Human

Laki-laki antara Ibu dan Istrinya

Oleh Gufron Aziz Fuadi

MUNGKIN kita tidak asing dengan tanaman hias, Sanseviera atau yang lebih dikenal dengan sebutan tanaman lidah mertua. Mengapa disebut lidah mertua, konon karena bentuknya yang tajam dan runcing seperti pedang atau seperti lidahnya mertua.

Meskipun dari kecil saya sudah sering melihat bunga ini di tempat tetangga, tetapi nama lidah mertua baru saya ketahui setelah Anies Baswedan menjadikannya tanaman untuk menetralisir polusi udara Jakarta.

Saya membayangkan, mungkin orang yang pertama kali memberi nama tersebut memiliki hubungan yang tidak akur dengan mertuanya. Mungkin dalam pandangannya, mertuanya cerewet atau sebangsanya. Dan, sangat boleh jadi pemberi nama bunga ini bukan muslim atau tidak memahami ajaran Islam, mengingat nama lidah mertua diambil dari terjemahan bebas dari nama yang populer di Barat, mother in law tongue.

Dalam Islam, kedudukan seorang ibu bagi anak laki- laki sangat tinggi. Sebab, ibu adalah pemilik anak laki lakinya sampai dia meninggal. Surga di telapak kaki ibu, itu ungkapan untuk anak laki-laki.

Sedang untuk anak perempuan sampai dia menikah, surga ada di tangan (ridha) suaminya.

Suatu ketika Aisyah Ra bertanya kepada Rasulullah saw, siapakah yang berhak terhadap seorang wanita?” Rasulullah menjawab, “Suaminya” (apabila sudah menikah). Aisyah Ra bertanya lagi, ”Siapakah yang berhak terhadap seorang laki-laki?” Rasulullah menjawab, “Ibunya” (HR. Muslim).

Dalam hadits lain dikisahkan: Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sambil berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak untuk aku berbakti kepadanya?”

Beliau menjawab, “Ibumu.”

Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”

Beliau menjawab: “Ibumu.”

Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?”

Beliau menjawab: “Ibumu.”

Dia bertanya lagi, “Kemudian siapa?”

Beliau menjawab: “Ayahmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Tirmidzi, Ahmad).

Hadits ini menjelaskan bahwa kedudukan ibu dihadapan anak laki lakinya memiliki tiga derajat lebih tinggi dibandingkan ayah. Kelebihan ini melebihi posisi laki laki yang lebih tinggi satu derajat dari posisi perempuan.

“…Dan bagi para istri mempunyai hak kepada suaminya itu sama, dengan cara yang ma’ruf. Sedangkan bagi suami suami atau laki laki itu mempunyai kelebihan satu derajat…”. (Q.S. Al Baqarah: 228)

Tidak sedikit para suami yang bingung menentukan prioritas mana yang harus lebih didahulukan antara kedua orangtuanya, terutama ibu, atau istri dan anak anaknya.

Menyimak ayat dan hadits diatas, selayaknya seorang suami lebih memprioritaskan ibunya. Karenanya suami harus mendidik agar istrinya hormat, menyayangi, dan berlaku baik kepada mertuanya.

Berhubungan baik dengan mertua (orang tua suami) adalah bagian penting dari bakti istri kepada suami. Seorang istri tidak boleh membiarkan suaminya durhaka kepada orang tuanya, karena kurang berbakti kepada orang tua. Apalagi menjadi saingan bagi orang tua suami.

Istri yang baik akan mengarahkan suami agar memprioritaskan atau seimbang dalam tanggung jawab kepada kedua orangtuanya dan keluarganya.

Dalam suatu hadits dari Abu Hurairah ra, Nabi Saw bersabda: “Celakalah hidungnya, celakalah hidungnya, celakalah hidungnya! Yaitu anak yang mendapati ibu bapaknya dalam umur tua, salah seorang atau kedua duanya, tetapi dia tidak bisa berbakti kepada ibu bapaknya sehingga ia tidak bisa masuk surga”. (HR. Muslim)

Hadits ini untuk laki laki, karena perempuan kewajiban berbaktinya kepada suaminya.

Ada suatu kisah tentang nabi Ibrahim dengan menantunya,  istri nabi Ismail.

Suatu ketika Ibrahim pergi dari Kan’an (Palestina) ke Mekah untuk mengunjungi Ismail anaknya.

Sesampainya di Mekah beliau tidak bertemu dengan Ismail yang sedang berburu mencari makanan dan hanya bertemu dengan Al Juda, menantunya yang menyambutnya dengan tidak ramah.

Setelah menanyakan keberadaan Ismail, Nabi Ibrahim bertanya: “Adakah sesuatu yang bisa kamu hidangkan untuk tamu?”

“Tidak ada, dan tidak ada seorang pun di sini,” jawab menantunya tersebut.

Nabi Ibrahim lalu pulang dan dia menitip salam untuk anaknya Ismail sambil berpesan agar Ismail mengganti palang pintunya. (Ganti atau ceraikan istrinya).

Tak lama kemudian Nabi Ismail pulang. Dia mendengar dari tetangga tentang perlakuan istrinya kepada ayahnya yang tak mau memberikan hidangan. Ismail pun bertanya kepada istrinya perihal kedatangan dan pesan apa yang disampaikan Nabi Ibrahim.

Tidak lama kemudian Ismail menceraikan istrinya tersebut. Dia kemudian menikah lagi dengan gadis lain bernama Samah binti Muhalhil.

Ternyata Samah lebih baik dari pada Al Juda. Dia begitu menghormati bapak mertuanya kala datang ke rumah untuk menemui Ismail. Menyambutnya dan memberikan hidangan susu dan daging yang kemudian didoakan dengan keberkahan oleh Nabi Ibrahim.

Mungkin seandainya, Samah menghidangkan juga buah buahan, Mekah tidak hanya berlimpah daging dan susu tetapi juga tumbuh subur buah-buahan.

Dan terhadap Samah, Nabi Ibrahim tidak meminta nabi Ismail mengganti palang pintunya.

Wallahua’lam bi shawab. []

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top