Mencermati Penggunaan Bahasa sebagai Objek Imperialisme

Oleh Resza Mustafa
BAHASA seperti kacang. Bertahan hidup sesuai waktu yang telah ditentukan, lalu dicabut ketika sampai pada waktunya. Terasa organis seperti kehidupan manusia, memiliki batasan berapa lama kata-kata dalam suatu bahasa dapat digunakan. Pemahaman yang serupa, pernah disampaikan Aitchison.
Bahasa bisa dikatakan tidak memiliki prinsip internal dalam keberadaanya. Serta belum tentu pula dapat memiliki kemampuan bergerak memasuki persaingan pasar para penutur. Bahasa mendapat peran bukan berasal dari hukum alam, melainkan dari adat dan budaya yang berlaku di tengah-tengah masyarakat pengguna.
Contoh seberapa penting kadar bahasa berhubungan dengan pengguna, pernah terjadi di Turki. Tepatnya di kota bagian Tenggara, Ankara. Lucas Reilly mengisahkan betapa masyarakat Ankara merasa kurang puas dengan keputusan yang dikeluarkan Wali Kota, dalam “Why the Letters Q, W, and X Were Once Illegal in Turkey” rilisan mental-floss.
Wali Kota Melih Gokcek pada saat itu, mengirimkan kartu ucapan selamat menggunakan ejaan kata “Nowruz”, atau Tahun Baru Persia kepada warganya. Padahal dalam bahasa Turki, ejaan resmi bagi festival Persia tersebut adalah “Nevruz”. Tak lama kemudian, Wali Kota dituduh kurang nasionalis karena telah menggunakan surat alfabet ilegal.
Memang, sejak medio 1928, Turki secara resmi mengubah sistem penulisan dari sistem berbasis huruf Arab ke sistem huruf Romawi. Perubahan yang dianggap sebagai langkah besar untuk memodernisasi negara. Undang-undang (aturan) yudisial tersebut dikemas dengan disertai kesepakatan yang tidak biasa; yaitu bagi huruf Q, W, dan X dilarang penggunaannya. Tentu, hal ini memengaruhi sistem ejaan bahasa Turki.
Sementara dua tahun sebelum Melih mengudarakan ejaan “Nowruz” ke muka umum, 20 orang Kurdi didenda 100 lira karena melakukan kesalahan yang sama. London Review of Books, Yasmine Seale menjelaskan mengapa undang-undang tentang ejaan dalam bahasa Turki diciptakan. Salah satunya adalah demi kepentingan politik, dan — homogenitas budaya — menekan banyaknya penggunaan bahasa minoritas.
Karakter baru ditambahkan ke sistem huruf untuk mengakomodasi fonologi Turki — ğ, ı, ü, ş — sementara yang lain serentak ditinggalkan. Pemerintah pusat memilih berpegang erat pada kekhususan bahasa Turki, dan melarang semua karakter Latin lain. Secara efektif, melarang ekspresi tertulis dalam bahasa apa-pun selain Turki, tanpa terkecuali ejaan Kurdi.
Hampir 20 persen penduduk Turki merupakan orang Kurdi. Ketika berbahasa baik lisan maupun tulis, orang Kurdi cenderung menggunakan huruf seperti Q, W, dan X dalam ejaan keseharian. Karena negara memberi aturan larangan penggunaan Q, W, dan X setiap orang Kurdi yang namanya ada tiga huruf tersebut mesti menanggung beban hukum, yaitu soal pencatatan nama di kartu identitas (KTP).
Kloss menyatakan tiga faktor utama kepunahan suatu bahasa. Kepunahan tanpa peregeseran munculnya bahasa baru, kepunahan karena bahasa lama menyerah pada pertentangan budaya modern, dan kepunahan karena proses metamorphosis (sebuah bahasa utuh yang turun derajat jadi dialek). Bahasa seolah-olah bersifat konsumtif, ketika laik dan laris di pasaran “bahasa gaul” dipakai, sedang bahasa Ibu ditinggalkan.
Pemakaian Q, W, dan X penting dipakai orang Kurdi, tetapi di sisi yang lain kurang pantas digunakan bila mengikuti aturan legal bahasa resmi nasional Turki. Bahasa sebagai objek imperialisme punya berbagai macam bentuk. Hampir semua bahasa punya daya efektifitas dan fungsi khusus bagi para penutur. Orang-orang tuli memakai gerakan isyarat, sementara orang normal memilih bahasa Inggris sebagai bahasa utama segala bangsa.
Alif Danya Munsyi, menjabarkan makna kata Indonesia. Secara etimologi dari dua padan kata “Indo” dan “Nesia”, alias Nesia yang Indo. Punya kejelasan arti; kemempelaian yang beranak pinak sangat banyak.
Dari hal itu, kita bisa lihat sama-sama, bahwa sebenarnya bahasa Indonesia muncul berdasarkan keharmonisan multikulturalisme adat dan budaya ribuan suku bangsa. Kemempelaian tak hanya mengandung arti keserasian, melainkan jumlah banyaknya estetika yang turut melekat dalam ribuan kata yang menawan. Tidak cuma dalam daftar ejaan dan kamus, namun juga membawa serta merta seluruh bahasa tutur. Termasuk tata tulis “-oe” yang dibaca “u”. []
—————–
Resza Mustafa, sempat bergabung dengan Gatra.com tahun 2019 menulis isu-isu politik, perkotaan, pendidikan, dan sosial-budaya.

Pingback: Mencermati Bahasa sebagai Objek Imperialisme – Sintesis Posteriori
Udo Z Karzi
November 24, 2020 at 8:20 pm
Keren. Terima kasih.