Eksperimen Seorang Penyair
Oleh Budi P Hatees
PUISI-PUISI di dalam buku Sandal di Penghujung Pintu ini beberapa di antaranya sudah pernah saya baca saat disiarkan Oky Sanjaya di Lampung Post. Beberapa lainnya baru saya baca, terutama puisi berjudul “Pembunuhan Sandal”. Ketika Oky Sanjaya mengatakan ia akan menerbitkan sebuah buku puisi, saya pikir langkah itu sebuah pilihan yang tepat. Ia sudah punya buku puisi berbahasa Lampung, Di Lawok, Nyak Nelepon Pelabuhan (BE Press, 2009) yang menjadi nomine Hadiah Sastra Rancage 2010 dan beberapa puisinya juga sudah terpilih dalam beberapa antologi puisi bersama. Selain itu, penyair yang berprofesi sebagai guru ini, dalam menjalani karier kepenulisannya, acap memenangi sayembara penulisan puisi.
Saya tak hendak banyak bicara isi buku ini. Sebab, sudah pasti, saya hanya akan melakukan penafsiran, dan akhirnya, saya tak akan bisa menahan diri untuk mengkritisinya. Sebab, hal pertama yang akan saya soroti, tentu saja konsistensi pengucapan pada seluruh puisi yang ada dalam buku ini. Oky Sanjaya memperkenalkan dirinya kepada pembaca puisi dengan cara yang berbeda. Ia keluar dari konvensi berbahasa, setidaknya, ia bisa dibilang melakukan uji coba, memberi makna berbeda pada kata, makna yang tidak ada kaitannya dengan konvensi.
Tapi, sebelumnya saya ceritakan bagaimana saya mengenalinya. Suatu hari, puluhan tahun lalu, saat saya masih tinggal di Rajabasa, Bandar Lampung, Oky Sanjaya rutin datang bertamu ke rumah. Dia seorang penulis puisi. Beberapa puisinya disiarkan di Lampung Post, di dalam rubrik “Klinik Sastra”, sebuah rubrik yang menjadi bagian dari Halaman Bintang Pelajar Lampung Post edisi Minggu. Saat itu saya redaktur Lampung Post edisi Minggu, dan Udo Z. Karzi menjadi pengasuh rubrik “Klinik Sastra”.
Saya dan Udo bersepakat, ia yang bertanggung jawab melakukan regenerasi, mencari bakat-bakat sastra terpendam dari kalangan pelajar dan menyiarkan karya mereka di “Klinik Sastra” dengan sedikit ulasan tentang karya yang disiarkan itu. Mirip seperti rubrik “Pertemuan Kecil” di Pikiran Rakyat pada decade 1980-an, atau seperti rubrik Warung Sastra Diha di Swasdesi yang dikelola oleh Diah Hadaning.
Setiap karya yang disiarkan di Klinik Sastra, kami catatan siapa pengarangnya dan bagaimana karyanya. Dekade awal 2000-an, sejarah kepenyairan di Provinsi Lampung banyak melahirkan generasi baru dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Mereka mengawali karier kepenulisannya dari Lampung Post, baik menulis puisi maupun prosa. Beberapa di antara mereka, sampai hari ini, masih berkarya secara konsisten. Beberapa di antara mereka, sampai hari ini, masih sering berkomunikasi dengan saya, dan saya selalu menyingung perihal konsistensi mereka dalam berkarya. “Teruslah menulis,” kata saya. Dan, kalimat seperti itu selalu saya sampaikan kepada siapa saja yang pernah dekat dengan saya dan “merasa” pernah belajar sastra dengan saya, meskipun saya tak pernah menjadi guru bagi siapa pun di bidang sastra.
Oky Sanjaya salah seorang dari mereka. Setelah ia menjadi mahasiswa di Universitas Lampung (Unila), kami semakin sering bertemu. Namun, meskipun ia sering bertamu ke rumah dan kami selalu mengobrol banyak hal tentang dunia kesenian, saya tak pernah mengajarinya secara khusus tentang menulis karya sastra. Tidak ada orang yang secara khusus saya ajari menulis karya sastra.
