikat pinggang berkepala besar warna hitam melingkar di pinggangnya. Hari itu dia memakai sepatu boots warna coklat yang biasa dipakai oleh para Coboy Amerika atau para Raider Motor Gede alias Moge macam Harley Davidson.
Bayangkan. Dosen lain umumnya memakai kemeja, berdasi, memakai celana bahan dan bersepatu formal, Bung justru 180 derajat kebalikannya. Asli. Kesimpulannya, ini dosen nyentrik banget, menurutku.
Setengah jam pertama, Bung bercerita tentang dirinya karena waktu itu adalah kuliah perdananya mengajar kami yang masih semester tiga. Aku tidak begitu memperhatikan apa yang dia sampaikan. Yang aku ingat dia menjelaskan namanya Bung Pai. Ia tidak menyebutkan nama lengkapnya. Baru setengah jam berikutnya, dia menjelaskan secara detail tentang kuliah Antropolgi, definisi, sejarah, dan seterusnya.
Waktu itu kuliah jam satu siang di Gedung B.32, ruangan paling atas, paling besar dan tentu saja cukup panas pada jam tersebut. Namun, di jam yang rawan itu, justru terasa enak, santai, dan nyambung mendengar apa yang disampaikan olehnya. Mungkin itu tadi, cara bicaranya yang slenge-an dan seringkali menggunakan bahasa tongkrongan, menjadikan kuliahnya menarik untuk disimak dan didengar.
Selesai kuliah, aku masih terdiam di bangku, dan berpikir. Kacau. Kok kuliah gini banget ya dosennya. Teman-temanku juga riuh membahas penampilan Bung. Bukan teori Antropologinya, melainkan person pengajarnya.
Jumat berikutnya ada jadwal kuliah Antropologi lagi. Selepas Jumatan jadwal masuknya. Sebelum Jumat, aku dan teman- teman sudah ramai membicarakan Bung. Kami saling tebak, kira-kira dia pakai baju apa, bahasa tongkrongan, apalagi yang akan keluar dari mulutnya, dan seterusnya.
Ketika jadwal itu datang, seperti biasa sebelum masuk kelas, kami berkumpul di depan HMJ Ilmu Pemerintahan. Dan, Bung pun datang. Luar biasa! Dia datang ke kampus FISIP memakai Vespa warna oranye, nyelonong langsung masuk ke parkiran. Tanpa helm dan parkir dan dengan rokok masih terselip di di mulutnya. Aku melihatnya. Lagi-lagi bergumam, ‘Gila! Emang kacau ini dosen.’ Kami lalu bergegas masuk kelas untuk ikut kuliahnya.
Sejurus kemudian kami sudah di rung kelas yang sama dengan Jumat lalu. Kami sudah duduk rapi, menunggu Bung datang. Dan, luar biasa. Begitu Bung masuk kelas, dengan spontan kami dan beberapa senior yang mengulang mata kuliah Antropologi bertepuk tangan menyambut Bung. Iya, pertemuan kedua ini seperti sudah dirindukan oleh kami. Mungkin karena pertemuan pertama kami yang bisa dibilang sangat berkesan. Tentu saja berkesan karena dosennya. Bukan teori kuliahnya. Pertemuan pertama Jumat kemarin seperti ada sesuatu yang membuat Bung memiliki tempat di hati kami. Dan, sepertinya Bung memang menikmati sambutan kami. Dengan gaya khasnya, celana jeans buluk dan kaos berkerahnya, ia tertawa sumringah.
“Kenapa? Udah nungguin gue masuk ya?’’ tanyanya sambil tertawa.
Kelas menjadi riuh dengan berbagai perkataan dari kami yang seolah berebut menjawab pertanyaannya. Sepuluh menit kemudian dia sudah asyik bercerita tentang sejarah budaya dan adat-istiadat suku Lampung. Tidak lama kemudian seorang temanku masuk ke kelas karena terlambat dan langsung duduk. Kami semua melihat teman kami yang masuk terlambat itu, karena memang pintu kelas ada di depan kami. Awalnya biasa saja Tapi, tiba-tiba Bung berhenti berbicara dan menegur dengan keras teman yang terlambat. Dipukulkannya spidol yang dia pegang ke mejanya.
