Sosok

Nulis Geh…!

Oleh Budiyanto Dwi Prasetyo

DUNIA tulis-menulis bagi tukang tulis sering diklaim sebagai ruang sunyi dan senyap. Sebuah ruang yang hanya berisi dirinya sendiri. Kesunyian dan kesenyapan yang an-sich. Pramoedya Ananta Toer, misalnya, secara tersirat mengakuinya dalam novel realisme sosialis berjudul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pun halnya dengan seorang Pramis kelahiran Donggala, Muhidin M Dahlan, yang seolah mengamini leluhur literasinya itu dengan membuat judul buku yang hampir mirip, Jalan Sunyi Seorang Penulis. Kini, Udo Z Karzi, sastrawan cum wartawan cum budayawan asli Lampung, tampaknya tak mau kalah. Dia mengajak para tukang tulis, yang juga para sahabatnya, yang juga sastrawan, yang juga wartawan, yang juga budayawan, untuk merayakan keberadaan ruang sunyi dan senyap itu melalui pembuatan buku Mencari Lampung di Kesenyapan Jalan Budaya: Kado 50 tahun Udo Z Karzi.

Sebenarnya, seberapa sunyi dan senyap dunianya tukang tulis itu? Kok, sampai-sampai merasa terzolimi ketika seseorang mentasbihkan dirinya sebagai tukang tulis? Pertanyaan ini mungkin tak hanya ada di benak saya. Para pembaca, yang murni pembaca dan bukan tukang tulis, atau katakanlah penikmat buku, pun akan tanya hal yang sama. Ini wajar. Sebab, yang diketahui pembaca, penikmat buku, dunia tulis-menulis itu sebaliknya. Ramai seperti di toko-toko buku di mall-mall dan pusat perbelanjaan. Ingar-bingar seperti di pameran dan festival buku. Tukang tulis itu kaya royalty dan banyak dipuja. Tanda tangannya di buku karanganya mampu menyihir penggemarnya untuk mau bayar lebih dari harga buku yang seharusnya.

Belum lagi kalau bukunya laku keras dan dilabeli best seller. Pembaca, yang bukan tukang tulis, akan menjadikan buku si tukang tulis sebagai harta karun koleksinya. Bahkan beberapa yang saya tahu, ada yang memperlakukannya seperti jimat. Semacam ajian literasi yang akan membikin dia percaya diri kalau pergi ke mana-mana. Setidaknya, percaya diri biar dibilang intelek. Meski tak tahu pasti apakah buku itu dia baca atau tidak.

Dan, sekali lagi saya tanyakan, sebenarnya, seberapa sunyi dan senyap dunianya tukang tulis itu? Pertanyaan ini sebetulnya lebih cocok dijawab oleh Udo Z Karzi, yang secara sadar dan meyakinkan, sudah ikut mencemplungkan diri ke dalam golongan orang-orang yang menggunakan kata “sunyi” dan “senyap” dalam salah satu buku bikinannya. Apalagi, buku itu dibuat khusus untuk mengkadoi dirinya sendiri (hihihi) yang memasuki usia emas. Meski ditulis secara beramai-ramai, keroyokan, ingar-bingar, tapi kenapa Udo tetap tegar pakai kata “kesenyapan” pada kalimat di judulnya?

Terus terang saya tidak pernah mewawancarai Udo Z Karzi secara khusus untuk menggali apa arti sunyi dan senyap dalam dunia tukang tulis. Tapi, di sini saya coba menafsir kata sunyi dan senyap itu berdasarkan interaksi saya setelah bertahun-tahun belajar menekuni dunia tukang tulis dari Udo Z Karzi. Lebih tepatnya, dijorokin ke dunia sunyi dan senyap yang, mungkin saja, selama ini dirasakan olehnya.

Suatu kali, Udo mengajak saya ngopi di depan kampus Unila. Ada warung enak untuk ngobrol sambil ngopi di samping terminal kampus. Udo, yang kala itu jadi sedang jadi tukang edit rubrik opini di Lampung Post, selalu tanya saya, “Mana tulisannya?” Pertanyaan itu tak pernah lupa ditanyakan setiap kali ketemu saya. Sampai saya malu sendiri. saya menyesal kenapa dulu pernah bilang mau coba menulis di Koran ke dia. Saya pun ngeles, selalu cari alasan kalau tulisannya tak pernah selesai. Padahal tulisan itu belum pernah ditulis. Jadi bagaimana mau selesai, ditulis saja belum.

“Ayo, nulis, geh…!” Rayu Udo. Ya, Udo memang pantang menyerah. Dia kemudian, seperti biasa, mulai meracuni saya dengan pikiran-pikiran kritisnya. Dia bercerita soal situasi politik nasional. Lalu lompat ke soal sosial. Lalu lompat lagi ke soal kampus. Lalu lompat lagi ke soal ekonomi. Lalu lompat lagi ke soal pendidikan. Dan lompatan akhirnya, bisa ditebak, ke soal sastra dan urusan susu asmanya. Begitu seterusnya.

Tapi yang terpenting, dari semua soal-soal itu, dia menceritakannya secara sistematis. Ada alur yang terbangun rapi dari setiap kasus yang diurai. Pendengar cerita dijamin tak akan tersesat di rimba belantara cerita yang duraikannya. Biasanya Udo membuka cerita dengan soal-soal terkini, ditafsir tawaran-tawaran alat pemecah soal-soal itu, dan ditutup dengan analisis kritis atas paparan yang tadi dia paparkan sendiri.

