[Kliping] Mengenang Sosok Poerwadarminta
Oleh Indira Permanasari
BAHASA menunjukkan bangsa. Penciptaan Bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa dimulai sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober 1828. Pada butir ketiga Sumpah Pemuda itu, disebutkan putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.
Pascakemerdekaan, penyebaran Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tak terhenti. Salah satunya, ialah melalui penerbitan berbagai kamus bahasa Indonesia.
Baca juga
Buku Pertama yang Saya Beli
Kekayaan kosa kata bahasa Indonesia itu dalam perkembangannya dapat kita lihat terangkum dalam berbagai kamus bahasa Indonesia. Belakangan yang banyak digunakan ialah Kamus Besar Bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Namun, dibalik sejarah leksikografi (penyusunan kamus) di Tanah Air, ada nama besar almarhum Wilfridus Jozef Sabarija Poerwadarminta (1904-1968), ”Sang Bapak Kamus Indonesia” yang meninggal 28 November 1968 di Yogyakarta karena sakit. Sayangnya, nama tersebut semakin pudar terdengar.
Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) karya Poerwadarminta yang terbit tahun 1952 disebut-sebut sebagai tonggak sejarah dalam pertumbuhan leksikografi Indonesia. Kamus itu merupakan salah satu proyek Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan Universitet Indonesia.
Paling lengkap
Pakar bahasa Indonesia, Anton Moedardo Moeliono berpendapat, pada zamannya kamus dengan butir masukan sekitar 27.000 kata tersebut merupakan kamus bahasa Indonesia paling lengkap. Kamus itu sekaligus merupakan rintisan leksikograf di Indonesia. Kamus itu berlanjut ke edisi selanjutnya pada tahun 1954, 1961, dan edisi keempat keluar tahun 1966.
Anton M Moeliono sendiri pernah merasakan bekerja sama dengan Poerwadarminta atau ”nyantrik”—begitu Anton menyebutnya. Saat itu ia berada di Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan Universitet Indonesia (sekarang Pusat Bahasa). Anton Moeliono mempunyai kesan tersendiri terhadap sosok Poerwadarminta.
Dia masih merekam sulitnya menyusun kamus di era 1960-an. ”Untuk menyusun sebuah kamus dahulu dan sekarang tantangannya berbeda. Saat itu semua dikerjakan manual tanpa komputer. Selain itu, semua bahan harus dibaca satu per satu, begitu ditemukan kata dalam lima konteks akan dimasukkan ke dalam kamus tersebut,” katanya.
Anton mengenang Poerwadarminta sebagai sosok pribadi yang sabar, tidak pernah marah, dan banyak omong. Ketekunan dan kerja keras Poerwadarminta tidak diragukan lagi.
Pengerjaan kamus tersebut mengikuti dan menaati cara-cara kerja ilmiah dengan teliti cermat dan disiplin. J Adisubrata dalam In Memoriam Leksikograf WJS Poerwadarminta (Kompas, 4 Desember 1968) menuliskan, Poerwadarminta harus bergulat berjam-jam sebelum dapat menemukan terjemahan Indonesia yang tepat. Begitu pula untuk membedakan berbagai arti dari kata serupa serta merumuskannya dalam keterangan singkat, jelas dan tepat.
Pengamat bahasa Indonesia lainnya, Sudjoko berpendapat, sebelum Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta, telah ada kamus-kamus lain. Pada era tersebut ada terbitan sejumlah kamus lain di antaranya Kamus Indonesia E St Harahap, (cetakan kesembilan tahun 1951, Kamus Besar Bahasa Indonesia oleh Hassan Noel Arifin (1951), dan Kamus Moderen Bahasa Indonesia oleh St Mohammad Zain (1954). Akan tetapi, Poerwadarminta yang menciptakan sistem dalam penyusunan kamus.
Bagi Sudjoko, keistimewaan kamus Poerwadarminta antara lain terang dalam pembagian dan penyusunan keterangan. Dia pula yang menyusun sistem dalam kata.
Karya lain
Selain karya monumentalnya tersebut, Poerwadarminta juga menulis karya lain seperti Bausastra Djawa I (1931), Bausastra Walanda (Belanda-Jawa 1934), Bausastra Djawa II (1938), Logat Ketjil Bahasa Indonesia (1948), dan Nederlands Woordenboek (1950-an) dikerjakan bersama Prof A Teeuw.
Karya lain yang disusun Poerwadarminta berdasarkan pengalamannya ke Jepang untuk mengajar Bahasa Melayu dan Jawa ialah Kamus Nippon-Indonesia (1942). Dia sempat tinggal di Jepang selama lima tahun.
Setelah perang dunia kedua dia bergabung dengan Lembaga Penyelidikan Bahasa dan Kebudayaan di Jalan Diponegoro 72 di Jakarta. Saat berpulang, dia masih terdaftar sebagai pengajar di Sanata Dharma Yogyakarta.
Seiring dengan perkembangan kebutuhan, Pusat Bahasa kemudian membuat kamus Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus yang memuat semua kata dalam bahasa Indonesia dengan butir masukan sekitar 72.000.
Sudjoko mengatakan, kamus bahasa Indonesia bagi para sarjana bahasa, sastrawan, dan pengamat bahasa mempunyai arti yang amat besar. Sayangnya, belum demikian bagi masyarakat luas, bahkan untuk para pekerja media yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai senjata dalam bekerja.
Jika memang memanfaatkan kamus, kesalahan-kesalahan berbahasa, baik dalam berbicara atau menulis dapat dikurangi. Demikian juga dengan pekerja pers yang sebetulnya berperan besar dalam menyebarkan bahasa Indonesia yang baik dan benar. ”Kalau menggunakan kamus, penulisan berita yang cenderung menggunakan bahasa asing dan ucapan-ucapan penyiar di televisi yang salah tentu tidak terjadi,” paparnya.
Sedikit yang punya kamus
Selalu ada yang beralasan bahasa Indonesia itu miskin, kenyataannya hanya segelintir yang mempunyai kamus. ”Kalaupun memiliki kamus belum tentu dibuka,” ujarnya.
Dia memberikan gambaran sekarang ini untuk wartawan media cetak saja, misalnya, jumlah kata yang dipakai hanya sepuluh persen dari Kamus Umum Bahasa Indonesia karya Poerwadarminta. Selebihnya, kekayaan bahasa Indonesia tidak dipakai karena tidak dikenal.
Kata-kata tersebut, menurut Sudjoko, tidak dipakai karena masyarakat antara lain lebih menyukai kata serapan. Terutama dari bahasa asing.
Ada kecenderungan di dalam masyarakat bahwa menggunakan bahasa Indonesia dianggap tidak keren atau memilih lebih suka ber-cas cis cus dengan bahasa Inggris, biar dikira paham globalisasi. Lantas bagaimana nasib bahasa Indonesia yang dulu dengan penuh semangat akan dijunjung tinggi itu? []
Sumber: Kompas, Jumat, 28 Oktober 2005