In Memoriam Sapardi Djoko Damono
Kita bertemu lewat karya. Tak terlalu penting bersua secara fisik.
~ Sapardi Djoko Damono
SUDAH lama sekali, saya mengatakan membaca karya-karyanya dan mengutarakan keinginan untuk bertemu dengannya dalam sebuah komentar di dinding Facebook-nya. Agak lama tak ada jawaban. Saya pikir, siapa pulalah saya kok harus dijawab. Tapi, ahai, tertulis di situ: “Waalaikum salam. Itu sudah benar. Kita bertemu lewat karya. Tak terlalu penting bersua secara fisik.”
Kira-kira begitu jawaban penyair Sapardi Djoko Damono. Agak lupa persisnya.
Dan benar, hingga kepergian penyair-sastrawan besar ini, kami tak pernah bertatap muka. Ketika Pak Sapardi ke Lampung, berbicara dalam sebuah seminar di Universitas Lampung (Unila) tahun lalu pun, kami tidak bertemu. Saya tidak tahu dalam kapasitas apa saya mesti menghadiri seminar tersebut dan bertemu Pak Sapardi. Hahaa…
Namun, ia benar belaka. Senyatanya saya berkali-kali bertemu dengannya lewat puisi, esai, lomba, buku, koran, majalah, dan berbagai media lainnya.
Masih SD atau mungkin SMP, saya yang baru diperkenalkan dengan puisi, membaca sajak Sapardi Djoko Damono ini:
DI KEBUN BINATANG
Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular
yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan
lidahnya; katanya kepada suaminya, “Alangkah indahnya
kulit ular itu untuk tas dan sepatu!”
Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cepat-cepat
menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu.
1973
Pikirin bloon saya kala itu, bertanya-tanya, puisi kok kayak dongeng mini. Beda benar dengan sajak-sajak Chairil Anwar, Amir Hamzah, Sanusi Pane, Mohammad Yamin, dan lain-lain. Repotnya, guru bahasa dan sastra tidak menjelaskan dengan sebaik-baiknya.
Ya, sudah. Saya teruskan membaca macam-macam. Sesekali ketemu lagi dengan Sapardi.
Meskipun tidak menang dan hanya masuk nominasi “berjumpa” lagi dengan Sapardi yang menjadi juri Krakatau Award 2002 bersama Sutardji Calzoum Bachri dan Isbedy Stiawan ZS dan dibukukan dalam Lampung Kenangan: Krakatau Award 2002 (Dewan Kesenian Lampung, 2002).
Lalu, iseng-iseng, saya ikut menyumbang dua fiksimini atau apalah namanya dalam buku bertitel Graffiti Imaji (Cybersastra.net, 2002). Aih, editor buku kumpulan cerpen pendek ini adalah Sapardi Djoko Damono, Yanusa Nugrogo, dan Anna Siti Herdiyanti. Sebelumnya, Sapardi memang mulai banyak menulis cerpen pendek – entahlah, tidak tahu juga kenapa cerita pendek (cerpen) yang sudah pendek harus dipendekkan lagi.
Tentu alangkah banyaknya pertemuan dengan Sapardi setelah itu. Terakhir, bersua di Majalah Majas No. 3 Vol 1/Mei-Juli 2019, Sapardi berseru dengan riang, “Sastra Indonesia menggembirakan, asal tidak menuntut buku puisi harus laku.”
Buku-buku puisi penyair kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini: DukaMu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Perahu Kertas (1983), Sihir Hujan (1984), Suddenly the Night (1988), Hujan Bulan Juni (1994), dan juga banyak lagi — termasuk buku Bilang Begini Maksudnya Begitu (2010), yang sering saya bolak-balik bersama buku teori sastra lainnya — membuat pertemuan-pertemuan kami masih akan berlangsung, bahkan selepas kepergiannya.
Demikianlah, saya menerima kabar Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono berpulang Minggu, 19 Juli 2020 pukul 09.17 di Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Innalillahi wainna ilaihi rajiun. Tak bisa saya menggambarkan perasaan saya.
Selamat jalan, Penyair. Saya masih ingin dan insya Allah, masih bisa bersua denganmu dalam berbagai kesempatan selama hayat masih dikandung badan. Engkau duluan meninggalkan yang fana, kami tentu akan menyusulmu. []