Karena Beli Mobil Bukan Rukun Islam
Oleh Gufron Aziz Fuadi
ADA kawan di medsos yang cerita tentang hajinya orang Madura. Orang Madura memang sering menjadi bahan cerita, bahkan joke. Bukan rasis, melainkan mungkin karena mereka sering berpikir sederhana tetapi menjungkir balikkan logika umum.
Seperti cerita, konon, Presiden Habibie pernah bertanya ke orang Madura berapa tinggi tiang bendera itu. Lantas mereka memanjat tiang bendera sembari membawa meteran.
Kata Habibie, “Kenapa Anda memanjat, bukankah tiang bendera itu bisa diroboh sehinggga bisa diukur dengan mudah?”
“Pak Habibie tadi tanya ukuran tinggi apa panjang,” jawab orang Madura. ”Karena tadi yang ditanyakan tingginya ya saya naik, kalau yang ditanyakan panjangnya ya saya robohkan. Tak iye…”
Kali ini cerita tentang orang Madura yang naik haji. Kita ketahui bahwa semangat orang Madura untuk naik haji mungkin selalu lebih tinggi dibandingkan suku lain di Indonesia.
Sungguh saya kagum dengan orang orang Madura, kalau bertemu dengan mereka di Mekah atau Madinah.
Dengan santai mereka bilang, “Ustaz, kami ini di Indonesia belum punya mobil, kami hanya punya sepeda onthel, tapi yang penting haji dulu lah.”
Saya tanya, “Kok begitu?”
Jawabannya lucu tapi sungguh menggetarkan jiwa, membuat lutut saya lemas, mata saya sampai berlinang.
“Karena membeli mobil itu tidak masuk rukun Islam. Kalau Haji masuk rukun Islam!” begitu jawab mereka.
Begitu pun jama’ah Umroh, rata rata mereka mengaku belum punya apa apa.
“Umroh dululah, mau Haji daftar tunggu lama, biar tidak mati seperti orang kafir,” begitu jawabnya.
Sungguh tauhid kelas tinggi, ma’rifat yang nyaris sempurna.
Ini mengingatkab saya dengan Hadits dari Ali bin Abi Thalib dengan lafaz:
مَنْ مَلَكَ زَادًا أَوْ رَاحِلَةً تَبْلَغُهُ إِلَى بَيْتِ اللهِ وَلَمْ يَحُجَّ فَلَا عَلَيْهِ أَنْ يَمُوْتَ يَهُوْدِياًّ أَوْ نَصْرَانِيّاً وَذَلِكَ أَنَّ اللهَ يَقُوْلُ فِيْ كِتَابِهِ وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ
“Barangsiapa memiliki bekal atau kendaraan yang menghantarkannya ke Baitullâh, namun tidak berhaji, maka silahkan dia mati sebagai orang Yahudi atau Nashrani. Hal itu karena Allâh berfirman: Mengerjakan Haji adalah kewajiban manusia terhadap Allâh, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (HR. Tirmidzi No. 812)
Ya, haji adalah rukun Islam ke lima. Haji bukan sunah, tapi wajib, bila mampu. Karena kasih sayang Allah kepada kita lah rujun haji ini ditambah embel embel bila mampu. Sebab kalau tidak, akan sangat banyak orang yang berdosa karena tidak mampu berhaji.
Sedangkan soal mampu atau tidaknya seseorang hanya Allah dan dirinya yang mengetahui. Seseorang bisa berpura pura tidak mampu dihadapan orang lain tapi tidak dihadapan Allah Yang Maha Mengetahui.
Cerita tentang hajinya orang Madura di atas patut kita renungkan dan ikuti secara proporsional tentunya agar kita tidak menyepelekan pelaksanaan rukun Islam yang kelima ini.
Saya punya kenalan, punya beberapa rumah besar dan luas halamannya, grasinya diisi belasan mobil. Saya, dulu, kalau mampir ke rumahnya sering disangoni nggak ketang lima atau sepuluh juta. Karena saya percaya dia punya uang yang lebih dari cukup untuk ONH maka saya sering sarankan untuk berangkat haji. Tetapi jawabannya selalu, nantilah kalau saya sudah jadi… (sambil menyebut jabatan tertentu).
Sekarang sudah lima belas tahun lebih beliau belum bisa berangkat haji.
Haji memang panggilan Allah…
Allah memanggil kita semua dan Dia akan mendatangkan siapapun yang dikehendaki Nya tidak perduli kaya atau miskin, dengan cara-Nya. Dan siapapun yang dikehendaki Nya, pasti akan datang bersimpuh di depan rumah Nya, Ka’bah baitullah.
Dulu waktu saya pulang haji tahun 2006, ada seorang ustadz disebuah dusun kecil di Lampung Selatan yang mengatakan sambil gemetar dan berkaca kaca matanya kalau dia saaangat ingin berhaji, tetapi sepertinya mustahil ya, karena saya hanya punya warung kecil di depan dan sesekali me-rukyah orang yang datang karena gangguan jin.
Pak Ustaz, kata saya, jangan pesimis. Allah akan mendatangkan siapa saja yang jujur dan serius ingin pergi haji, dengan cara-Nya tanpa melihat kaya atau miskin. Dan kejujuran kita itu bisa diukur dengan minimal berdoa setiap hari agar bisa berhaji dan menabung setiap hari meskipun cuma seribu kalau memang itu kemampuan nya.
Terus kata beliau, kalau saya nabung dua ribu perhari butuh berapa lama untuk mencukupi ONH ? (Waktu itu masih sekitar 24 jutaan)
Jangan tanyakan itu, kata saya, itu urusan Allah. Itu hanya sebagai bukti kejujuran dan keseriusan kita dengan keinginan ber-haji nya itu…
Maka ustadz tersebut mulailah menabung dan berdoa dengan sungguh sungguh setiap hari. Setelah berjalan tiga atau empat bulan, bertemu Lampung Selatan waktu itu, Zulkifli Anwar dan beliau bertanya ada nggak ustadz yang mau direkomendasikan untuk menjadi pendamping jamaah haji dengan biaya dari Pemda. Maka segera saya sodorkan nama ustadz tersebut, sehingga tahun 2007 beliau bisa berangkat haji.
Begitulah cara Allah memanggil hamba-Nya untuk bersimpuh di rumah-Nya.
Jadi, bagi yang belum berkesempatan pergi haji jangan pernah berkecil hati untuk terus berharap agar Allah memasukkan kita kedalam daftar yang didatangkan ke rumah Nya.
Yang penting kita jujur dan serius dengan niatnya.
Kalau tukang bubur naik haji hanyalah cerita sinetron, ada kisah nyata tentang tetangga saya dulu, tukang es tung tung yang betul betul naik haji. Bukan sinetron.
Begitulah, karena Allah Maha Kuasa atas segala sesuatunya.
Semoga Allah undang dan izinkan kita menjadi tamu-Nya di Baitullah…
Wallahua’lam bi shawab. []