Bagi saya, menulis karya sastra itu bisa dipelajari sendiri, dan itu bukan soal yang esensial. Yang esensial, setiap orang yang bisa menghasilkan karya sastra (puisi dan prosa) adalah orang yang harus punya fondasi dalam berkarya, dan, di sinilah, fungsi saya hanya memperbaiki fondasi itu dengan material-material yang lebih berkualitas. Saya tak ingin fondasi itu roboh di tengah jalan dan ia berhenti berkarya. Saya ingin ia punya fondasi kuat, pijakan untuk terus berkarya, dan hal itu hanya bisa diperolehnya dengan membaca.
Fondasi dalam menulis karya sastra adalah ilmu pengetahuan. Menulis karya sastra itu, lebih dari sekadar lelaku kreatif. Menulis karya sastra merupakan upaya untuk menguatkan eksistensi sekaligus esensi manusia sebagai makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan makhluk hidup lainnya. Ini ucapan Ibn ‘Arabi, seorang sufi, ketika ia menilai puisi sebagai keistimewaan dari kemampuan manusia penyair dalam berkhayal.
Dalam bahasa modern, khayal bisa sinonim dengan “fantasia” dalam bahasa Aristoteles atau “imajinasi” dalam bahasa Jean-Paul Sartre. Sebab khayal, bagi Ibn ‘Arabi, tidak hanya berhubungan dengan kecerdasan akal, tetapi berkaitan pula dengan kepekaan merasa (dzauq) dan pengalaman indrawi (hissy). Menurut kaum filsuf, hanya orang tertentu seperti nabi dan orang-orang pilihan yang sanggup mengaktifkan daya khayal sampai pada titik kulminasi. Penyair tertentu termasuk sebagai orang-orang pilihan. Misalnya, penyair seperti Nietzche, yang pernah menulis tentang “Tuhan telah mati”, dan ia sedang mengimajinasikan matinya sesuatu yang profane di dalam diri manusia.
Untuk mengkhayal, atau saya pakai saja kata “berfantasi” atau berimajinasi” agar bisa menghasilkan karya sastra, seseorang butuh fondasi yang kuat dari material yang berkualitas. Oky Sanja tahu soal itu. Kami sering bicara soal itu. Ia jadi sering datang ke rumah karena setiap kali ia pulang, saya selalu berikan buku sastra. Saat ia menjadi mahasiswa di FKIP Unila, ia mengambil jurusan ilmu eksakta, dan itu membuatnya tidak terlalu banyak mengakses buku-buku sastra. Buku sastra lebih banyak diaksesnya di rumah saya, ditumpukan perpustakaan pribadi saya, dari buku-buku berbahasa Indonesia dan berbahasa asing, baik karya para sastrawan Indonesia maupun sastrawan asing. Ia memperoleh kemewahan itu, karena saya ingin ia punya fondasi yang bagus dalam berkarya. Saya ingin ia belajar tentang puisi William Shakespeare, ia juga harus belajar tentang bahasa yang dipergunakan Arthur Miller dalam menghasilkan Death of a Salesman. Saya banyak mengoleksi buku-buku yang saya peroleh dari Asia Foundation sejak puluhan tahun lalu.
Bacaan seseorang, bagi saya, memperkaya kemampuan seseorang dalam mengalisis persoalan. Seorang pembaca buku yang baik memiliki perspektif yang lebih beragam dalam mengelola persoalan dibandingkan seseorang yang tidak membaca buku. Jika seseorang itu adalah penyair, maka puisi adalah hasil upayanya menganalisis sebuah persoalan. Puisi adalah suatu usaha menciptakan gambaran dari sebuah persoalan dan merekonstruksinya kembali, dan, hal ini, hanya bisa terjadi karena penyair mengandalkan imajinasi.
Aristoteles dalam risalahnya, On the Soul, menganggap imajinasi sebagai kapasitas manusia untuk membuat gambaran mental, dan membedakannya dari persepsi dan pemikiran, di mana pemikiran itu selalu disertai dengan gambaran. Secara sederhana, berimajinasi, bisa disinonimkan dengan membayangkan, meskipun membayangkan tidak selalu produktif jika dikaitkan dengan aktivitas kreatif.
