Negarabatin (13)


Karena itulah, bak mengantarkan aku ke rumah Wak Bakri. Nama lengkapnya Ahmad Bakri. Kalau melihat panggilannya ‘wak’ sepertinya dia berasal dari Banten kalau bukan Cirebon. Orang Semendo juga memanggil ‘wak’ kepada tamong. Tapi kalau melihat Wak Bakri, jelas ia bukan dari Sumatera Selatan. Rumah Wak Bakri di sebelah surau. Setiap sore selepas Asyar sampai Magrib, Wak Bakri mengajar ngaji di Surau Tamanjaya. Banyak juga yang mengaji di surau ini.
Usia Wak Bakri lebih tua dari tamong-ku. Rupanya Wak Bakri memang sudah tahu bak. Bagaimana tidak kenal jika Wak Bakri juga guru mengaji bak juga ketika bak masih anak-anak. Artinya, aku belajar dengan guru ngaji bak.
“Wak, ini Uyung tolong diajar mengaji. Sikindua[1] serahkan saja bagaimana baiknya menurut Wak seterusnya. Uyung sudah mengaji dengan tamong-nya sebentar. Tapi tamong-nya meminta sikindua mengantarkan Uyung ini belajar pula ngaji di surau. Iya, supaya Uyung ini bersungguh-sungguh belajar ngaji-nya. Kalau dengan tamong sendiri, ia terlalu santai. Semoga di surau ia mendapatkan banyak ilmu agama. Selain itu, agar Uyung merasakan juga belajar di tempat yang baik…,” begitu kata Jahri kepada Wak Bakri di ruang tamu rumahnya.
“Baiklah… semoga Uyung dapat belajar ngaji sebaik-baiknya,” sambut Wak Bakri.
Walau masih ada logat Jawanya, Wak Bakri sudah sangat pasih juga berbicara Lampung.
Wak Bakri kemudian berbicara kepadaku. “Nah, kata bak-mu, kamu sudah dititipkan ngaji di sini, di surau. Mesti sunggguh-sungguh ngaji. Di sini tempat belajar ilmu agama. Kalau di sekolah belajar ilmu-ilmu umum, di sini khusus belajar ngaji berikut aturan-aturan agama kita, Islam. Ini untuk sangu[2] hidup di dunia dan akhirat. Ilmu agama perlu supaya kita hidup di jalan yang bagus, yang lurus. Bukan jalan yang buruk, jalan yang membuat tersesat. Ngaji dan ilmu agama menjadi dasar bagi kita beribadah dalam hubungan kita kepada Allah Subhana wata’ala (hablumminallah) dan hubungan kita dengan sesame manusia (hablumminannas)….”
Entah apalagi pesan Wak Bakri, tidak terlalu banyak aku mengerti. Namanya juga sanak lunik.
Ada lagi ata Wak Bakri lagi yang membuat aku gemetaran.
Kata Wak Bakri, “Nah, janganlah banyak bergurau, tertawa-tawa, dan lari ke sana ke mari di surau. Surau bukan tempat bermain. Tak boleh mengganggu teman atau malas-malasan. Kalau saya tahu ada yang nakal, sudah saya siapkan itu…”
Wak Bakri menunjukkan rotan sebesar telunjuk orang dewasa, diambilnya, kemudian dipukulkannya di lantai. Celetaar…
Adui, kata hatiku. Tidak dapat bermanja-manja dengan Wak Bakri. Lebih baik ngaji dengan tamong kalau begini. Tamong tak marah-marah ketika mengajar ngaji. Malah, ketika masih kecil, umur di bawah lima tahun, sering pula main cecuit pelangkit[3] dengan tamong. Kalau umpu-nya meminta cecuit pelangkit, tak bisa benar Tamong Hakim menolak walaupun masih lelah setelah mengoret di ladang. Tamong Hakim dalam posisi tidur, kaki ditekuk, kemudian umpu-nya duduk di kakinya. Sambil menyanyi, Tamong mengangkat-menurunkan kakinya, seperti diayun-ayunkan:
cecuit pelangkit
anak pundit
dipa ya uyung jeno
ajo kayu aga rungkak
rak-rak buum…[4]
Sedangkan aku tertawa-tawa keenakan seperti naik ayunan atau naik kapal rasanya. Kala Tamong berkata, “Ajo kayu aga rungkak, rak-rak buum…”, kaki tamong dimiringkan ke kiri-kanan supaya umpu-nya terjatuh di kasur. Walaupun jatuh, asyiik. Empuuk!
>> BERSAMBUNG
[1] saya (dalam bahasa Lampung halus)
[2] bekal
[3] Permainan jungkit-jungkit dengan menggunakan kaki. Anak-anak akan duduk atas kaki orang yang lebih tua, sedangkan kaki dinaikturunkan seperti ayunan.
[4] cecuit pelangkit
anak manja
di manakah uyung tadi
ini pohon hendak roboh
rak-rak buum…
