Melebur ke Dalam Alur Kisah
Oleh Alexander Robert Nainggolan
BARANGKALI semua yang ada di dunia ini adalah kisah, bisa hanya sebagian ataupun utuh. Mungkin hanya sekadar penggalan yang tak pernah menemukan muara akhir. Kisah-kisah itu terjadi di setiap liku kehidupan manusia, orang demi orang—yang tak pernah sama. Jika berupa sidik jari ia memiliki ciri tersendiri, yang tak mungkin didapati secara saklek bagi setiap orang. Kisah yang jika dituliskan menjadi identitas bagi si penulis itu sendiri.
Lalu kisah-kisah itu, mungkin pula dapat hanya dituturkan—dari mulut ke mulut. Menempuh jalannya tersendiri, bergegas antara satu leluhur ke leluhur. Dari buyut ke kakek turun ke ayah lalu ke anak. Kemudian berkembang biak lagi, menyebar kembali. Demikianlah, tuturan kisah yang tak lagi sama menciptakan bentuk yang baru, dengan dibubuhi pelbagai metafora atau kiasan. Atau bisa juga hanya datar saja sejak semula, namun cerita yang asli dengan tambahan tersebut menjadi agak berbeda. Ia menciptakan alur yang baru, meskipun akhir kisah ataupun tokoh-tokoh yang berkelindan di sekelilingnya tetap sama. Namun penjabaran yang melingkupinya sudah menjadi lain dari kisah asalnya.
Maka, saya kira berbahagialah para penulis kisah yang mampu menerjemahkannya dalam tulisan. Mampu menyusunnya dalam paragraf-paragraf dengan alur yang tak terduga. Tentu pula pelbagai percakapan yang terhimpun di dalam kisah turut membentuk sejumlah suasana, karakter, melambungkan kembali adat-istiadat (lokalitas), tersuruk masuk ke pelbagai nasihat atau petuah. Bisa juga hanya sekadar memaparkan keseharian yang ternyata tak sepenuhnya berjalan baik-baik saja. Sejumlah kisah yang mungkin saja dinukil dari segala remeh-temeh, begitu sederhana namun meninggalkan ingatan panjang di dalam benak.
Bukankah pula kita diingatkan kembali tentang pengertian cerita pendek (kisah) yang merupakan salah satu karya sastra berbentuk prosa naratif yang ceritanya relatif singkat. Pun hanya berfokus pada suatu tema tertentu. Memang tak dapat dipungkiri pula, kisah yang penuh dengan “kekompleksan” lebih baik, tetapi dengan sejumlah catatan sang penutur kisah dapat mengambil segala peran. Katakanlah, ia mampu untuk membentuk dunia kisahnya lebih jeli lagi dengan menangkap hal-hal yang luput dari tema-tema besar. Meminjam ungkapan Edgar Allan Poe, cerita pendek karena ukuran yang pendek adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam.
Bagaimana pun kita mahfum jika sebuah cerita berangkat dari usaha penulisnya dengan fokus utama terhadap ”isi” (cerita, perwatakan, argumen, dan sebagainya) dan konon perhatian seperlunya saja terhadap bahasa. Dan sebuah kisah memang jarang untuk meluberkan sejumlah metafora, hal yang berbeda dengan puisi. Pada muara itulah, saya kira cerita bekerja melalui alurnya. Dan memang sebuah cerita setidaknya memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.
Pula dengan selusin kisah yang ditulis oleh Udo Z. Karzi dalam Minan Lela Sebambangan ini; saya mendapatkan hal tersebut, bagaimana dirinya mampu menyuguhkan peristiwa keseharian yang mungkin telah lewat bertahun-tahun dari dirinya. Dengan sejumlah kenangan yang menghambur, Udo seakan mengajak kita untuk bertamasya. Kisah-kisah yang dituliskannya melebur ke dalam. Dengan warna lokalitas yang kental dengan mengangkat sejumlah adat atau istilah kata dari ujung Sumatera (Lampung).
Ihwal Lokalitas Lampung
Kita mengenal Udo sebagai salah seorang sastrawan dari Lampung, yang juga asli Lampung. Pelbagai karya yang dihasilkannya banyak menyitir atau mengambil sebagian besar khazanah Lampung, yang memang terasa “kental” dan bukan sebagai sampiran semata.
