Cerita Pendek

Nomor Antrean

Oleh Fahrul Rozi

LELAKI itu bernama Badrud, duduk di kursi dengan wajah sayu. Kepalanya amat berat sehingga ia tak dapat mendongak untuk melihat jam. Badrud tampak gelisah, jemarinya mengetuk-ngetuk gagang kursi aluminium, kaki kanannya diangkat dan ditaruh pada kaki satunya. Badrud mendengus, ditatapnya pintu putih yang berada tidak jauh di depannya. Ia melihat perempuan masuk ke dalam, dan keluar dengan wajah cerah. Tapi Badrud takut. Badrud takut pada dokter. Namun tidak lama setelah menghela napas panjang dan menurunkan kakinya, ia duduk tegak melihat pintu putih. Ia mendengus, kali ini lebih kuat. Dan seorang di sampingnya menoleh lantas bertanya.

“Apa anda baik-baik saja?” Alih-alih menjawab Badrud malah balik bertanya.

“Apakah anda percaya bila kuceritakan tentang matahari?” Seorang perempuan di sampingnya mengangguk.

“Baiklah, akan kuceritakan bagaimana aku melihatnya…” Perempuan yang sempurnanya disebut Ibu Tina mendekatkan telinga agar mendengar lebih jelas.

“… Saat itu masih pagi dan siapa pun akan menganggap matahari masih malu muncul ke permukaan, menampakkan wujud. Namun setelah lebih dari dua jam, aku menjadi sangsi, sebab setelah kemarin sore melihat arakan awan menggiring matahari ke barat, aku yakin matahari tidak akan terbit. Karena yang kulihat kemarin benar-benar menyita perhatianku sehingga aku mengejarnya, aku mengejar matahari—apa anda masih percaya dengan ceritaku?” Ibu Tina mengangguk. Lalu ia menghadap wajah Badrud, sayu.

“Aku mengejarnya sampai terpojok di satu tempat asing. Aku tidak tahu tempat apa itu sebenarnya, ada banyak sampah yang bermukim di sana. Sampah yang menggunung dan seperti padang sampah. Aku hampir saja terjatuh, tapi untungnya aku diselamatkan oleh dahan pohon yang berada di sana. Tepat di atas padang sampah aku melihat matahari bersinar begitu terang dan tegas. Sinarnya merayap ke penjuru padang sampah, dan menaiki kakiku. Aku terposana dengan yang kulihat. Andai saja anda ada di sana, mungkin anda terpesona…” Ibu Tina mengangguk sedikit lambat, mungkin karena mencerna isi cerita Badrud yang sedikit mengganggu pikirannya.

“Nomor 17 silakan masuk, dokter sudah menunggu.” Ibu Tina bangkit dan menoleh pada Badrud. Ia tersenyum dan meninggalkan Badrud dengan langkah pelan. Suara tanparan sandal jepitnya mengisi gendang telinga Badrud dan tangannya bergerak mengambil nomor antrean di saku bajunya.

“10!?” pekiknya keras, semua mata jadi tertuju padanya. Badrud tercengung. Ia berdiri dengan kaki gemetar dan menghampiri suster yang berdiri menjaga nomor antrean.

“Apakah aku boleh masuk?” tanyanya sambil menunjukkan kertas. “Aku tadi ketiduran,”

“Anda tidak bisa masuk begitu saja, kasihan yang sudah menunggu, lagi pula ini kesalahan Anda sendiri—Anda harus ambil nomor antrean lagi dan menunggu,” Badrud mendengus kesal.

“Aku lebih dulu mengantre, mengapa aku harus mengantre lagi?”

“Peraturan tetap peraturan. Anda harus mengikuti.”

Badrud mendengus memandang jam yang bergantung tepat di atasnya. Ia berpikir bahwa tidak lama lagi Paman Zamzam akan datang ke rumah membawa motornya kembali. Namun ia tidak ingin tamunya itu kecewa karena tidak bertemu dengannya. Badrud segera  menjulurkan tangan, dan, “Berikan aku nomor antrean lagi.” Perawat itu menarik secarik kertas dan memberikannya pada Badrud.

Badrud kembali ke tempat duduknya, lalu tangan kanan meraih ponsel di saku celana. Ia mengusap layar ponsel dan menempelkan ke telinganya. Badrud memberitahu Paman Zamzam kalau ia sedang berada di luar dan akan segera kembali.

“Nomor 20 silakan masuk, dokter sudah menunggu.”

Badrud melihat nomor antreannya, masih kurang lima giliran lagi untuk sampai nomornya. Seorang lelaki lebih muda darinya dengan kaca mata tebal berdiri—melangkah pasti ke arah pintu yang dijaga suster.

“Bolehkah saya duduk di sini, Tuan?” tanya seorang perempuan muda, mungkin juga lebih muda dari Badrud. Refleks Badrud mengangguk. Ia menarik tangannya dari saku celana dan mengeluarkan dua lembar kertas. “Lihat, aku sudah mengantre dua kali,”

“Mengapa?” tanyanya singkat tanpa menoleh.

“Entahlah,” jawabnya sama singkat.

“Berapa nomormu?” tanya Badrud seraya memasukkan kembali nomor antreannya.

“24,”

“Tapi sebenarnya bukan aku yang akan diperiksa, tapi sesuatu di perutku,” Kalimat perempuan itu panjang dan membuat mata Badrud jatuh ke perut perempuan itu.

“Oh… kenapa sendiri?” tanya Badrud sekenannya.

“Aku tidak sendiri, tapi berdua,” Mata perempuan itu mengarah tajam pada Badrud.