“Wooii! Lu lihat gak ada orang di kelas ini. Lu ketuk pintu gak? Lu minta izin masuk dulu gak? Berdiri lu!”
Seketika aku terkaget dan tersentak. Gila! Nih orang bisa marah juga ternyata. Seisi kelas memandang kepada temanku yang terlambat. Tapi, aku tidak. Aku justru fokus pada Bung, menerka-nerka, dan menebak apa yang akan dilakukannya. Bayanganku ia akan melemparkan spidolnya. Alhamdulillah ternyata tidak. Kejadian seperti ini memang sering terjadi di perkuliahan kami, ada mahasiswa yang terlambat masuk kelas di saat dosen sedang memberikan kuliah dan reaksi dosen umumnya menolak masuk mahasiswa yang terlambat. Temanku berdiri.
“Maaf Pak, saya terlambat,” ujarnya.
“Gue tahu lu terlambat. Tapi, lu masuk harus ada etikanya. Ketuk pintu dulu kek. Kan di sini dalem-nya orang semua. Bukan patung. Lu asyik aja langsung duduk. Orang kayak lu pasti orang yang egois, merasa paling pintar. Bener gak?”
Temanku diam tak menjawab. Tapi, kawan disampingku berbisik kepadaku, “Emang bener!.”
“Kok bener?” tanyaku.
“Iya, memang dia begitu. Gue ini temen satu kosan sama dia di Kampungbaru!”
Aku tak menjawab lagi. Aku hanya berpikir, berarti benar tebakan Bung. Luar biasa. Bener-bener Antropologi banget.
“Buat yang lain denger ya. Saya gak masalah kalau terlambat. Pasti saya izinkan masuk. Tapui, ada etikanya. Ketuk pintu dulu, izin dulu, tanya dulu dosennya… Pasti saya kasih masuk. Saya tahu semua orang punya kesibukan masing masing dan tidak bisa disamakan waktu kegiatannya. Memang kehidupan manusia itu sangat dinamis. Kita bisa berencana masuk jam setengah dua, tetapi ternyata kita masih bisa terlambat juga. Asal tidak disengaja itu manusiawi namanya. Makanya saya selalu maklum sama yang terlambat!”
Ternyata dalam kemarahannya terdapat teori Antropologi juga bisikku ke kawan sebelah. Kali ini kawanku yang diam tidak menjawab.
Bung kembali melanjutkan kuliahnya. Temanku yang terlambat pun duduk, bingung tidak jelas. Iya, dia bingung dibolehkan ikut kelas atau bakal diusir keluar kelas. Bung tidak menjelaskan.
Kelas pun berlanjut, dan bubar sekitar jam tiga sore.
Lepas Asar di Musala Tarbiyah yang terletak di antara FISIP dan Fakultas Ekonomi, aku menuju kantin untuk minum. Suasana lumayan ramai. Aku bergabung satu meja dengan teman seangkatan dan beberapa senior dalam satu meja. Dan, … mereka lagi membahas Bung.
Salah satu senior membuat tebakan, “Coba lo orang tebak nama panjangnya Bung Pai! ”
Beberapa dari kami menjawab cepat,“Pairulsyah. ”
“Kurang panjang,“ kata senior kami.
“Lah, memang namanya gitu. Pairulsyah!“
“Bukan! Yang bener adalah… Maksud Hati Memeluk Gunung, Apa Daya Tangan tak Sampai… Pai… itu nama panjangnya!“
Seniorku senyum-senyum. Kami pun dengan terpaksa tertawa kecil. Maklum junior. Ingin rasanya kubilang, jayus, tapi apa daya mulut tak sampai…eh.. gak berani. []
—————
M Zia Ul Islam, lulusan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila (2006). Baru senang menulis tiga bulan terakhir karena punya waktu senggang tiga bulan ini. Saat ini tinggal di Bandar Lampung setelah lebih dari 13 tahun berdomisili di Kalimantan Tengah.
* Ditulis untuk buku Romantika Kampus Oranye: Dinamika FISIP Universitas Lampung dari Kisah Alumni (proses terbit