Esai

Panggilan Haji

SEJAK Salat Id di Masjid Al Manshur Al Madani, Liwa, Kamis, 29/6/2023, khotib mengingatkan atau bisa juga “menyindir” diri saya seorang mengenai kewajiban berhaji. Keesokan harinya, Khotib Jumat, kembali menjelaskan ibadah haji. Lalu, hari ini, 7/7/2023, dari mimbar, khotib Jumat mengulang lagi perihal dosa seorang muslim yang sudah mampu, tetapi menunda-nunda naik haji.

Beberapa karib-kerabat menunaikan ibadah haji tahun ini. Sekeluarnya dari masjid, seorang famili berkata, “Alhamdulillah, saya sudah umrah.”

لَبَّيْكَ اللَّهُمَّ لَبَّيْكَ، لَبَّيْكَ لَا شَرِيْكَ لَكَ لَبَّيْكَ، إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Ya, Allah ya Rabbi. Saya tercenung lama mengalami berbagai peristiwa dan mendengar omong-omongan itu. Hingga usia setengah abad lebih, saya belum mampu memenuhi panggilan-Mu.

Kalau keinginan ke Tanah Suci, sudah lama ada. Ketika ngaji di Taman Jaya dengan Wak Bakrie dan lalu kepada Pakngah Saroji doeloe, meskipun tak terkatakan, sudah terbesit hendak naik haji.

Saat SMA doeloe, saya pun lebih memilih pelajaran bahasa Arab ketimbang bahasa Jerman atau bahasa Prancis.

“Saya lebih kepengen naik haji ke Mekkah dan Madinah daripada ke Paris atau Berlin,” begitu kira-kira yang terceplos dari mulut saya saat ditanya kok ngambil bahasa Arab.

Terakhir, ketika mendatangi Kantor Imigrasi Bandar Lampung untuk membuat paspor, saya ditanya mengenai keinginan umroh atau haji ini.

“Ada niat umroh?” tanya ibu petugas ketika melakukan wawancara, 4/2/2014.

“Oh, tentu saja,” sahut saya.

“Ok. Namamu Zulkarnain Zubairi. Kalau nama ayah?”

“Zubairi Hakim.”

“Hakim itu nama kakek?”

“Iya, lengkapnya Abdul Hakim.”

Saya masih belum ngeh kenapa harus menanyakan nama kakek segala.

“Nama di paspor ditulis Zulkarnain Zubairi Hakim. Bagaimana?”

“Oh iya, bagus juga,” sambar saya yang baru paham maksud menanyakan nama kakek.

Pemerintah Arab Saudi telah menetapkan bahwa mulai tahun 1430H/2009M jemaah haji dari seluruh negara yang akan menunaikan ibadah haji harus menggunakan paspor biasa (ordinary passport) yang berlaku secara internasional.

Untuk melaksanakan amanat dalam perubahan penggunaan jenis paspor tersebut, Menteri Agama RI dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI mengeluarkan Peraturan Bersama No. 2 Tahun 2009 dan No. M.HH-02.HM.03.02 Tahun 2009 tentang Penerbitan Paspor Biasa Bagi Jemaah Haji. Pasal 2 ayat (3) peraturan bersama tersebut menyatakan bahwa:

“Paspor biasa bagi jemaah haji pada ayat (1), harus dicantumkan nama jemaah haji yang terdiri paling sedikit atas 3 (tiga) kata.”

Ketentuan nama jemaah haji tersebut diperjelas lagi dalam Peraturan Direktur Jenderal Imigrasi No. IMI-1081.IZ.03.10 Tahun 2011 tentang Penerbitan Paspor Biasa Bagi Calon Jemaah Haji, khususnya dalam pasal 11 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi:

Nama Calon Jemaah Haji yang tercantum pada Paspor paling sedikit 3 (tiga) kata;

Dalam hal nama Calon Jemaah Haji kurang dari 3 (tiga) kata sebagaimana dimaksud pada ayat (1) maka ditambahkan dengan nama ayah dan / atau nama kakek;

Bagi Calon Jemaah Haji yang telah memiliki Paspor yang masih berlaku dengan nama kurang dari 3 (tiga) kata, diberikan penambahan nama pada lembar pengesahan/endorsement.

Iya juga nama saya kalau ditulis pakai bin-bin: Zulkarnain Zubairi bin Zubairi Hakim bin Abdul Hakim jadi riweh juga. Hehee…

Jadi, paspor a.n. Zulkarnain Zubairi Hakim, sudah siaplah naik haji atau umroh. Tinggal yang lain-lainnya mesti dipersiapkan juga.

Semoga ada diberi kemampuan, rezeki, dan kesehatan bisa ke Tanah Suci. Amin. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top