Panggung

Pithagiras, Fakta-Fiksi, dan Masa Lalu

Foto: Kiet JR/Pexels

ADA yang penasaran, “Siapa itu Pithagiras?”

“Ya, tokoh cerita di Mamak Kenut, Negarabatin, dan cerber ‘Surat Cinta untuk Pithagiras yang Lupa Ditulis’,” kata saya.

“Itu cowok atau cewek?”

“Cewek. Temannya Mamak Kenut, Minan Tunja, Mat Puhit, Pinyut, Radin Mak Iwoh.”

“Pithagiras itu benar ada orangnya?”

“Ya, Pita host Forum Keadilan TV. Saya kan memang menulis surat untuk dia. Dia juga sudah tahu kok saya kirimi surat terus…”

“Hahaa…”

“Yang benar geh?”

Masa saya harus bilang, ada kok orangnya. Tar orangnya ge-er pula. Padahal saya cuma ngarang, Boleh juga dibilang ‘ngebo’ong‘. Hahaa…

Jadi, begini:

“Di dunia nyata, mungkin ada orang yang seperti itu. Tapi, ini fiksi. Semacam fakta yang difiksikan. Saya cuma menganyam kejadian-kejadian (fakta) yang mungkin berdiri sendiri dan tak ada hubungannya antara yang satu dan lainnya menjadi kisah bersambung. Dan, itu masa lalu semua. Makanya, saya perlu bekerja keras mengingat kesilaman. Semoga saja saya berhasil merekonstruksi semuanya menjadi cerita yang menarik. Menarik ini, minimal menurut saya. Buat milenial yang tak mengalami era 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, mungkin tidak. Bisa jadi malah aneh. Ya, biar saja. Kadang saya menulis ya menulis saja. Kalau menulis cerita ya bercerita saja. Gak ada yang baca… biar saja.”

Gak kepikir hendak membuat cerita yang sesuai dengan keadaan kekinian, zaman now?”

“Oh, gaklah… Sebagai penulis, tugas saya cuma menulis: bercerita, kalau dulu…, kok begitu, seharusnya begini, ingat omongan orang tua, berkatalah dengan sopan, jangan abai dengan nilai-nilai baik, dll…”

“Akan berbenturan terus dengan yang muda-muda dong!”

“Ya, memang. Tapi, kehidupan itu kan berkesenambungan terus hari hari ke hari, bulan ke bulan, tahun ke tahun, abad demi abad, … dan itu kan sejarah. Harus ditulis agar tak dilupakan begitu saja. Banyak juga nilai-nilai luhur, masa mesti mengalah ke generasi muda demi mengatakan sudah eranya. Semaju, sehebat, dan sebebas apa pun kita tetap butuh yang namanya kepantasan, sopan-santun, etiket, moral, etika, … hal-hal yang dianggap kebaikan dan kebajikan.”

“Bukankah kita harus lebih memahami kenyataan-kenyataan yang terjadi pada hari ini?”

“Oh iya, kita memang harus akomodatif, adaptif, dst dengan perubahan yang terjadi. Tapi, sebagai penulis, saya tetap mengambil posisi sebagai pengingat. Dicap sok moralis ya biar saja. Di luar teknologi yang kini menjadi ‘dewa’, generasi terkini tetap mestilah memegang rasionalitas, paham akan banyak hal sekaligus  memiliki banyak wisdom. Agak berat juga memang.”

“Ehm, mana lanjutan “Surat Cinta untuk Pithagiras’?”

“Hahaa… Iya, belum. Saya suka lupa menulis karena tergoda konten medsos yang suka viral.”

“Ternyata sama saja, kita…”

“Dunia hari ini!”

Agui! []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top