Gema Ramadan

Selalu ada Jalan (Bag 2-Habis)

Oleh Gufron Aziz Fuadi

HAL lain yang harus dimiliki aktivis adalah optimisme. Ini penting karena optimismelah yang akan membuat kita punya cita-cita (himmah) dan selalu punya vitalitas. Optimisme ini muncul sebagai titik tengah, pertemuan dari idealisme yang tidak realistis dengan realisme yang terlalu pragmatis.

Idealisme adalah sebuah mimpi besar setinggi langit, sedangkan realisme adalah kesadaran bahwa kita hidup dan berpijak di atas permukaan bumi. Begitulah Islam mengajarkan kita untuk selalu mengambil jalan  tengah dalam setiap sesuatu yang bertentangan.

Dalam kondisi dakwah kita saat ini, optimisme haruslah dimiliki oleh para aktivis. Karena ini akan mendorong kita untuk enggan berhenti bekerja atau beraktivitas. Karena dalam pandangan agama kita, mau bekerja saja sudah merupakan kemenangan. Yakni kemenangan atas rasa takut, kemenangan atas sifat pengecut, kemenangan atas kemalasan, kemenangan atas cinta dunia dan kemenangan atas diri sendiri.

Optimisme inilah yang sekarang ini sedang dikerdilkan oleh orang-orang yang tidak suka dengan dakwah Islam dengan cara memberikan gambaran buruk tentang Islam, tentang masa depan Islam, dan tentang aktivisnya. Selain penyematan istilah radikalisme dan terorisme.

Dengan optimisme kita akan selalu ‘gatel’ untuk terus bekerja. Untuk terus produktif meraih mimpi mimpi kita. Sebab, sadar bahwa mimpi tidak akan pernah terealisasi hanya dengan melanjutkan tidur seraya berharap meneruskan mimpinya. Ini karena Allah tidak pernah memenangkan agama-Nya dengan mukjizat mukjizat, tetapi dengan usaha dan perjuangan hamba-Nya. Bila kemudian kita menghadapi tantangan dan hambatan itu hanya untuk menguji kejujuran iman kita. Adapun mukjizat atau karamah hanya diberikan pada suatu waktu saja sebagai penguat, bukan sebagai penuntas misi perjuangan.

Jadi teruslah bekerja dan berjuang. Boleh jadi saat ini adalah masa kritis kita, yang menjadi momentum tepat untuk membuktikan kejujuran iman kita dan juga janji setia kita kepada Allah.

Sebagaimana para sahabat menunjukkan kejujuran (sidik) dan janji setianya di hadapan Allah saat datangnya musuh dari atas dan dari bawah saat menghadapi perang Ahzab. Perang melawan pasukan Ahzab, persekutuan Quraisy, kabilah Arab non Quraisy, Yahudi dan munafikin.

“Dan ketika orang-orang mukmin melihat golongan-golongan (yang bersekutu) itu, mereka berkata, ‘Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nyakepada kita.’ Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu menambah keimanan dan keislaman mereka.”

Guru kami, Ustaz Hilmi dalam taujih amnya ditahun 90, ini taujih pertama yang langsung saya dapatkan dari beliau, mengatakan: … setelah mencontohkan betapa hebat dan produktif nya para sahabat dan para ulama salaf, beliau bertanya: mengapa para sahabat itu hebat dan produktif?

Mereka produktif karena mereka sehat!

Tetapi jangan dikira mereka sehat karena asupan makanannya mencukupi 4 sehat 5 sempurna, justru mereka jauh dari itu. Tetapi mereka sehat aqidahnya, sehat ibadahnya, sehat metode (manhaj)-nya dan sehat tujuannya.

Oleh karena itu boleh jadi, bila sekarang ini kita kurang giat dan kurang produktif disebabkan karena kita sedang tidak sehat. Karena hanya orang yang tidak sehatlah yang kondisinya lemah, tidak bersemangat, merasa kurang diperhatikan, banyak mengeluh dan cengeng yang akhirnya menjadi tidak produktif.

Jangankan untuk produktif, kadang untuk menopang dirinya sendiripun tidak sanggup. Saya teringat salah satu ungkapan beliau, orang yang tidak sanggup menopang beban dirinya sendiri, jangan diharapkan dia akan menopang beban orang lain.

Sejalan dengan pepatah Arab yang mengatakan, faqidusy syai’ la yu’tihi, yang tidak punya (sesuatu) maka tidak bisa memberikan (sesuatu).

Semoga bulan Ramadan yang penuh kemuliaan ini mampu meningkatkan energi spiritual kita sehingga (bila sakit) kita bisa segera sembuh dan sehat kembali serta aktif produktif kembali.

Umar bin Khatab pernah berkata: “Ketahuilah kedudukan mu dihadapan Allah dengan cara melihat bagaimana penerimaan masyarakat kepadamu…”

Lihatlah bila kita mati nanti, lebih banyak mana, yang tertawa atau menangis…

Dulu, ketika Khalid bin Walid wafat, sangat banyak wanita-wanita Madinah yang menangis. Padahal mereka bukan istrinya atau saudaranya. Tetapi mereka, para wanita meratap atau menangis karena mereka tahu dan takut tak akan lahir lagi pejantan tangguh, ksatria bilih tanding seperti Khalid bin Walid Si Pedang Allah. Sangat langka!

Wallahualam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top