Cerita Pendek

Dendam Kesumat

Cerpen Aliurridha

DIHANTAMNYA wajahku berkali-kali. Kurasai asin di bibirku. Darah! Wajahku panas seperti terbakar. Meskipun aku tak melihatnya, aku tahu bibirku sobek dan hidungku patah. Kemudian kulihat tatapan dingin pria itu, aku bergidik ngeri. Meskipun pandanganku mulai kabur, aku bisa melihat mata itu dipenuhi amarah serta dendam kesumat. Pria mengulangi tinjunya pada wajahku beberapa kali.

Ia mengambil jeda, menarik nafas. Saat itu kupikir dia telah puas. Ternyata belum. Diambilnya sebuah belati dari meja kecil di ruangan itu. Ah belati itu rasanya aku kenal, aku pernah melihatnya di suatu tempat. Kemudian semua terjadi begitu cepat. Aku  yang saat itu duduk pada sebuah kursi lipat dengan tangan terikat ke atas oleh tali yang dililitkan pada sebuah kayu langit-langit kamar tempat aku disekap, hanya bisa pasrah ketika dengan bengisnya belati itu ia tusukan ke leherku.

Senyum kepuasan muncul dari bibirnya bersamaan dengan dicabutnya belati yang membuat leherku seperti tangki bocor yang memuncratkan darah. Aku megap-megap, berusaha menghirup oksigen yang tidak mau lagi masuk ke paru-paruku. Perlahan kesadaranku mulai hilang, dan tiba-tiba semua gelap.

***

Aku terbangun dari mimpi buruk dengan baju basah kuyub oleh keringat. Akhir-akhir ini aku selalu mengalami mimpi yang berakhir sama, dibunuh seorang pria yang sama sekali tak kukenal. Sudah enam kali mimpi buruk ini mendatangiku. Aku takut sekali, semakin lama mimpi ini terasa semakin nyata.

Kurasakan tanganku sakit. Kulihat ada bekas memar di bagian tinjunya. Memar bekas latihan memukul samsak kemarin kok semakin sakit saja. Kata temanku itu normal. Persis seperti saat kita pertama kali mulai fitnes, keesokan paginya badan kita akan menjadi kaku dan sakit. Tapi aku kan sudah rutin latihan, kok tanganku masih sakit saja? Mungkin tubuhku seperti mentalku, sama lembeknya.

Sejak mimpi itu datang aku terus menerus takut, terus menerus gelisah, hingga pekerjaanku terganggu. Setelah beberapa sesi konsultasi, psikologku menyarankan untuk sering meditasi juga berlatih bela diri agar aku merasa tenang bisa melindungi diriku sendiri. Akhirnya aku memilih mendaftar kelas privat Muay thai yang telah jalan tiga bulan. Sayangnya meski aku lebih tenang, rasa takutku tidak pernah hilang.

Rasa takutku semakin menjadi-jadi ketika hari itu aku bertemu dia, sorang pria dari masa lalu. Ia datang ke kantor tempatku bekerja. Rupanya dia adalah rekan bisnis bosku. Lama aku tak bertemu dengannya belasan tahun sampai aku hampir lupa wajahnya. Dulu wajahnya jerawatan, rambutnya ikal, dan matanya sipit. Kini wajahnya bersih, hidungnya mancung, dan ia terlihat lebih tampan.

Penampilannya memang banyak berubah, namun tak mungkin aku melupakannya karena ia masa sekolah yang seharusnya menjadi surga kehidupan remaja terasa seperti di neraka. Ia menyulap sekolah seperti neraka tempat membakar dosa bagi remaja kuper dan kutu buku sepertiku. Saat melihatnya, tubuhku menggigil. Bajuku sampai basah oleh keringat.

“Dariel ya?”

“Iiyya… kamu Anton kan?” aku tertatih-tatih menjawab saking takutnya.

“Astaga ternyata benar. Lama sekali tak jumpa.”

“Kamu kenal Dariel?” tanya bosku pada Anton.

“Oh iya. Ini kawan lamaku waktu SMA. Salah satu anak paling pintar di kelasku. Selain pintar ia baik, suka membagikan jawaban ketika ujian padaku dulu.”

Apa! Membagikan? Padahal aku diancamnya jika tidak membagikan jawaban. Bukan karena suka, aku memberikan jawaban padanya. Ia berbicara seperti dulu kita adalah teman dekat. Apa dia sudah lupa bahwa dulu aku, Gilang, dan Dodi menjadi korban kebuasan dia juga anak buahnya? Ringan sekali mulutnya berkata, dia berbicara seolah dulu kami berdua berbagi kenangan indah.

Dia terus saja bercerita tentang kebaikanku pada bosku. Sampai akhirnya ia menyinggung masalah itu dan minta maaf kalau keisengannya dulu agak berlebihan. Iseng! Gila apa? Itu bukan iseng lagi. Dia dan teman-temannya pernah mengeroyok Dodi di toilet sekolah. Setelah menghajar Dodi menelanjangi serta memfoto tubuh telanjangnya, ia membuat Dodi telungkup di WC. Aku kemudian dipaksanya untuk menginjak kepala Dodi agar masuk ke WC.

Tentu saja aku menolak. Dodi satu-satunya kawanku setelah Gilang pindah sekolah karena tidak sanggup menanggung bully. Namun ia malah meninju hidungku sampai berdarah. Diancamnya aku jika tidak melakukannya maka aku yang akan menggantikan Dodi. Karena takut kepada mereka sambil menangis aku menginjak kepala Dodi sampai masuk ke dalam WC. Aku tak berani melihat apa yang aku lakukan pada Dodi dan hanya menatap langit-langit toilet.

