Doeloe! Sekarang Gak Sama Geh…


DUA isu utama dunia pendidikan terkini: uang kuliah tunggal (UKT) dan Sastra Masuk Kurikulum (SMK) memang menarik. Tapi, bagi saya, kedua isu basi. Keduanya hanyalah pengulangan dari bentuk karut-marut pendidikan di negeri ini, dari dulu sampai sekarang.
Rasanya saya semakin purba saja melihat kehidupan yang semakin pragmatis, semakin materialis, dan semakin komersialis; tak terkecuali bidang pendidikan sekalipun.
Benar! Kalaulah saya hidup di zaman ini dengan biaya kuliah yang jut-jutan, saya tak mungkin bisa menikmati pendidikan tinggi. SPP kuliah saya di Universitas Lampung (Unila) tahun 1990 hanya Rp90.000 (sembilan puluh ribu rupiah) hingga 1999, seperti dikatakan Alex R Nainggolan, SPP di Unila Rp270.000. Memasuki abad ke-21 mulailah kenaikan gila-gilaan uang kuliah dari Rp400 ribu hingga mencapai jut-jutan.
Kuliah itu semakin cepat semakin baik ya wajarlah kalau melihat biayanya. Sekarang ini terutama!
Beda dengan dulu, saya kelewat santai menyelesaikan kuliah, sampai enam tahun (1990—1996) kuliah. Beberapa teman seangkatan malah memaksimalkan masa kuliah hingga tujuh tahun sebelum keluar surat D.O. Hehee…
Sebabnya, ya itu SPP kami cuma Rp90.000.
Sebenarnya, SPP segitu cukup saya bayar pakai honorarium empat tulisan di Lampung Post dengan asumsi honor tulisan rata-rata Rp25.000.
Tapi, jangan bilang-bilang ke ortu ya kalau tidak ingin kiriman dari kampung distop.
Lalu, yang kedua, mengenai sastra masuk kurikulum. Saya sebagai anak kelahiran serbananggung 1970-an, yaitu zaman peralihan menuju dunia serbadigital justru heran dengan proyek ini. Apa memang tidak ada pelajaran sastra selama ini, terutama pascareformasi? Dalam pelajaran bahasa Indonesia misalnya, tidak adakah buku-buku dan penulis sastra diperkenalkan ke siswa?
Kacau juga kalau sastra tak ada lagi di kurikulum sekolah sejak tahun 1998 sampai keluarnya proyek Sastra Masuk Kurikulum tahun ini.
Tahun 1970-an sampai 1990-an, alhamdulillah saya masih bisa mengalami masa-masa kejayaan media massa cetak, mesin ketik, surat-menyurat berperangko, dan wesel pos.
Sebelum Reformasi menghancurkan tatanan Orde Baru, saya bisa menikmati dengan gratis bacaan Inpres yang bisa saya baca dan pinjam dari Perpustakaan Sekolah, mulai dari SD hingga SMA. Tanpa hendak membela rezim Orde Baru, inilah hebatnya pemerintah Orde Baru! Buku-buku “sastra” dibeli dari penulis/penerbit untuk disebar ke seluruh perpustakaan sekolah dan perpustakaan umum.
Bagaimana proses buku sastra itu masuk Inpres, saya tak terlalu pusing waktu itu. Ada kongkalikong atau mengandalkan “orang dalam” sama sakali tak ada masalah bagi saya masih yang kanak-kanak. Yang jelas, saya bisa membaca buku-buku sastra Inpres itu dengan asyik dan gembira.
Namun, tentu saja, buku bacaan (sastra?) Inpres ternyata tidak cukup. Saya dan teman-teman masih perlu membaca di koran dan majalah. Bisa juga menyewa di kios baca atau taman bacaan atau apalah namanya. “Bacaan liar” atau roman picisan toh tak mungkin bisa didapatkan dari perpustakaan sekolah atau Perpusda.
Saya juga tak paham kalau ada pembatasan usia untuk bacaan-bacaan itu. Karena itu, saya yang anak-anak tak pernah merasa dilarang membaca buku remaja, buku dewasa, dan buku orang tua. Bahkan bacaan porno. Yang terakhir ini jelaslah dilarang kalau ketahuan. Kalau tidak ketahuan sih, kali gak apa. Hiks…
Waktu kuliah, saya kemudian tahu ada banyak buku sastra yang dilarang pemerintah Orde Baru. Karena dilarang itu, makanya malah tambah suka berburu “buku terlarang”. Bahkan, fotokopian pun rasanya bangga banget punya itu.
Orde Baru memang banyak membatasi, tetapi kami (saya?) merasa tetap merasa merdeka membaca buku apa saja. Jadi, rasa-rasanya jargon “merdeka membaca, merdeka menulis” itu lahir dari orang-orang yang memang aselinya tidak suka membaca.
Meskipun tidak masuk Inpres (sekarang: Sastra Masuk Kurikulum), tidak direkomendasikan sebagai karya sastra bermutu tinggi, dan karena itu menjadi bacaan wajib siswa; saya tetap menganggap buku-buku terbaik sepanjang masa adalah fiksi karya-karya Motinggo Busye, Fredy S, Nick Carter, dan Enny Arrow.
Sekarang, saya tetap mau menulis dan menerbitkan buku, mau nyastra mau nggak, mau bagus mau kagak, mau masuk kurikulum mau tidak, … bodok amat. Tapi, nggak juga kalau mau bikin yang kayak Enny Arrow. Saya masih takut dosa.
Doeloe…
“Sekarang gak sama geh!”
Ana kidah, saya malah kena maki.
Langsung pusing saya! []