Saya kira, Udo adalah seorang yang tetap kukuh berdiri di dalam barisan ini. Ia dengan ”setia” mengangkat segala lokalitas Lampung, bahkan mungkin salah satunya bagaimana usaha dari dirinya untuk mempertanyakan mengapa sebuah piil bagi orang Lampung begitu penting. Sebuah harga diri, yang terkadang sudah lama mati suri di negeri ini. Dalam cerpen “Harga Diri”, Udo banyak menjabarkan bagaimana ihwal piil yang dijaga marwahnya sekian lama bagi orang Lampung namun terasa semakin menipis.
Kisah-kisah yang dituliskan Udo hampir sebagian besar menggunakan sejumlah kosakata Lampung. Kosa kata yang tentunya, akrab dengan dirinya sebagai bahasa ibu. Ia secara sadar mengangkat kembali sejumlah kenangan yang hadir dengan begitu saja, mungkin dari masa kecil namun begitu detail menceritakan. Pun saat membangun dialog para tokoh yang hadir dalam kisahnya terasa “santai” dengan mengambil percakapan keseharian. Namun dengan demikian para tokoh yang muncul terasa hidup dan membangun karakter atau sifatnya masing-masing dengan sendirinya.
Meskipun pada berbagai kesempatan pula, ada semacam “ketakutan” dari beberapa komunitas budaya yang menyatakan jika 36 tahun dari sekarang (2024) bahasa Lampung akan punah. Sebagaimana yang diungkapkan (alm.) Prof. Asim Gunarwan suatu hal yang menyedihkan karena provinsi Lampung merupakan wilayah yang multikultur (Indonesia mini) sehingga memungkinkan banyaknya percampuran bahasa di sana, selain memang ada beberapa faktor lain yang melingkupinya seperti sikap bahasa penutur jati bahasa Lampung, khususnya generasi muda yang cenderung pasif. Penutur Bahasa Lampung terputus pada generasi tua, karena mayoritas lingkungan keluarga tidak lagi meneruskan penggunaan Bahasa Lampung secara aktif kepada anak-anaknya.[1]
Sebagai Indonesia mini—Lampung kerap bersinggungan dengan pelbagai kultur dari masyarakatnya yang berbeda-beda, utamanya para pendatang. Hal yang turut membuat khazanah lokal dari Lampung itu sendiri tergerus, untuk itu memang harus ada pelestarian, selain Bahasa Lampung, juga segala adat-istiadat yang berkaitan dengannya. Setidaknya dengan begitu ihwal lokalitas Lampung akan jauh lebih bertahan. Dengan semangat ini, Udo telah mengambil langkah jauh yang menyelamatkan tradisi nenek moyangnya selain meninggalkan aksara yang berbentuk kisah, ia juga mengawetkan bahasa ibunya sendiri untuk diwariskan kembali.
Melalui buku ini, upaya Udo dengan menuliskan kisah-kisah berbahasa Lampung menjadi penting, ia tak hanya sekadar mengawetkan tentang posisi bahasa Lampung, yang diprediksi akan punah sekian tahun ke depan itu, namun sekaligus menjaga alur kisah dengan melebur pada setiap tokoh semacam Minan Tunja, Mamak Kenut, atau kisah tiga Mansur yang berbeda-beda watak. Ia dengan tulisan-tulisannya, terlebih melalui beberapa penghargaan sastra lokal yang telah diterimanya, telah berbuat lebih dahulu, sebelum bahasa Lampung diramalkan akan punah. Usaha yang “menguatkan” supaya bahasa Lampung tetap terjaga dan menjadi penyangga bagi Bahasa Indonesia. Selebihnya di tangan pembacalah kisah-kisah di buku ini hadir dan mengalir. Tabik.
——
Alexander Robert
Nainggolan (Alex R
Nainggolan), sastrawan, tinggal di Jakarta. Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan
cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), Kitab
Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, 2016), dan Dua Pekan Kesunyian (kumpulan puisi, 2023).
*Ditulis sebagai pengantar buku berbahasa Lampung, “Minan Lela Sebambangan: Selusin Cerita
Buntak” karya Udo Z Karzi (sedang proses terbit).
[1]baca: “Komunitas Budaya: 36 Tahun ke Depan Bahasa Lampung akan Punah”, diambil dari https://lampung.antaranews.com/berita/733998/komunitas-budaya-36-tahun-ke-depan-bahasa