Buku Pertama yang Saya Beli


MESKIPUN pernah masuk Taman Kanak-kanak (TK), saya belajar membaca pertama kali ketika masuk Sekolah Dasar, Januari 1977. Di TK, seingat saya guru tidak mengajarkan membaca dan berhitung. Namanya juga taman, ya tempat bersenang-senang, menyanyi, menari, dan bermain-main. Jika dibandingkan dengan sekarang, jelas saya sangat terlambat mengenal huruf dan angka. Anak-anak sekarang, “dipaksa pintar” membaca dan menulis sejak masih TK.

Buku apa yang saya baca, tentu buku cetak pelajaran Bahasa Indonesia. Masih mengeja, mulailah saya membaca-baca yang hurufnya besar-besar di jalan, di bangunan, judul-judul di koran, majalah atau sekadar judul buku. Kalaupun membaca buku, dicari yang hurufnya besar-besar. Kalau ditanya apa buku bacaan yang pertama saya baca selain buku pelajaran sekolah, jelas saya lupa.
Tapi, entahlah, mungkin karena bacaan yang “melimpah” (baca: hampir selalu tersedia), baik di rumah, di rumah teman, dan di perpustakaan sekolah; saya menjadi suka buku, selain koran dan majalah, yang ada ceritanya, yang ada gambarnya. Belakangan, saya bikin moto sendiri: “Belajar adalah membaca, utamanya novel dan komik.”
Bahasa Ibu saya bahasa Lampung. Makanya, pelajaran bahasa Indonesia menjadi menarik. Ketika guru – kebetulan gurunya ayah saya sendiri, (alm) Zubairi Hakim, yang kalau di rumah sehari-hari berbahasa Lampung – mengajarkan kalimat langsung dan kalimat tidak langsung; saya benar-benar tekun menyimak dan kemudian mulai merangkai kata-kata menjadi contoh kalimat langsung dan tidak langsung.
Kemahiran membuat kalimat langsung dan kalimat langsung ini sangat penting dalam menghidupkan karangan. Ini modal awal untuk mulai membuat kalimat dan paragraf. Demikianlah, saya mencoba-coba mengarang. Tulis tangan dan sembunyi-sembunyilah. Hahaa… Kalau ada tugas mengarang dari guru, perasaan saya, sayalah paling semangat.
Sejalan dengan keranjingan membaca cerita dan komik, saya belajar bagaimana cara pengarang menuangkan cerita dalam tulisan mereka. Beruntung pula ketika itu, saya dan teman berlangganan majalah Sahabat Pena terbitan PT Pos Indonesia. Majalah ini memuat artikel, cerpen, puisi, dan terus menggalakkan menulis (surat) melalui rubrik “sahabat pena”.
Hampir setiap edisi ada sebuah cerpen kemudian dibahas atau diapresiasi oleh sastrawan Alinafiah Lubis. Dari bahasan Alinafiah Lubis ini saya juga banyak belajar seluk-beluk menulis cerpen. Tentu, ada juga teknik dan tips menulis di koran/majalah lain yang sempat saya baca.
Sampai tamat SD tahun 1983, saya belum pernah membeli buku, kecuali buku tulis dan buku gambar. Saya pikir pemerintah waktu itu sangat baik dengan tidak menyuruhkan kami, murid-murid membeli buku cetak. Buku cetak untuk setiap pelajaran sudah disiapkan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Dep P & K). Sedangkan bacaan disiapkan melalui proyek Inpres, boleh dibaca dan dipinjam dari Perpustakaan Sekolah. Di setiap buku tertulis: “Milik Dep P & K, tidak diperjual-belikan”.
Setiap siswa hanya diminta merawat buku yang dipinjam dan mengembalikannya dalam kondisi baik. “Biar nanti bisa dipakai adik-adik kalian yang juga akan sekolah,” begitu pesan guru. Kami, anak-anak ya apalagi kalau tidak patuh. Dipinjami buku gratis lo!
(Belakangan setelah tamat SD, saya mulai ngawur. Kelewat gemar mengoleksi buku, tidak sekadar membaca lagi, beberapa novel saya kutil dari perpustakaan sekolah. Mahapkan saya Bu Yanti, penjaga perpustakaan SMPN Liwa 1983—1986).