“Lihat pengecut ini, ia menginjak kepala temannya karena takut,” Anton tertawa mengejek disusul tawa teman-temannya. “Kamu tahu dari segala hal yang kubenci di dunia yang pertama adalah seorang penakut, yang kedua adalah seorang yang tidak setia kawan. Kamu pikir aku bodoh sampai tidak tahu kamu pura-pura menjawab salah dan memberikan ke kami jawabanmu. Dodi sudah menceritakan semua rencanamu itu ketika aku tanya kenapa jawaban dia benar semua sedangkan kami salah.”

Anton kemudian menjambak rambutku dan mengulangi apa yang aku lakukan ke Dodi. Kepalaku diinjakya sampai masuk WC. Aku megap-megap tak bisa napas, menangis, memohon ampun tapi tak digubrisnya. Aku tak bisa melupakan tragedi itu. Sebuah tragedi yang disebutnya sebagai iseng belaka.

Sejak saat itu Dodi menjadi pendiam, berbicara padaku pun ia tak mau. Akhirnya hubungan perkawanan kami berakhir. Sejak kejadian itu ia tidak pernah menghubungiku lagi. Mengingat itu dadaku panas. Dendam membara di dadaku. Namun tentu saja aku hanya bisa memendam, aku terlalu penakut bahkan untuk sekedar mendendam. Kemudian aku teringat mimpi burukku. Jangan-jangan Anton adalah pria dalam mimpi itu. Pria yang akan mengambil nyawaku karena ia dipukul oleh ayahnya akibat ulahku memberi jawaban salah. Badanku mendadak demam. Aku menggigil dan gigi bergemelutuk.

Teman-teman yang melihat wajah pucatku menyarankan untuk pulang. Di rumah, kubaringkan tubuhku yang masih menggigil untuk beristirahat. Tanpa sadar aku terlelap. Ketika bangun aku telah berada di sebuah ruangan, rungan yang sangat kukenal. Ruangan yang selalu muncul dalam mimpiku.

Mataku masih agak kabur, namun jelas sekali aku melihat Anton. Tapi herannya aku tidak takut sama sekali seperti tadi. Aku kaget. Sejak kapan aku bisa setenang ini di hadapannya. Mungkin juga karena kondisi Anton duduk terikat di sebuah kursi, dengan tangan terikat dan tergantung tergantung pada sebuah kayu. Persis sepertiku aku dalam mimpiku.

“Ampun…”

Aku heran kenapa ia meminta ampun? Aku lihat sekeliling tidak ada siapa-siapa, hanya aku seorang. Kemudian aku tersadar bahwa aku sedang memegang sebuah palu di tangan kananku dan sebuah tang di tangan kiriku. Aku kaget, kulempar tang dan palu itu dari tanganku. Di mana ini? Apa yang terjadi padaku?

Aku melihat sekeliling ruangan sekali lagi. Aku kebingungan sampai suara yang begitu tajam menusuk telingaku muncul bersama sesosok yang sangat kukenal. Pembunuh dalam mimpiku. Aku betul-betul kaget melihatnya.

“Hei bodoh. Kau tidak perlu pura-pura kaget. Di sinilah kamu membunuh mereka.”

“Aku?” aku menunjuk diriku.

“Iya kamu telah membunuh enam orang. Dan, orang ini akan menjadi yang ketujuh.”

Aku tidak mengerti dengan yang dikatakan orang ini.

“Siapa kamu?”

“Aku adalah dirimu. Aku adalah dendam yang kau simpan dalam sudut kecil hatimu. Dendam yang kau sembunyikan. Dendam yang tak pernah kau buang.”

“Aku tidak punya dendam pada siapa pun.”

Dia tertawa menggelegar laiknya petir, memekakkan telinga.

“Kamu memang penakut, tapi tidak bodoh. Kamu lemah, tapi tak pandai bohong. Akulah yang selama ini membantumu membalas dendam. Enam orang teman orang ini (menunjuk ke arah Anton) telah kau bunuh, mutilasi, dan buang mayatnya.”

“Tidak…” aku menyangkalnya. Aku terus menyangkalnya sampai sekelebat ingatan hadir lewat sela kabut-kabut cerita orang itu. Ternyata aku benar-benar membunuh mereka. Tapi aku menolak percaya bahwa aku adalah pembunuh. Aku berteriak padanya.

“Kamulah yang membunuh mereka.”

Kembali ia tertawa begitu nyaring di telinga. Kemudian berkata dengan suara lantang yang memukul-mukul gendang telingaku.

“Mana bisa aku membunuh orang, aku tidak punya tubuh. Tapi aku bisa meminjamkanmu keberanian, keberanian yang telah lama kau kubur. Sekarang untuk terakhir kalinya, untuk orang yang paling kau benci, aku berbaik hati membaginya.”

Aku menatap pria di depanku lekat-lekat. Kulihat matanya penuh dendam yang membuat gelora di dadaku bangkit. Entah darimana munculnya keberanian itu. Aku melangkah mengambil palu yang penuh noda darah. Lalu aku menengok ke Anton. Kulihat wajahnya telah hancur seperti maling yang ketahuan mencuri ayam dan dipukulin warga sekampung. Kuku pada jari-jari tangan sebagian telah hilang dicungkil tang.

Anton menatapku, memelas, memohon ampun. Aku tersenyum, pria di depanku juga tersenyum. Kemudian ia menghilang entah kemana, meninggalkan aku bersenang-senang dengan tubuh bernyawa yang tak lama lagi berubah menjadi potongan daging makanan anjing. []

Gunungsari, 1 November 2020

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top