Jangan Lupa, Kita Masyarakat Humoris

Oleh Gufron Aziz Fuadi
TADI pagi habis salat subuh ada jamaah yang bertanya, apakah boleh kita menghadiahkan/mendoakan orang yang sudah meninggal dengan membaca Alfatihah? Padahal, kita aja nggak tahu apakah Alfatihah kita diterima atau tidak oleh Allah.
Pertama, bahwa salah satu adab dalam berdoa adalah adanya rasa khauf dan raja’ (takut dan harap) akan diterimanya doa kita. Agar dengan rasa tersebut kota serius dalam berdoa. Disamping itu kita juga harus berhusnudzan pada Allah bahwa Dia akan menerima doa doa kita.
Kedua, mendoakan mayit dengan membaca Alfatihah dibolehkan menurut mayoritas salaf. Dalilnya adalah hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut:
“Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata: Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Jika di antara kalian ada yang meninggal, maka janganlah diakhirkan, segeralah dimakamkan. Dan bacakanlah di samping kuburnya, Surat Al-Fatihah di dekat kepala dan ayat terakhir Surat Al-Baqarah di dekat kakinya”. (HR. At Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 13613, Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Iman No. 9294)
Al-Hafidz Ibnu Hajar Al ‘Asqalani, imam pakar hadits di zamannya menyatakan bahwa status hadis di atas adalah Hasan. (Fathul Bari, 3/184).
Hadits Hasan ini sah dijadikan hujjah. Sangat jelas pula hadits ini menunjukkan perintah membaca Al-Fatihah dan akhir Albaqarah untuk jenazah yang sudah dikubur.
Jadi sebenarnya seringkali perbedaan terjadi karena persepsi dan perspektif nya yang berbeda.
Apa itu persepsi dan perspektif?
Persepsi adalah cara kita berpikir atau memahami seseorang atau sesuatu.
Sedangkan perspektif adalah cara pandang terhadap suatu masalah yang terjadi, atau sudut pandang tertentu yang digunakan dalam melihat suatu fenomena.
Persepsi dan Perspektif memiliki peranan yang sangat penting dalam menilai suatu peristiwa, karena dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan dan atau berperilaku.
Pernah dalam suatu kesempatan pergi dengan seorang aktivis dakwah, menjelang magrib sampai ditempatnya. Tidak lama kemudian berkumandang adzan maghrib yang dilanjutkan dengan shalawatan atau pujia-pujian. Saat saya ajak sholat di masjid tersebut teman tadi menolak sambil mengatakan di masjid itu banyak bid’ahnya. Kamu dengarkan, puji pujian itu? Itu tidak dicontohkan oleh nabi.
Akhirnya saya ke masjid dan dia salat ditempatnya.
Selesai maghrib kami ngobrol di antaranya tentang persepsi dan perspektif puji-pujian sebelum iqamat.
Dalam pandangan saya, shalawat atau doa puji-pujian sebelum iqamat itu khilafiyah bukan bidah. Justru yang bid’ah ente, karena nabi tidak mengajarkan kita shalat fardhu dirumah. Beliau memerintahkan dan mencontohkan untuk shalat di masjid.
Sedangkan puji-pujian, mereka melakukan itu ada dasarnya, hanya perspektif kita terhadap dasarnya itu mungkin yang berbeda.
Dari Anas Radhiallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Doa antara adzan dan iqamat tidak akan ditolak.” Riwayat Nasa’i dan selainnya. Ibnu Hibban, Ibnu Qayim, al Bani dll mensahihkan.
Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya doa antara adzan dan iqamat, tapi tidak menjelaskan tentang caranya. Apakah dengan suara keras atau pelan. Apakah sendirian atau beramai ramai.
Tapi itu mengganggu orang yang mau shalat sunah, kata yang tidak setuju.
Tetapi bagi yang sepakat mengatakan: ini adalah untuk mengajarkan anak anak berdoa biar mereka tidak ngobrol dan main hp, juga untuk syi’ar.
Memang shalawat dan pujian sebelum iqamat sejarahnya dulu untuk mengajarkan jamaah untuk berdoa diwaktu mustajab. Karena masyarakat Indonesia, seperti kita ketahui, merupakan masyarakat tutur atau lisan bukan tulisan. Dengan kata lain, tidak suka membaca dan menulis. Sehingga pengajaran oleh para ulama dulu dilakukan dengan cara lisan termasuk menuntunnya menghafalkan bacaan shalat dan doa doa.
Pola seperti ini masih berlanjut sampai sekarang, khususnya pada majelis taklim, baik majelis talim bapak bapak maupun ibu ibu. Mereka umumnya tidak membawa buku teks atau buku catatan saat datang ke pengajian. Jadi mereka hanya mengandalkan ingatan dari yang didengar.
Oleh karena itu, para dai jaman dulu, agar apa yang disampaikan bisa diingat oleh jamaah, mereka menyampaikannya dengan anekdot, pantun atau parikan yang tema nya dekat dengan kehidupan jamaah. Penggunaan pantun, parikan dan anekdot tentunya berselera humor tinggi. Itulah mengapa kiyai dan dai di negeri ini umumnya lutju-lutju. Resikonya ya, sering kali pengajiannya lebih banyak lutjunya daripada isinya.
Tapi ya, kalau nggak lutju ya nggak laku.
Untuk dai yang serius bukan berarti tidak punya segmen.
Siapa?
Ya yang serius ngajinya, biasanya yang ikut pembinaan. Mereka biasanya menyimak dengan serius, mencatat materinya dan mendiskusikannya. Tetapi ya yang tetap saja sedikit jumlahnya.
Para aktivis dakwah harusnya menyadari bahwa orang Indonesia itu karakternya santai, humoris dan malas mikir yang berat-berat. Prinsipnya, ojo dipikir ndak marai mumet.
Jadi kalau ceramah umum jangan serius serius amat.
Pengajian itu, bagi masyarakat tidak hanya tuntutan tapi juga harus jadi tontonan. Biar pulang ngaji tetap happy.
Coba para aktivis mulai berpikir, bagaimana cara orang yang ikut pengajian itu bisa seperti kata Koesplus: Hati senang walaupun tak punya uang…
Wallahua’lam bi shawab. []
