Sosok

Ustaz Abdul Aziz: Agama Pondasi Kepemimpinan

POLITIK dan agama kerap bergesekan dan saling membelah satu dengan yang lain sehingga menjadi kontroversi. Tak jarang, politik sering dijadikan kambing hitam sebagai penoda agama. Sedangkan agama kerap dijadikan kendaraan untuk berkuasa.

Praktek di lapangan, keriuhan antara politik dan agama telah memecah belah golongan masyarakat. Fanatisme pendukung partai dan kelompok agama mudah tersulut emosi. Tak jarang, banyak yang bermusuhan lantaran perbedaan pilihan atau pandangan.

Apakah politik dan agama memang memiliki semacam perselisihan? Tidak juga. Banyak tokoh   politik dan agama yang berteman dan duduk bareng sembari menikmati cemilan serta kopi atau teh untuk mendiskusikan kepentingan masyarakat.

Lagi pula, politk dan agama adalah dua ilmu yang bermanfaat bagi kehidpan umat manusia. Bayangkan jika tidak ada politik. Peperangan pasti menjadi ilmu untuk merebut kekuasaan. Sedangkan agama berguna bagi menjalankan pemerintahan. Menurut Sekretaris MUI

Bandarlampung, agama berperan sebagai pondasi bagi kepemimpinan. Berikut petikan wawancara wartawan Lampung News Muhammad Alfariezie dengan Sekretaris MUI Bandarlampung Ustad Abdul Aziz.

Bagaimana pandangan Anda terhadap agama dan politik pada era ini?

Pandangan saya tentang hubungan agama dan politik bisa sama atau berbeda dengan yang lain. Ada yang berpendapat, agama dan politik musti dipisahkan.
Pandangan seperti itu, mirip pemikiran pada abad pertengahan di eropa menjelang renaisans yang kemudian mengenalkan sekurelisasi. Sekurelisasi adalah pemisahan otoritas negara dengan daulat gereja saat itu.

Ada juga pemikiran tentang integrasi agama dengan negara. Pemahaman ini bisa berbahaya karena agama akan terjebak dalam formalisme. Contoh, jika ada yang membunyikan perihal negara islam. Jika demikian, maka negara mempunyai otoritas atas tafsir agama. Potensi yang akan terjadi adalah monopoli kebenaran negara atas agama.

Saya berpandangan, Indonesia adalah negara yang berperan baik dalam menjalankan fungsi politik dan agama. Agama dan politik di Indonesia komplement

Kenapa bahaya?

Bagaimana menafsirkan ajaran islam yang masih universal menjadi konsep-konsep operasional? Pertanyaan saya adalah, ketika ada yang mendeklarasikan negara republik islam indonesia maka bagaimana ketatanegaraannya?

Ada yang berkata ingin menerapkan konsep khilafah. Bagaimana menurut Anda?

Khilafah hanya istilah. Apa konsep khilafaf? Belum ada. Saya mengartikan penggalan Al Quran surat Al Baqarah ayat 30 yang berbunyi ‘Innī jā‘ilun fil ardhi khalīfatan  bahwa Allah akan menciptakan pemimpin yang menjadi wakil Allah di muka bumi. Siapa? Manusia.

Semua manusia itu pemimpin. Minimal memimpin diri sendiri. Nanti, sebagai pemimpin akan dimintai pertanggung jawaban. Yang sekupnya pemimpin keluarga maka akan diminta tanggung jawabnya sesuai otoritasnya. Jika kekuasaannya di bidang politik maka disesuaikan juga.

Khalifah itu hanya sebutan saja. Seperti kisah para sahabat setelah era Rasulullah. Abu Bakar Sidiq disebut khalifah. Maksudnya pengganti Rasulullah.

Khalifah bisa bermakna pengganti. Lalu, Umar Bin Khattab juga khalifah, Usman bin Afan dan Ali bin Abi Thalib juga. Mereka disebut khalifah sebagai pengganti Rasulullah.

Sistem pemilihan mereka berbeda-beda. Abu Bakar Sidiq dipilih secara langsung. Sedangkan Umar Bin Khattab berdasarkan wasiat. Lalu, Syaidina Usman secara formatur.

Ada perbedaan pada tingkat sistem. Lalu, bagaimana konsep khilafah yang akan dicanangkan di Indonesia? Hingga saat ini konsep itu belum ada. Bagaimana menjadikan sistem khilafah sebagai naskah akademik? Untuk membuat naskah akademik musti terkonsep. Setelah itu, memungkinkan dikritisi.

Bagaimana kita mau melakukan pemilihan khalifah jika konsepnya saja belum ada. Apa masih ingin menggunakan sistem trias politika? Terus, pemilihan khalifahnya bagaimana? Nah , ini musti kongkret. Harus selesai terlebih dahulu.

Kalau misal ada konsep khalifah, berarti hanya orang-orang islam saja yang bisa hidup di negara itu?

