Persiapan Menyambut Ramadan
Oleh Gufron Aziz Fuadi
PUASA sering disebut sebagai perang melawan hawa nafsu. Ada riwayat yang mengatakan, kita pulang dari perang kecil (perang Badar) menuju ke perang besar (puasa, perang melawan hawa nafsu).
Puasa sering disebut sebagai perang melawan hawa nafsu yang bahkan lebih besar daripada perang bersenjata.
Bila perang bersenjata yang katanya lebih kecil saja membutuhkan persiapan dan latihan maka puasa yang merupakan perang besar pasti lebih membutuhkan persiapan dan latihan. Karena perang tanpa persiapan dan latihan hanya akan setor kekalahan saja.
Di Indonesia, khususnya di kalangan masyarakat Jawa, ada tradisi persiapan menyambut datangnya bulan Puasa/Ramadan yang disebut Ruwahan pada bulan Ruwah atau Syaban.
Bulan Ruwah (dari kata “arwah”) mempunyai makna sebagai momentum bagi semua yang masih hidup untuk mengingat jasa dan budi baik para leluhur, baik leluhur darah maupun para tokoh yang banyak berjasa.
Dengan demikian, bagi masyarakat Jawa, bulan Ruwah adalah bulan yang baik untuk berziarah, baik kepada lekuhur maupun keluarga yang telah meninggal.
Ziarah ini juga bisa disebut “nyadran” (sesuai dengan nama lain bulan ini, Sadran), yang berasal dari istilah Jawa Kuna shraddha, yang juga merupakan nama upacara Hindu-Buddha untuk orang mati.
Tradisi nyadran sudah ada pada masa Hindu-Budha sebelum agama Islam berkembang di Indonesia (Jawa). Konon di Kerajaan Majapahit tahun 1284, sudah ada pelaksanaan seperti tradisi nyadran, yaitu tradisi craddha. Tradisi untuk menghormati leluhur yang sudah meninggal dengan persembahan sesaji dan ritual persembahan untuk penghormatan terhadap leluhur. Mungkin mirip dengan tradisi Cheng Beng pada masyarakat China.
Jika tradisi nyadran pada masa Hindu-Budha menggunakan puja-puji dan sesaji sebagai kelengkapan ritualnya, maka Wali Sanga mengakulturasikan tradisi nyadran ini dengan doa-doa dari Al-Quran dan hadits dan membuang beberapa kelengkapan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Jadi casing-nya masih yang lama, tetapi isi diubah dan disesuaikan menjadi ziarah kubur untuk mendoakan leluhur dan dzikrul maut serta memahami kembali sangkan paraning dumadi atau mengingat kembali tentang asal usulnya.
Tradisi ini dari mulai ziarah kubur, kenduri/makan-makan, mandi besar di sungai dan lain lain paling tidak mengisyaratkan perlunya persiapan menyambut datangnya bulan Puasa Ramadan.
Bila Puasa Ramadan diibaratkan salat wajib yang memerlukan salat sunnah qobliyah dan ba’diyah, maka puasa Ramadan juga memerlukan bulan Sya’ban untuk latihan pemanasan dengan memperbanyak puasa sunnah dan bulan Syawal sebagai gerakan pendinginan dengan melakukan puasa syawal. Sama halnya ketika kita ingin olahraga berat, ada pemanasan di awal dan pendinginan di akhirnya.
Bagaimana mana Rasulullah menyambut akan datangnya bulan Puasa Ramadan?
Pertama, dengan banyak berdoa agar diberi keberkahan dibulan Rajab dan Sya’ban dan bisa berjumpa dengan bulan Ramadan dengan kondisi yang siap, sehat, dan kuat.
Kedua, menampakkan rasa gembira sebagaimana diceritakan oleh Ibnu Umar, dia berkata: “Bila Rasul melihat hilal, beliau berkata: ‘Allah Maha Besar. Ya Allah, jadikanlah hilal ini bagi kami membawa keamanan, keimanan, keselamatan, keislaman, dan taufik kepada yang dicinta Rabb kami dan diridhai-Nya. Rabb kami dan Rabb mu (hilal) adalah Allah’.” (HR Addaromi).
Ketiga, banyak berpuasa sunah dibulan Sya’ban sehingga kata Sayidatina Aisyah kalau sudah masuk bulan Sya’ban, Rasulullah berpuasa hampir sebulan penuh, hanya meninggalkan beberapa hari saja…
Keempat, lebih memperbanyak qiyamul lail, tilawah, zikir, sedekah, dan bertaubat. Padahal, kita tahu bahwa nabi adalah orang yang ma’shum atau terbebas dari dosa dan kesalahan. Namun, beliau mengatakan kepada Aisyah istrinya, ketika bertanya tentang hal tersebut dengan sabdanya: “… Tidak bolehkah aku menjadi Abdan syakura, menjadi hamba yang banyak bersyukur…?
Guru kami, Ustaz Hilmi pada tahun 1994/1995 mengingatkan kepada kami saat menyambut Ramadhan, untuk mempersiapkan beberapa hal agar bisa mengoptimalkan bulan Ramadan di antaranya:
Pertama, optimalisasi ruhiyah dan maknawiyah dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah.
Kedua, optimalisasi soliditas keluarga, dengan meningkatkan kualitas pertemuan terutama saat berbuka puasa dan makan sahur.
Ketiga, optimalisasi solidaritas sosial dengan meningkatkan silaturahim, sedekah, dan menghubungkan para dermawan dengan masyarakat yang membutuhkan santunan.
Keempat, optimalisasi ekonomi dan maisyah dengan cara ikut berusaha memanfaatkan momentun tingginya tingkat konsumsi masyarakat Indonesia di bulan Ramadhan. Sehingga geliat ekonomi bisa berputar juga dari muslim untuk muslim.
Wallahul muwaffik ila aqwamith tharieq. []