Di sinilah kesaktian Udo. Analisisnya selalu sampai pada titik soal yang memang harus dicarikan solusi. Tak peduli, solusinya itu masuk akal atau keluar akal, yang penting ada penutup yang bisa menjawab soal-soal di awal. Dan ini poinnya, ending yang mengait ke awal. Sebuah ajian purba di dunia tukang tulis yang masih ampuh untuk taklukkan hati redaktur manapun hingga kini.

Setiap bercerita, kalau diperhatikan secara seksama, dia memang seperti orang kesepian. Mirip dengan petualang yang baru keluar dari lorong yang sunyi dan senyap dan bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan manusia selain dirinya. Mulutnya memuntahkan banyak kata-kata dan kalimat-kalimat yang ajaib. Yang, mungkin, selama ia jelajahi jalan kesenyapan tadi, kata-kata dan kalimat-kalimat tadi sudah ingin ia ucapkan.

Dunia tukang tulis tampaknya memang selalu seperti itu. Tampak sunyi dan senyap secara kasat, tapi sejatinya dia ingar-bingar secara ide dan gagasan. Udo selalu melahap buku-buku apapun yang bisa menambah riuh rendah pesta di benak pikirannya. Pekerjaannya sebagai wartawan harian sangat memungkinkan dia untuk selalu memperbarui diskursus segala aspek yang menarik untuk ditulis. Terutama soal sastra dan budaya Lampung.

Udo ngotot sekali untuk mendongkrak popularitas kebudayaan Lampung untuk ikut meramaikan arus utama budaya nasional. Obsesinya adalah menerbitkan novel dalam bahasa Lampung. Dan sepertinya, novel seperti itu memang belum pernah ada semenjak bumi ini diciptakan Sang Ilahi. Meski dengan bersusah payah dan kembang-kempis untuk menjalani prosesnya, di tahun 2016 anak-anak ruhaninya itu pun lahir. Kini, Lampung punya novel yang ditulis dengan bahasa Lampung, berisi cerita tentang Lampung, dan ditulis oleh pejuang budaya Lampung yang tanpa pamrih.

Tanpa pamrih itulah yang menyebabkan dia sukses di bidang sastra. Tak cuma menulis, Udo juga mewujudkan impiannya untuk punya penerbitan sendiri. Penerbitan ini kemudian jadi inkubator bagi para penulis yang juga ngotot ingin menerbitkan buku-buku sastra Lampung, sastra umum, maupun non-sastra baik bicara soal Lampung maupun non-lampung, baik penulis pro maupun amatir. Baik bermodal besar maupun bermodal kecil. Dia menamainya Pustaka LaBRAK.

Pustaka LaBRAK lahir dari rahim penulis-penulis kere di Lampung yang ingin karyanya diterbitkan dalam bentuk buku. Kere bukan berarti tulisannya tidak berkualitas. Ini hanya masalah kapital. Sebutan kere disematkan pada penulis produktif tapi tidak punya uang untuk menerbitkan bukunya. Sedangkan saat itu, untuk bisa menerbitkan buku, nasib naskah ada di tangan penerbit-penerbit arus utama bermodal besar. Jika mereka mencium bau uang dari naskah itu, maka opsinya dua, jual putus atau konsinyasi dengan sistem royalty. Kalau naskah bagus, tapi bau bak sampah dan tidak komersial, jangan harap naik cetak.

Dan penulis-penulis kere tadi kini sudah menjelma jadi penulis-penulis yang hebat. Mereka sudah mampu menerbitkan naskah-naskahnya dalam bentuk buku. Tidak jual putus atau konsinyasi atau royalty, melainkan dengan bagi hasil. Perijinan ISBN yang semakin mudah semakin membuka akses bagi penerbit alternative untuk menghidupkan dunia literasi nasional. Ada proses belajar yang panjang yang dijalani penerbit maupun penulis. Bahwa, semua penulis punya hak yang sama untuk bisa menerbitkan buku. Dan sejarah literasi kekinian di Lampung telah mencatat, Pustaka LaBRAK menjadi bagian dari penerbit yang merawat dan membesarkan penulis-penulis itu.

Udo Z Karzi memang kesepian. Kemasyuran namanya di jagad literasi Lampung tidak sebanding dengan kesenyapan jalan yang dijalaninya menuju tangga popularitas. Bahkan, mungkin, kesenyapan itu masih dialaminya hingga kini. Tapi, siapa menyangka kalau kesepian dan kesenyapan itu justru jadi bahan bakar bagi Udo untuk terus menulis. Jadi tukang tulis, yang kerjaannya tulis-tulis, dan tak pernah kenal pamrih. Dan tanpa dia sadari, jalan kesepian dan kesenyapan yang dipilihnya telah membawanya usianya menyentuh kepala lima di tahun ini. Usia emas yang mencerminkan masa keemasan bagi hidup seorang tukang tulis. Tukang tulis terus membuka jalan kesepian dan kesenyapan bagi tukang tulis-tukang tulis baru. Dirgahayu Udo Z Karzi. []


  • Ditulis untuk buku Mencari Lampung dalam Senyapnya Jalan Budaya: Kado 50 Tahun Udo Z Karzi (dalam proses terbit).
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top