Ini persoalan yang akan timbul. Rasulullah Saw pun tidak mencotohkan begitu. Ketika Nabi Muhammad Saw pindah dari Mekkah ke Yastrib atau yang sekarang kita sebut Madinah, Rosulullah Saw tetap hidup bersama orang-orang non muslim. Ada dari Yahudi Bani Nadhir, Bani Quraizhah hingga Bani Qainuqa. Ada juga Kristen Koptik, Majusi dan agama Pagan yang menyembah berhala. Rasulullah Saw membuat satu perjanjian bersama dengan kaum dari agama yang berbeda-beda itu.

Pada kemudian hari, perjanjian ini dikenal sebagai konstitusi atau madinah kerter. Ini salah satu contoh dari Nabi Muhammad Saw. Konsepnya saat ini dikenal sebagai piagam madinah yang dianggap sebagai konstitusi negara tertulis pertama di dunia berasaskan Islam karena disusun sesuai syariat Islam.

Ini Nabi Lho yang mencontohkan kita untuk hidup bersama dengan masyarakat yang berbeda keyakinan. Jadi, apa lagi yang harus kita permasalahkan dari UUD 45 sebagai dasar bernegara di Indonesia?

Kita lahir di Indonesia bukan pilihan. Tapi, takdir. Kita dilahirkan dalam wilayah yang beraneka rupa, suku, agama dan budaya. Jadikanlah pluralitas ini sebagai potensi untuk memajukan bangsa dan negara. Bukan justru sebagai pemicu pergesakan yang menimbulkan perpecahan negara.

Berarti penerapan sistem demokrasi adalah hal yang tepat untuk Indonesia?

Kalau saya lebih setuju tetap demokrasi. Kelebihan demokrasi adalah orang-orang yang bukan berasal dari aristokrat mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin. Saya ini lahir bukan dari kalangan ningrat. Kalau sistem negara kita monarki maka jika saya mempunyai mimpi menjadi walikota hanyalah mimpi. Tapi, mimpi itu akan menjadi nyata karena sistem demokrasi. Orang seperti saya bukan mustahil akan menjadi gubernur.

Menurut Anda agama dan politik itu bertentangan tidak?

Politik adalah ilmu dan seni untuk meraih kekuasaan. Apa masalahnya? Kekuasaan banyak. Saya menjadi kepala keluarga adalah kekuasaan. Saya mendapatkan istri pun adalah politik. Ada seni untuk mendapatkannya. Apa islam melarang orang untuk berilmu? Rasulullah Saw telah mencontohkan. Dia menjadi pemimpin di Madinah. Yang tidak boleh adalah melakukan berbagai cara demi meraih kekuasaan. Seperti, menyakiti orang hingga membuka aib lawan atau saudaranya. Itulah yang tidak boleh. Dalam islam, membuka aib orang dan walau benar pun akan mendapat dosa. Apalagi jika belum tentu benar.

Lalu, cara seperti apa yang dibenarkan Islam?

Menyiapkan konsep untuk kemaslahatan umat dan menyampaikan program-program yang baik kepada masyarakat. Setelah meraih kekuasaan maka laksanakanlah program-program yang orientasinya untuk masyarakat.

Saat ini, masyarakat kita menilai tokoh politik telah mengusai tokoh-tokoh agama. Bagaimana tanggapan Anda?

Saya tidak setuju. Seolah-olah tokoh agama menjadi subordinasi. Saya sebagai orang yang dianggap tokoh agama pun tersinggung. Seolah-olah politisi pintar semua dan tokoh agama di bawah mereka. Enggak jugalah.

Bagaimana Anda menanggapi statement-statement prihal tokoh agama yang dimanfaatkan politisi?

Itu tidak benar. Yang benar itu adalah para ulama dan calon-calon pemimpin bangsa saling mengisi untuk bahu membahu membangun bangsa ini. Baik dari segi ekonomi, pembangunan hingga sumber daya manusia. Saya kira yang terjadi saat ini seperti itu. Statement-statement perihal ulama dimanfaatkan politisi itu, saya kira muncul dari orang-orang yang perspektifnya negatif saja.

Ada tidak sih ulama yang sering memberi nasihat kepada pemimpin?

Banyak sekali. Saya juga sering melakukan itu. Nasehatnya selalu untuk kepentingan umum atau kepentingan masyarakat. Pemimpin memang harus banyak mendengar. Selain dari menteri dan masyarakat, adalah dari ulama.

Lagi pula apa masalahnya ketika ada tokoh agama yang duduk bareng dengan politisi? Jika melihat tokoh agama duduk bareng dengan para politisi maka jangan berpikir negatif. Apa harus tokoh agama dan politik bertengkar? Kan tidak.

Bagaimana jika ada pemimpin yang menjadikan tokoh agama sebagai penasehatnya?

Ya bagus dong. Berati ada porsi yang didengar. Bagaimana untuk memperbaiki moral masyarakat, pemimpin tidak bisa bekerja sendirian toh? Kan perlu juga mendengar masukan dari tokoh agama.

Kenapa saat ini justru kiprah dari partai berbasis islam cenderung lesu?

