Gila Gelar!
ORANG Indonesia memang sudah lama gila gelar.
Ketika menulis nama seseorang, janganlah lupa menuliskan gelar sarjana, magister, doktor, apalagi profesor. Itu harus!
Kita bisa dimarahi kalau lupa menuliskannya. “Tidak mudah mendapatkan gelar-gelar itu!” begitu kira-kira alasannya.
Jangankan gelar akademis, setelah naik haji pun, orang Indonesia minta dipanggil “haji” dan “hajjah” dan ditulis “Hi” dan “Hj” di depan namanya.
Maka, ketika Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Fathul Wahid meminta namanya ditulis tanpa gelar untuk korespondensi surat, dokumen, dan produk hukum; ia menjadi sindiran keras buat kita semua.
Jika selama ini, tertulis gelar lengkap ‘Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D.’, ia meminta ditulis tanpa gelar menjadi ‘Fathul Wahid’.
Sebenarnya, apa yang dilakukan Rektor UII ini sudah lazim dalam kerja jurnalitik. Salah satu prinsip yang harus dijalankan seorang jurnalis adalah menegakkan demokrasi (demokratis), menjauhkan feodalisme, dan menolak paternalisme.
Pengalaman menjadi “jabrik” opini dan budaya di beberapa media lokal (1998—2021), saya tak pernah mencantumkan gelar akademik penulis, tak kecuali profesor sekalipun. Sangat jelas kok, kualitas tulisan/artikel yang dikirim tidak pernah ditentukan oleh titel atau gelar penulisnya.
Predikat (keterangan penulis) bisa ditulis misalnya, dosen FISIP Universitas Lampung, guru besar Fakultas Pertanian Universitas Lampung atau … apalah profesi penulis yang berkaitan dengan kompetensinya menulis topik tertentu.
Ada juga yang “maksa” supaya titelnya ditulis. Tetap! Titel takkan dicantumkan di koran.
Lah, alih-alih menggunakan titel, saya malah menggunakan nama samaran. Awal maksudnya, biar saya tak diketahui sebagai penulisnya. Kalaulah sekarang orang jadi mafhum siapa itu Udo Z Karzi, ya telanjur saja.
Dah bagus-bagus Udo Z Karzi, tak usahlah pakai titel!
Sebenarnya, selain titel kesarjanaan, saya “punya hak” menempelkan banyak atribut di nama lahir saya. Sebab, sebagai orang Lampung, saya mempunyai gelar (nama), marga, juluk (julukan), adok (gelar adat), dan tutor (panggilan khas dalam sistem kekerabatan Lampung).
Tapi, ah… gile bener! []