Tapi, setidaknya, siapa pun tidak bisa melakukan sesuatu tanpa sebelumnya membayangkan bisa menyelesaikan apa yang akan dikerjakannya. Pekerjaan membayangkan ini akan menjadi semacam pelatuk, serupa pemicu yang sensitif, yang apabila disentuh, mendorong bagi lahirnya ledakan-ledakan pemikiran, gagasan, dan kemampuan bekerja yang luar biasa. Dengan semua itu, seluruh energi dan élan vital hidup bisa dikerahkan untuk mewujudkan masa depan yang dibayangkan tersebut. Membayangkan di sini bisa dimaknai sebagaimana tindakan yang dilakukan manusia sepanjang sejarah peradaban; membayangkan gejala-gejala alam dalam rangka pengenalan diri.
Para ilmuwan melakukan hal ini selama sejarah ilmu pengetahuan. Tanpa pekerjaan membayangkan, sulit bagi seorang ilmuwan untuk menemukan rumusan-rumusan, metoda-metoda, dan formula-formula. Sebab itu, membayangkan adalah sebuah proses pengenalan diri. Pengenalan diri adalah pusat segala upaya dalam kehidupan untuk dapat menuju keberhasilan. Hanya manusia yang mengenali dirinya sendiri yang tahu persis bagaimana mencapai dan mewujudka cita-citanya.
Seorang penyair, yang memiliki fondasi jelas sebagai pijakan dalam menulis puisi, adalah orang yang mengenali dirinya dan lingkungannya, dan orang seperti ini memiliki kemampuan berimajinasi yang kuat. Imajinasi yang, sangat mungkin, melampaui konvensi-konvensi bahasa, meskipun akan sulit dipahami orang yang tak terbiasa berimajinasi.
Imajinasilah yang membuat Oky Sanjaya bicara tentang sandal atau sepatu, dan membuat benda-benda itu menjadi subyek dari puisinya, sehingga benda-benda itu bisa menjadi apa saja yang dia inginkan. Oky Sanjaya menginginkan makna berbeda dari konvensi umum tentang sendal, tentu, karena ia telah memahami bahwa kreativitas menulis puisi adalah adalah lelaku eksperimentasi yang selalu identik dengan trial and error.
Seorang penyair selalu mencoba keluar dari konvensi dengan alasan tidak ingin jadi pengikut, pengekor, atau peniru penyair sebelumnya. Lalu, bereksprerimen dengan hal-hal baru yang dianggapnya baru, dan kemudian merasa bahwa dirinya telah melakukan penemuan seperti perasaan Sutarji Calzoum Bachri. Lewat bukunya, O Amuk Kapak, penyair ini merasa dirinya telah memberi makna baru pada mantra, dan makna baru itu dikonseptualisasikannya dengan kredo puisi, meskipun bagi banyak ahli, juga bagi saya, tidak ada penemuan baru di sana. Yang ada justru ketidakmengertian Sutarji Calzoum Bachri terhadap konteks sosial dari mantra, dan kenapa sebuah masyarakat di masa lalu bisa menjadikan mantra sebagai komoditas yang memposisikan seorang dukun sebagai “orang terhormat” dan bukan sebagai penyair. Sutarji Calzoum Bachri menganggap puisinya adalah mantra dalam bentuk baru, tapi ia melupakan bahwa mantra ada bukan karena bentuk bahasanya, melainkan karena dampak dari mantra terhadap realitas masyarakat yang memposisikan mantra begitu transenden.
