Human

Kebangkitan Ulama 1926: Momentum Melawan Dominasi Zalim

Oleh Moh. Rasyid

KEBANGKITAN ulama secara literal adalah arti dari Nahdlatul Ulama (NU) itu sendiri; salah satu organisasi keagamaan dan kemasyarakatan terbesar di Indonesia yang hari ini sedang berulang tahun yang ke-95. Tak ada alasan ideal atas penggunaan redaksi “kebangkitan ulama” ini, kecuali hanya agar lebih akrab dengan kultur masyarakat Nusantara. “Kebangkitan Ulama”; frasa yang relatif terdengar digdaya dalam mengenang ghirah perjuangan masyarakat pesantren melawan cengkeraman penjajah.

Ingatan kita tiba-tiba melayang jauh ke belakang setiap kali mendengar “kebangkitan ulama”, dan asosiasinya pada-setidakya-dua hal; pertama, perjuangan Komite Hijaz dalam menyikapi gejolak politik di Arab Saudi kisaran tahun 1924. Gejolak ini diawali dengan peralihan kekuasaan dari kekhalifahan Utsmani kepada Rezim Ibnu Saud yang berafiliasi dengan-dalam istilah sekarang-Wahabi. Dibawah kepemimpinan Ibnu Saud, dunia Islam kemudian terproyeksi berada dalam satu asas tunggal, yaitu wahabisme; paham yang menolak percampuran antara sistem tradisi, budaya, dan peradaban dengan ajaran al-Quran dan Hadits (Slamet Effendy Yusuf, 2019).

Sebagai salah satu bentuk dari cita-cita purifikasinya, Ibnu Saud bermaksud untuk menghancurkan bangunan-bangunan bersejarah yang ketika itu banyak diziarahi oleh umat Islam Mekah, tak terkecuali makam Nabi SAW dan para sahabat yang dianggapnya tidak sesuai ajaran Islam alias bid’ah. Ini kabar yang kurang menggembirakan bagi para kiai dan ulama-khususnya yang memiliki kultur ahlus sunnah wal jamaah-tanah air.

Melalui berbagai pertimbangan dan musyawarah mufakat, Komite Hijaz akhirnya mendelegasikan KH. Wahab Chasbullah dan KH. Asnawi Kudus ke tanah Hijaz untuk menyampaikan kepada Ibnu Saud lima hal; pemberlakuan kebebasan bermazhab, tetap melestarikan bangunan-bangunan bersejarah di Mekah, mengumumkan hal-ikhwal haji jauh sebelum musim haji tiba, agar semua aturan hukum di negeri Hijaz ditulis sebagai undang-undang sehingga ada kepastian hukum, dan memohon agar ada jawaban tertulis bahwa delegasi Komite Hijaz telah menghadap Ibnu Saud (Choirul Anam, 1985).

Kedua, perjuangan melawan penjajah yang melahirkan kemerdekaan bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang dikumandangkan oleh Bung Karno ternyata tidak mengurangi semangat kolonial untuk terus merebut Indonesia dari genggaman pribumi. Itu sebabnya, pada September 1945, Belanda yang membonceng tentara Ingris kembali datang ke Indonesia dengan semangat kolonialisme. Tak butuh waktu lama, NICA (Netherland Indies Civil Administration) telah menduduki kota-kota besar di Indonesia seperti Medan, Padang, Palembang, dan sebagainya di kawasan Jawa.

Kabar ini melahirkan reaksi keras di tubuh NU. NU pun tidak tinggal diam. Sebab kemerdekaan yang telah didapatkan, bagi NU, wajib hukumnya dipertahankan, apapun konsekuensinya. Pada 21-22 Oktober 1945 ribuan kiai dan santri NU dari Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya, siap secara lahir dan batin untuk membela tanah air setelah Ra’is Akbar KH. Hasyim Asy’ari mengumandangkan resolusi jihad untuk berperang mempertahankan kemerdekaan 1945. Puncaknya, pada 10 November 1945, perang kolosal pecah di Surabaya antara tentara Ingris dengan rakyat Indonesia, termasuk para kiai NU berserta santri-santrinya.

Tiga abad lamanya rakyat Indonesia menderita dibawah kebijakan kolonial Belanda yang tidak manusiawi. Tekanan-tekanan penjajah telah membuat bangsa ini porak-poranda dalam sektor sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan laku keagamaan. Sudah sejak awal, Hadratu As-syaikh KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah, KH. Bisri Syansuri, dan banyak kiai pendiri NU lainnya menyadari bahwa kolonialisme-imperialisme, apapun bentuknya, merupakan akar utama mengapa kemiskinan, keterbelakangan dan penindasan tumbuh subur di tengah-tengah bangsa ini.

Merawat Perjuangan

Oleh karena itu, kiranya tak berlebihan jika dikatakan bahwa kemerdekaan Indonesia tak bisa-atau minimal sulit-dijauhkan dari jangkauan perjuangan nasional para pendahulu NU. Lalu, apa tugas generasi NU hari ini dan mendatang? Tentu jawabannya adalah merawat serta meneruskan semangat perjuangan itu dalam bentuknya yang lain, yang relevan dengan konteks zamannya.

Hari ini, gerakan kaum intelektual muda NU harus bisa membidik secara lebih progresif dan menentukan keberpihakannya kepada rakyat-rakyat kecil di akar rumput. Dengan begitu, ketimpangan sosial, ekonomi, dan politik yang kian mengarah pada sebagian besar bangsa ini menjadi fokus perhatian NU ke depan. Hal ini sangat penting bukan saja karena ingin merawat perjuangan para pendiri NU dalam menyelamatkan bangsa ini dari ketertindasan. Lebih jauh dari itu, bahwa Islam sendiri memiliki sikap yang tegas dalam membersamai rakyat-rakyat kecil yang tertindas.

Menemukan Islam adalah berjuang bagi mereka yang dikalahkan dan dizalimi. Inilah cita-cita awal Rasulullah SAW dan para sahabat dalam perjalannya memperjuangkan Islam. Bahkan, praktek perdana dari perjuangan Islam itu sendiri adalah tampil untuk melawan oligarki, dominasi yang zalim, dan membebaskan rakyat yang tertindas.

Maka, adalah keputusan yang sangat tepat ketika akhir tahun lalu PBNU secara tegas ikut membersamai rakyat-rakyat kecil dan para mahasiswa yang turun ke jalan, dengan menolak Omnibuslaw yang dinilainya sarat kezaliman dan tidak memihak terhadap sosial-ekologi. Meski sikap kritis ini belum bisa dibilang berhasil, tapi sudah cukup merepresentasikan NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakat yang sejak awal berdirinya relatif dekat dengan rakyat bawah.

Hari ini, di usianya yang ke-95, NU perlu merevitalisasi agenda gerakannya agar lebih dekat dengan kepentingan rakyat bawah di satu sisi, dan meningkatkan semangat kritiknya terhadap kebijakan ekonomi-politik di sisi yang lain. Hanya dengan cara inilah ruh perjuangan NU bisa tersambung kembali dengan sebagian besar rakyat menengah ke bawah secara ekonomi dan politik.

Wa alaa kulli hal, saya mengucapkan selamat harlah NU yang ke-95!  []

—————                                                                                                     
Moh. Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top