***
Begitu masuk SMP, masih di semester satu tahun 1983, saya menemukan sebuah wacana yang membicarakan sosok WJS Poerwadarminta, seorang ahli bahasa dan penyusun Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) yang banyak menulis buku tentang bahasa Indonesia. Di antara buku karyanya, saya terpaku dengan dua judul, yaitu ABC Karang-Mengarang dan Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang.
Karena saya suka membaca dan selalu salut dengan kemampuan setiap penulis merangkai kata-kata, lalu terbesit keinginan untuk bisa menulis atau mengarang sehebat para pengarang ini — di perpustakaan SMPN Liwa tidak pula saya temui buku ini – saya lalu bertekad memiliki dua buku ini di samping sebuah kamus bahasa Inggris.
Tapi, saya tak memiliki uang untuk membeli buku-buku itu. Minta dengan orang tua, tidak mungkin. Orang tua tidak akan memberi kalau bukan untuk buku pelajaran. Apa jalan? Ehm, bagi anak-anak Negarabatin (“batin” dalam bahasa Lampung berarti kaya), asal mau kerja keras tidak terlalu sulit mendapatkannya.
Jadilah saya yang pada dasarnya pemalas, rajin ngunduh kahwa (memetik kopi), mengangkutnya pulang dari kebun ke rumah, menjemurnya sampai kering, menumbuk dan mengayaknya agar diperoleh biji kopi tanpa kulit sampai siap dijual. Pesan khusus untuk yang lain-lain: kopi saya jangan diganggu-gugat karena saya ada perlu!
Setelah uang hasil penjualan kopi terkumpul dan saya diminta ayah untuk menitipkan uang kiriman untuk Minan (bibi) yang bersekolah di Tanjungkarang dengan seorang paman yang hendak ke Tanjungkarang, saya juga menitipkan uang untuk disampaikan ke Minan minta tolong dibelikan tiga buku tadi:
- ABC Karang-Mengarang — WJS Poerwadarminto (UP Indonesia, Yogyakarta, 1967)
- Bahasa Indonesia untuk Karang Mengarang – WJS Poerwadarminto (UP Indonesia, Yogyakarta, 1967)
- Kamus Bahasa Inggris — karangan siapa saja
Demikianlah, tahun 1983, ketiga buku itu saya terima dari paman saya itu. Menurut Minan, buku yang paling sulit dicari adalah buku Bahasa Indonesia untuk Karang-Mengarang yang baru diketemukan di Toko Buku Sikaronggo setelah mutar-mutar. Kamus dan ABC Karang-Mengarang sebelumnya sudah didapatkan di Toko Buku Fajar Agung.
Saya lupa, buku apa lagi, selain buku pelajaran tentu, yang saya beli setelah itu. Yang jelas, setelah urban ke Tanjungkarang, tahun 1986, saya sudah mewajibkan diri membeli buku setiap bulannya minimal satu. Dan, terus terang, honor menulis sembunyi-sembunyi saya kebanyakan habis untuk beli koran, majalah, dan buku. Habis… saya gak suka pacaran sih sehingga tak ada yang perlu ditraktir. Hehee…
Dari Toko Buku Raden Intan misalnya, saya pernah memborong Antologi Puisi Tonggak Jilid 1—4 susunan Linus Suryadi Ag, Cerita Pendek Indonesia Jilid 1—4 susunan Satyagraha Hoerip, karya-karya sastrawan Lampung, Indonesia, dan terjemahan, dan lain-lain.
Apalagi waktu menang lomba menulis, jelas habis untuk beli buku dan Kamus Bahasa Inggris paling tebal waktu itu (anehnya, saya gak pingter-pinter juga bahasa Inggris hehee….)
Sayangnya, buku-buku itu kurang bisa saya jaga, di samping saya anak kos yang hampir setiap saat harus pindahan, banyak juga mahasiswa Jurusan Bahasa yang meminati koleksi-koleksi saya itu dan karena itu banyak yang dipinjam tidak kembali. Bahkan, ada juga dipinjam tapi tak ngomong-ngomong. Saya terlambat sadar bahwa meminjamkan buku itu bodoh. Hehee…
Sekarang, maunya sih sering-sering beli buku. Apa daya, kebutuhan lain lebih mendesak! Namun, satu hal, saya tetap mencintai buku dan ingin mengoleksi buku sebanyak-banyaknya. Termasuk di antaranya, dengan bikin buku sendiri dan membantu teman yang ingin menerbitkan buku.
Tabik. []