Sutarji Calzoum Bachri, seperti halnya banyak penyair di Indonesia, mencoba keluar dari konvensi bahasa dengan “menggarap” atau bereksperimen dengan mantra. Begitu juga Oky Sanjaya, ia berusaha keluar dari konvensi bahasa puisi, karena fondasi dasarnya tentang puisi begitu banyak, tetapi upayanya dengan mengimajinasikan benda (sandal) sebagai subjek dari persoalan, sama saja dengan upaya yang dilakukan Afrizal Malna ketika menulis puisi dalam Arsitektur Hujan. Bedanya, Afrizal Malna bicara tentang identitas manusia modern yang ambigu, yang tidak konsisten, yang selalu berubah-ubah di hadapan benda-benda modern, dan ketidakkonsistenan itu banyak dipengaruhi oleh nilai suatu barang. “Ketika membeli sebuah kalung,” tulis Afrizal Malna dalam pengantar bukunya, Arsitektur Hujan, “saya merasa sedang mengenakan identitas baru.” Ia merasa dirinya sedang menjadi orang lain. Ia juga tidak percaya akan adanya identitas yang disebut dengan “seseorang”. Baginya yang ada hanyalah “massa”, dalam artian sekumpulan orang lain.
Benda-benda dalam puisi Afrizal Malna merupakan penanda identitas massa, sementara benda pada puisi Oky Sanjaya penanda identitas personal. Ia memanfaatkan kekuasaan akan kemerdekaan personal untuk memberikan makna di luar konvensi terhadap sandal. Sandal di tangan Oky Sanjaya mengalami metamorfosis bukan pada wilayah medan makna idiomatik, melainkan ranah pribadi. Oky membuat sandal, yang diterima sebagai alas kaki menjadi hal-hal lain di luar fungsi yang disandang sandal selama ini.
Sandal tak perlu manut, hanya mengusung makna tunggal, menggadang-gadang makna itu, dan memaksakan diri agar segala bentuk penafsiran berakhir dengan makna tunggal itu. Tidak ada otoritas dan karena itu tidak ada sikap otoriter memaksakan makna tunggal. Yang ada kebebasan dan kemerdekaan, sesuatu yang diidam-idamkan umat manusia. Dalam puisi ”Pembunuhan Sandal”, aku lirik berdialog dengan sandal, di mana posisi sandal adalah personifikasi dari alter ego orang lain dalam diri aku lirik yang menyimpan sejarah masa lalu aku lirik. Hubungan yang tercerai karena si aku lirik memiliki sepatu, dan bersama sepatu ingin menciptakan realitas baru, di mana di dalamnya sandal harus disingkirkan.
Sandal mengandung makna konvensi sebagai alas kaki. Ini alas kaki yang sangat umum. Tapi, sandal hanya identik dengan kehidupan masyarakat ekonomi lemah, atau lapisan sosial masyarakat yang disebut pasca-tradisional yang bertelanjang kaki. Kepada masyarakat kuno, di hadapan perkembangan zaman, diperkenalkan alas kaki bernama sandal, sehingga sandal menjadi bagian esensial dari perubahan. Hidup dengan memakai alas kaki, setidaknya, hanya bisa terjadi ketika manusia menyesuaikan diri dengan dinamika di sekitarnya. Tapi, sandal itu adalah fase awal manusia menerima perubahan karena kemudian ada sepatu yang dapat menjadi identitas baru bagi manusia. Dengan kata lain, sandal adalah subyek, dan ia bisa menjadi apa saja yang pembaca tafsirkan.
Sandal berada pada kedudukan metaforis. Diksi ini akrab dengan keseharian pembaca. Tapi, orang pasti membela diri bahwa setiap sajak memang tumpukan metafora karena hakikat bahasa sesunguhnya metaforis. Sambil mengutip Roland Barthes dalam The Death of the Author, orang akan memberi pembenaran bahwa makna yang diniatkan seorang penyair dalam sajak-sajaknya belum tentu akan diamini pembaca. Pembaca punya kebebasan menafsir teks berdasarkan ranah pengetahuan, pengalaman, dan kebudayaan yang membentuknya tanpa dibayang-bayangi sosok penyair.
Tapi, sulit mengabaikan bahwa tafsir dan tradisi menafsirkan teks sastra akan memerdekakan manusia. Tafsir merupakan bentuk lain dari penjajahan terhadap manusia, di mana manusia mesti taklit dan patuh pada teori-teori tafsir sehingga mengabaikan kemungkinan-kemungkinan metaforis lain dalam berbahasa.
