Esai

Kurikulum Merdeka Belajar, Untuk Apa?

Oleh Doddi Ahmad Fauji

KURIKULUM Pendidikan di muka bumi, pernah disusun oleh Raja Hammurabi dari Babilonia dalam 282 pasal, yang bisa dikatakan merupakan penjabaran dari The Ten Commanders atau 10 Perintah Tuhan kepada Musa. Disebut kurikulum pendidikan, para akademisi akan menyebutnya hukum, karena 282 pasal tersebut, menghendaki lahirnya manusia yang beradab, jujur nan kreatif, hingga berguna bagi dirinya dan orang lain, dan tidak pula merugikan yang lain. Kehendak tersebut, bisa dilacak pada seluruh kurikulum pendidikan di Indonesia, sejak 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, 2013 (kurtilas), 2016 (tak jadi digunakan), hingga kurikulum Merdeka Belajar mulai tahun ajaran 2022/2023.

Insan jujur nan kreatif, niscaya ditemukan dalam seluruh kurikulum pendidikan yang pernah diberlakukan, yang ternyata selaras dan sebangun dengan dua pasal dari 282 Codec Hammurabi, yang berbunyi seperti ini:

1. Seorang yang gagal memperbaiki saluran airnya akan diminta untuk membayar kerugian tetangga yang ladangnya kebanjiran.

2. Seorang dukun yang pasiennya meninggal ketika sedang dioperasi dapat kehilangan tangannya (dipotong).

Bahkan, pada zaman Hammurabi, Raja ke-6 dari dinasti Babilonia Klasik, manusia sudah dituntut untuk kreatif dan tidak merugikan yang lain. Maka kini, jika ditemukan indikasi seorang akademisi tertinggi, yaitu doktor (Dr.) telah menjadi plagiator, maka ia tak bisa disebut kreatif. Sebab ber-plagiat itu, telah mencuri hak kekayaan intelektual seseorang, dan ia meraih keuntungn secara egoistik dan licik. Barangkali benar doktor itu pinter, namun dalam praktik kehidupan, ia ‘pinter keblinger’ dan gemar minterin orang lain. Juga maka kini, bila ada dokter (dr) lulusan fakultas kedokteran, namun dalam praktiknya ia melakukan mala, maka akan dintutut secara qisos: hutang gigi dibayar gigi, hutang garam dibayar bukan dengan gula.

Kurikulum itu, hakikatnya adalah arahan teknis untuk dijabarkan, semacam juknis tapi isinya ribet untuk bahkan untuk dipahami, hingga perlu mengadakan kursus kurikulum, atau workshop implementasi dengan dana yang besar, tiada lain sangkan pendidik dan peserta didik, dapat mempelajari hal-hal penting di masa kini, yang dicetak agar ‘parigel’, yang dapat ‘ngigelan’ jaman dengan tata dan cara yang beradab, yang dibenarkan oleh tiga ranah hukum, yaitu hukum akal sehat (common sense), hukum masyarakat (konstitusi dan konvensi), dan hukum alam atau dapat disebut dengan istilah sunnatullah, hukum sababiyah, hukum kausalitas, hukum sebab-akibat: barangsiapa nanam biji tomat, jangan berharp panen anggur.

Sudah benar yèn kurikulum atau juknis yang ribet itu, direvisi dari waktu ke waktu, disebabkan peradaban makin berkembang pesat, dan siapapun akan tertinggal di belakang jika tak mampu malah tak mau ikut berubah, yakni berdiam di zona nyaman. Maka dari itu, yang mendesak itu sebenarnya melakukan reformasi dalam tubuh birokrasi pendidikan. Dosa besar dalam sistem pemerintahan kita, terletak pada pergeseran makna Birokrasi menjadi BROKERISASI alias calo.

Kenaikan pangkat/golongan guru ASN, pengangkatan Kepsek di beberapa daerah, malah penerimaan CPNS, masih dijalankan dengan mental upeti. Ketua Asosiasi Guru Bahasa dan Sastra Indonesia (AGBSI) pernah bekata ke saya di ruangannya, tidak mau jadi Kepsek, karena harus siap sekian fulus sebagai uang ritual-nya. Saya masih ingat ucapan Wakasek SMAN 5 Bandung itu, disampaikan dengan senymnya yang khas. Bahkan seorang guru dari SMAN 1 Ponorogo mengatakan melalui telepon, suap-menyuap dalam mutasi seorang guru di kabupatennya, bisa menghabiskan uang yang jumlahnya fantastis. Ini adalah rahasia umum, yang sepertinya tabu diungkap. Tapi jika dosa warisan kolonial itu tak dibereskan, maka berganti kurikulum secanggih apapun, jika mental tak berubah, akan makin banyak doktor bodong dan dokter yang mirip dukun.

Lihat bagaimana dampak buruk dari birokarasi yang bergeser makna menjadi calo itu. Perubahan dari SMA ke SMU misalnya, tampak simpel, pun ketika mengembalikannya menjadi SMA.

Misalkan, 1 siswa SMA punya dua baju seragam, ia harus mengganti bet di baju bagian pangkal lengan atas. Berapa harga bet? Murah memang, katakanlah Rp.1000 waktu itu. Tapi hitung berapa juta siswa SMA se-Indonesia, dikali Rp 1.000, dikali baju yang dimilikinya. Katakanlah siswa SMA di Ind ada 5juta. Berarti 1.000 X 2 baju X 5juta, banyak sekali uang dihamburkan. Bila dikonversi ke mata uang sekarang, jumlahnya akan besar.

Nah, kasihan itu novel berjudul Gita Cinta dari SMA, harus ganti jadi Gita Cinta dari SMU.

Lalu dibalik lagi, SMU ke SMA, itu novel harus ganti cover lagi.

Nah, bet, stempel, plang sekolah, dan atribut lainnya, harus pula berganti, berapa triliun dihabiskan hanya untuk iseng seperti itu?

Berapa dana yang dihabiskan untuk sosialisasi Kurtilas (Kurikulum 2013)? Sekian guru diangkat jadi instruktur tingkat kabupaten, kota, provinsi, hingga nasional. Para guru didatangkan, diinapkan di hotel, diberi wejangan tentang Kurtilas, lalu kemudian, belum tuntas kurtilas terpahami, uang sosialisasi yang sulit dihitung kejujurannya itu, menjadi mubah, mubazir, eh tapi enak ya yang diangkat jadi instruktur, bisa jalan-jalan, nginap di hotel, dapat honor, dan dapat kesempatan pencitraan di sosmed utamanya FB, bahwa seakan dengan didapuk menjadi instruktur, telah menjadi yang terbaik dari para guru. Begitu ia menulis puisi, dan meminta saya mengomentarinya, dalam hati saya berkata: Apa ia tak pernah membaca puisi Amir Hamzah atau Chairil Anwar? Kenapa harus membukukan puisi, jika karyanya jauh tertinggal dari pencapaian estetika Amir Hamzah? Apa karena telah menjadi instruktur nasional kurtilas, lalu ia menerbitkan buku puisi supaya tampak keren?

Mau merdeka belajar, mau belajar merdeka, kurikulum ini akan menemui jalan buntu, dan hanya menghabiskan anggaran, bila pasca-pemilihan Presiden 2024, yang terpilih misalnya dari garis sosialis kanan, dan Mendikbud-nya dari kalangan ‘Enggih Pak Dhe…’ Amblas itu kurikulum Merdeka Belajar, atau Belajar Merdeka, dan segera berganti dengan proyek penyusunan kurikulum dengan anggaran baru lagi. []

————
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan cum wartawan senior

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top