“Maukah kau mendengarkan ceritaku?”

“Hemmm,” Perempuan itu tampak berpikir dengan dua tangan masih mengelus perut besarnya.

“Baiklah, ini karena bayiku yang memintanya,”

“…Saat itu aku sedang berdiri di atas tumpukan sampah, alih-alih pergi aku memanjat padang sampah yang tampak menggunung, berpegangan pada sebatang dahan pohon yang tertimpuk, kaki menginjak kaleng soda sehingga bunyi kerik mengadu dengan cap-cap air yang menetes dari mulut botol minum, sementara satu tangannya meraih puncak. Matahari begitu dekat ketika aku sampai di sana, sinarnya hangat dan peluh mulai menetes dari ubun-ubun sampai ujung kaki. Kau tahu, ketika itu aku membayangkan bahwa besok matahari tidak akan muncul lagi,”

“Kok bisa?”

“Nomor 22 silakan masuk, dokter sudah menunggu.”

Badrud belum menjawab pertanyaan perempuan itu, matanya terpaut pada pintu putih yang kini dimasuki nenek berambut putih.

“Kok bisa?” ulangnya.

Badrud tersadar dan ia segera menjawab asal. “Karena langit sudah tidak menerima matahari,”

“Apakah benar begitu, aku kok baru mendengarnya?”

“Kau mungkin tidak akan percaya sekarang, tapi dua hari lagi kau akan melihatnya sendiri,” Badrud tidak yakin dengan jawabannya, tapi ia merasa lebih legah kerena sudah membagi ceritanya.

“Bayiku ingin mengenal namamu,” ujung bibir perempuan itu terangkat sehingga gigi ompongnya terlihat.

“Namaku Badrud, senang berkenalan dengan bayi yang… oh ya, siapa namanya?”

“Kalau nanti ia perempuan kuberi nama Iik dan bila laki-laki kuberi nama Aak.”

“Baiklah, sebentar lagi aku akan dipanggil,” Perempuan itu berdiri ketika suster menyebutkan nomornya. Ia masuk ke dalam pintu putih, sementara dari arah apotek Ibu Tina berjalan ke arah Badrud menenteng plastik putih berisi obat.

“Sudah mau pulang?” serunya lebih kencang sehingga orang-orang yang sedang duduk menunggu nomornya dipanggil menoleh ke arah Badrud. Sontak Ibu Tina mengangguk tanpa menjawab, ia melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.

Ponsel di saku celananya berdering, ia raih dan meletakkannya di telinga.

“Aku sudah di depan rumahmu,” kata Paman Zamzam di balik telepon bersamaan dengen gemerincik hujan.

“Masuk saja dulu, aku kejebak hujan,” Setelah mendapat sahutan telepon dimatikan. Lalu ia melihat perempuan tadi keluar dari pintu, Badrud berdiri menunggu suster memanggil nomornya.

“Bayiku akan segera lahir dan ia ingin kau menjenguknya,”

“Suatu kehormatan.”

“Nomor 25 silakan masuk, dokter sudah menunggu.” Suster di depan pintu menyebutkan nomor Badrud.

“Semoga berhasil….” kata Perempuan itu seraya menepuk pundaknya, lalu menghilang di hadapan Badrud.

Badrud berjalan ke arah suster yang berdiri di depan pintu. Ia masuk dan dokter menyambut dengan senyum.

“Silakan duduk,” Lelaki berjas putih panjang dengan kaca mata bening duduk di balik meja bertatak kain putih yang di atasnya terdapat tumpukan lembaran kertas, sementara dokter sedang membaca satu lembar kertas dan sesekali memperhatikan Badrud. Badrud ragu-ragu duduk, kakinya gemetar namun ia menyembunyikannya.

“Apa yang Tuan keluhkan?”

“Apakah dokter akan percaya?” tanyanya masih berdiri.

Dokter mengangguk mantap dan, “Duduk dulu.”

“Tidak lama lagi matahari akan raib…” Badrud berhenti untuk melihat respon dokter, tetapi dokter itu diam saja dengan wajah datar. “Matahari dicuri…” Badrud berhenti lagi untuk melihat perubahan air muka dokter, alisnya terangkat serta kerut di kening bertambah. Mungkin dokter sedang menebak penyakit Badrud, maka Badrud melanjutkan, “sinarnya akan menghilang dan umat manusia akan mencarinya ke penjuru dunia, tapi apakah dokter tahu di mana matahari itu berada?” Alih-alih menjawab dokter malah berdiri membersihkan kaca mata lalu memakainya kembali.

“Matahari itu ada di balik padang sampah yang menggunung di barat, dokter harus membantuku….” Sebelum menyelesaikan kalimatnya dokter itu menyela.

“Aku tahu apa yang Tuan butuhkan, tunggu sebentar….” Dokter itu berjalan ke arah lemari putih, membukanya lantas mengambil sebuah botol kecil berisi cairan putih, lalu memberikannya pada Badrud. “Pakai ini, Tuan sudah pasti tahu cara pakainya.”

***

Badrud keluar ruangan lalu duduk kembali di kursinya. Ia terus-menerus menatap botol kecil di tangannya, sementara ponsel di saku celananya berdering. Badrud masih menatap botol itu, ia putar, balik, dan mengocoknya sampai berbusa. Ponselnya berdering lagi, tapi Badrud masih mencari petunjuk untuk memakainya, ia lupa menanyakan hal itu pada dokter. Ia terlalu buru-buru. Maka Badrud pun meminta nomor antrean lagi lalu duduk menunggu nomornya disebutkan.

Kutub, 19-12-2019

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top