Saya melihat karena proses pendewasaan politik. Durasi proses demokrasi berlangsung tidak cepat.

Sebagai contoh, demokrasi kita pada pemilihan presiden kemarin, justru membicarakan kenyinyiran dibandingkan membedah program. Tapi, saya melihat jalannya demokrasi kita masih lebih baik jika harus merubah sistem negara menjadi monarki. Demokrasi memberi kesempatan kepada siapa saja untuk menjadi pemimpin.

Ada juga yang berpendapat kalau misal ulama menjadi presiden maka ekonomi akan menurun dan militer kehilangan kekuatan. Nah, bagaimana tanggapan Anda tentang stetement ini?

Itu adalah pandangan yang sangat simplistis dan pandangan yang sangat simplifikasi serta sangat distorsi. Presiden kan memiliki menteri. Kalau pun ulama yang menjadi presiden, tetap memilih menteri yang tentu saja sesuai kapasitas dan profesional. Masalah militer. Tentu saja walau pun presidennya ulama akan memilih panglima dari kalangan yang benar, yaitu angkatan bersenjata.

Sekarang saya tanya ulama itu apa sih? Ulama itu kan jamak dari alim atau orang yang berpengatahuan mendalam. Menurut saya, presiden itu ya dari ulama atau orang yang memiliki pengetahuan mendalam.

Menurut Anda, apakah mungkin suatu hari nanti akan ada presiden dari kalangan santri. Seperti Gus Dur?

Saya yakin. Saat ini, para santri yang di pesantren sudah mendapat pendidikan juga dari perguruan tinggi. Memang, identitas mereka tidak begitu kelihatan. Namun, secara prinsip, akhlak dan pergaulan akan berbeda.

Pesantren saat ini sudah jauh lebih maju. Mulai SD hingga tinggat SMA dan SMK sudah berkembang. Artinya, mereka bisa terdistribusi ke kampus-kampus hebat.

Saat ini, negara kita krisis akhlak bukan orang pinter. Orang korupsi itu tidak bodoh. Mereka pinter. Namun, tidak berakhlak. Kalau berakhlak,  tidak mungkin korupsi. Saya kira negara ini perlu anak-anak yang memiliki komitmen terhadap spiritualitas dan akhlakul karimah.

Tapi, kenapa saat ini partai berbasis islam kurang mendapat simpatik masyarakat?

Saya kira karena islam tidak ditampilkan sebagai agama yang rahmat bagi semua. Agama hanya sebagai alat kampanye dan menjadi alasan untuk menghantam lawan politik. Padahal yang berlawanan itu satu agama.

Saya melihat banyak sekali narasi agama untuk menjatuhkan lawan demi kekuasaan. Jelas ini tidak boleh. Agama mesti dijadikan pondasi untuk menjalankan kekuasaan. Jadi, tidak ada lagi yang korupsi karena mengingat Tuhan, mengingat Yaumul Hisap dan mengingat kematian. Menurut saya spiritualitas itu penting untuk menjalankan kekuasaan.

Namun, bagaimana calon pemimpin memiliki pondasi agama. Saat ini waktu pelajaran agama di sekolah minim sekali?

Menurut saya, jumlah orang yang perduli terhadap agama dalam pemerintahan mesti diperbanyak. Masalah utama ini berada di kalangan elit pemerintah. Yang bikin kurikulum pemerintah. Kalau yang menentukan kebijakan dari kalangan yang paham fungsi penting agama maka proporsinya akan berubah. Jadi, penting sekali pemegang kebijakan itu dari orang-orang yang memahami ilmu agama.

Kalau dalam islam, apa kriteria pemimpin yang baik?

Kriterianya banyak. Tapi yang jelas ada kaidah seperti ini Tasharruful Imam ‘Ala Al- Ra’iyyah Manutun Bi Al- Maslahah. Kebijakan seorang pemimpin harus berorientasi kepada kepentingan umat. Kalau ada pemimpin yang orientasinya kepada umat maka itu adalah orang yang baik. Otomatis keluarga dan dia sendiri pun akan masuk ke dalam kebaikan. Bagaimana pun keluarganya adalah bagian dari warga negara. Tapi, jika pemimpin hanya mementingkan golongannya saja maka masyarakat tidak akan merasakan kebijakan-kebijakan yang dia buat.

Contoh jika ada pemimpin yang menggratiskan sekolah untuk warga kurang mampu. Nah, keluarga yang kurang mampu dari pemimpin itu kan bisa merasakan juga manfaat dari kebijakannya itu.

Terakhir, apa yang paling dibutuhkan partai politik berbasis islam untuk memenangkan pemilu?

Kalau saya pribadi, tampilkanlah islam yang rahmat bagi semua. Berarti jangan menjadikan agama hanya sebagai alat untuk meraih kekuasaan. Setelah menang, justru meninggalkan nilai-nilai agama. Menurut saya, ketika kampanye, sampaikanlah program-program untuk kepentingan orang banyak. Setelah menang, tunaikanlah apa yang bisa membuat masyarakat sejahtera. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top