Orang tidak sepenuhnya menjadi merdeka menafsirkan teks sastra. Mereka membiarkan diri dijajah konvensi penafsiran, mengutip Barthes, Foucault, Saussure, Derrida, dan para pembawa post-strukturalis. Lebih usang lagi, mengungkit sejarah bahasa, lalu sampai pada khazanah paling tradisional dari bahasa yang mantra.
Dalam sejarahnya, bahasa (kata) adalah penjajahan terhadap manusia. Aktivitas manusia dalam berbahasa merupakan penyakit pikiran. Manusia berusaha menamai benda-benda di sekitarnya, lalu penamaan itu menjadi konvensi tanpa reserve, manut, dan tunduk.
Maka, kata “sandal” diterima manusia sebagai alas kaki. Tapi, makna itu dimasabodohkan dalam sajak Oky. Sandal bukan cuma alas kaki. Kalau pemikiran Derrida dipakai, maka cara berbahasa Oky menemukan relevansia. Makna dalam kata tidak sepenuhnya mampu menggambarkan realitas. Sebab itu, dalam berbahasa, kita mesti membebaskan diri dari “logosentris”. Artinya, penanda (signs) dan petanda (signified) dapat digabung dalam tahapan yang sama dalam praktek tindak tutur (act of speaking).
Tulisan merupakan model yang lebih baik untuk memahami bahasa berfungsi. Dalam tulisan, penanda selalu produktif, mengenalkan aspek sesaat ke dalam penandaan yang menentukan berbagai penggabungan antara sign dan signified.
Apa yang dikemukakan Paul de Man, seorang teoritikus terkemuka dari Yale University, tentang bahasa sebagai teks sastra, layak dimunculkan di sini. De Man berpendapat, ada devisi radikal dalam teks sastra antara gramatikal atau struktur logika bahasa dan aspek retorisnya. Ini menciptakan signifikansi (penandaan) dalam teks sastra yang pada akhirnya tak dapat ditentukan. De Man berpendapat bahwa sastra digabungkan oleh permainan (play) yang tak dapat ditentukan secara gramatikal dan retoris dalam teks dan tidak dengan pertimbangan estetis.
Soal ini sudah saya jelaskan dalam esai saya di Lampung Post, 1 Maret 2009 berjudul, “Ketika Sandal Dimerdekakan, Membaca Sajak-sajak Oky Sanjaya”. Tapi, tentu, pembicaraan tentang puisi Oky Sanjaya dalam buku ini tetap perlu menitikberatkan pada konsistensi pengucapan puisinya. Meskipun saya menyoroti penolakan konvensi makna kata “sandal” sebagai fokus, sesungguhnya sebagian besar puisi dalam buku ini mengikuti konvensi kepenyairan di negeri kita. Meskipun begitu, sebuah anjuran yang pernah dikeluhkan Alan A. Stone dan Sue Smart Stone dalam The Abnormal Personality Through Literature, bahwa kita mesti memperlakukan sastrawan (pengarang) sebagai kolega, yakni orang yang dengan kerja keras berusaha mengungkapkan pengalaman hidupnya. Sastrawan adalah juru bicara realitas, tetapi tidak ada masyarakat yang memberi aplaus atas usaha mereka. []
———
Budi P Hatees, lahir 3
Juni 1972, menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membaca, menulis, dan
melakukan penelitian budaya. Telah
menulis puluhan buku prosa maupun puisi, dan menerbitkan karya prosa dan puisi
di Kompas, Koran Tempo, Majalah Tempo,
Horison, dan lain-lain. Karya
terakhirnya, Historiografi Padang
Sidimpuan, Sejarah Budaya Angkola (Penerbit Pustaha, 2022) dan novel Anak Panyappulan (Penerbit JBS, 2023).
Saat ini sedang melakukan penelitian tentang Sejarah Tionghoa di Tapanuli.
* Catatan Penutup untuk buku puisi Oky Sanjaya, Sandal di Penghujung Pintu (dalam proses terbit)