Tentang ‘Keluarga Kudus’
Oleh Budi Hatees
GOSIP murahan tentang hipokritisme adalah tema yang layak bagi Kompas untuk sebuah cerpen dan cerpen itu dinilai layak mendapat predikat sebagai Cerpen Pilihan Kompas 2022 seperti Keluarga Kudus karya Sunlie Thomas Alexander .
Cerpen adalah karya fiksi. Di negeri ini, cerpen disiarkan di koran, sebuah medium yang semestinya berisi karya jurnalistik (yang tentu saja bukan fiksi). Para pengelola institusi pers menyediakan ruang untuk menyiarkan cerpen. Tapi, orang tak memberi nilai lebih terhadap cerpen yang disiarkan koran, tak membicarakan cerpen sebagai persoalan teks sastra. Orang justru akan memberi puja-puji terhadap koran yang menyediakan ruang untuk menyiarkan cerpen dengan bahasa yang superlatif dan subyektif.
Orang membicarakan cerpen meskipun segala pembicaraan itu lebih besar porsinya tentang koran sebagai medium cerpen. Segala hal terkait koran itu kemudian dilekatkan dan menjadi indikator dari kualitas cerpen.
Tidak heran jika seorang yang memiliki pengamatan hebat terhadap sastra di negeri ini seperti Nirwan Dewanto pernah menyimpulkan bahwa cerpen yang baik di negeri ini adalah cerpen yang diterbitkan koran.
“Harus kita akui,” tulis Nirwan Dewanto dalam pengantar buku Pelajaran Mengarang, Cerpen Pilihan Kompas 1993, “cerpen-cerpen terbaik di Indonesia selama lima tahun terakhir muncul di Kompas dan Matra, bukan di Horison.”
Penilaian itu, kita tahu, karena Nirwan Dewanto gagal jadi bagian dari majalah Horison. Pasca pembelian saham Horison oleh majalah Tempo, yang kemudian dibatalkan lantaran satu dan lain hal, majalah Horison dikesankan sebagai media sastra yang gagal menjalankan misinya.
Nirwan Dewanto menjadi juru bicara yang berhasrat besar meruntuhkan majalah Horison, meskipun sejarah sastra di negeri ini mencatat lebih banyak cerpen yang disiarkan di majalah Horison dibandingkan di Kompas atau Matra.
Tapi, sesuai atau tidak pernyataan Nirwan Dewanto dengan realitas, bukan hal yang penting dipersoalkan karena upayanya menaikkan citra koran sebagai penghasil cerpen terbaik di negeri ini adalah tujuan utama. Dengan begitu, puja-puji terjadap koran–juga terhadap pengelola koran — menjadi sesuatu yang pantas diberikan dan topi layak diangkat sebagai tanda hormat.
Orang-orang pun memberi standar nilai terhadap cerpen karena disiarkan koran. Seperti halnya Nirwan Dewanto, banyak yang sepakat bahwa cerpen terbaik ada di Kompas karena majalah Matra telah mati. Penilaian “terbaik” itu tak perlu diterangjelaskan karena nama Kompas sendiri sudah jaminan bahwa segala sesuatu yang disiarkannya pasti berkualitas.
Benarkah simpul seperti itu?
Tidak. Tapi di negeri ini, siapa saja yang menulis cerpen dan karyanya sudah pernah disiarkan di Kompas, maka penulis itu akan dinilai hebat. “Luar biasa, kau mampu menembus Kompas,” begitu pujian diberikan.
Semua penulis akhirnya berlomba-lomba menjadi penulis Kompas atau bagian dari orang yang menulis untuk Kompas.
Suatu hari di Lampung, seorang dosen di Universitas Lampung mengatakan kepadaku bahwa dia sudah ratusan kali mengirim tulisan ke Kompas dan tidak pernah disiarkan, dan dia merasa dirinya gagal sebagai penulis. Padahal, tulisannya rutin muncul di Lampung Post, tetapi dia memganggap bisa menulis di Lampung Post bukan sebuah prestasi. Di hari lain, seorang penyair di Lampung merasa dirinya tak layak lagi mengirimkan puisinya ke Lampung Post karena Kompas dan Koran Tempo telah menyiarkan puisi-puisinya.
Beberapa waktu lalu, ada orang yang mengagumi cerpen Kompas karena redakturnya seorang penulis cerpen yang terkenal. Tapi, ketika ditanya apa yang menarik dari cerpen yang ditulis redaktur, dia malah mengaku belum pernah membaca cerpen yang ditulis si redaktur itu.
Kita tidak saja tak punya standar nilai yang baku tentang cerpen yang baik, tetapi juga kita tak punya alat penilai yang baku. Kita memakai variabel “terbaik” tapi tak pernah memikirkan indikatornya. Akibatnya, kita menciptakan indikator baru seperti “banyak pembacanya”, “besar honornya”, “kuat gaung popularitasnya”. Indikator seperti itu tak ada kaitannya dengan cerpen sebagai genre sastra.
Cerpen Keluarga Kudus yang ditetapkan sebagai Cerpen pilihan Kompas 2022, tak perlu dipersoalkan apakah juri mampu mempertanggungjawabkan penilaiannya atau tidak, atau apakah pertanggungjawabannya relevan dengan persoalan sastra atau tidak. Pasalnya, pemilihan cerpen Keluarga Kudus itu sebagai keniscayaan tradisi yang dibuat Kompas dan harus dilestarikan.
Tradisi Cerpen Pilihan Kompas adalah strategi marketing bagi anak perusahaan yang bergerak di bidang industri buku. Ketika buku ini dilempar ke publik, mau tak mau harus dibangun citranya agar bisa laris di pasaran. Tanpa strategi marketing, buku itu tak akan laku. []
—————
Budi Hatees, sastrawan