Tak Perlulah Menghakimi!

KINI, hampir tidak ada penyekat yang membatasi ilmu pengetahuah seseorang. Pendidikan formal yang tinggi tidak menjamin seseorang memiliki wawasan luas dan menguasai ilmu pengetahuan secara baik. Sebaliknya, seseorang yang hanya berpendidikan dasar, tidak serta-merta dia hanya berwawasan sempit dan berilmu pengetahuan yang terbatas.
Sudah banyak fakta membuktikan bahwa kekerdilan wawasan dan pemikiran seseorang tidak tergantung pada tingkat pendidikannya. Ada banyak yang memiliki pendidikan yang cukup tinggi, tetapi tidak lebih hanya jadi penikmat kemajuan perkembangan zaman. Begitu juga dengan yang memiliki strata pendidikan rendah banyak juga yang menjadi pioner perubahan kemajuan zaman.
Bagi kita yang baru mengenal atau menambah wawasan. Jangan dulu kita merasa apalagi mengaku bahwa pengetahuan kita lebih tinggi dari yang lain. Belum tentu, itu hanya pandangan kita. Sebab, kita baru menemukan sesuatu yang baru menurut kita. Padahal orang lain lebih dulu mengenalnya. Bila kita paksa mereka mengakui bahwa pengetahuan yang baru kita kenal itu merupakan sesuatu yang lain dari yang lain dan karena itu kita merasa memiliki pengetahuan yang lebih tinggi dari mereka, maka kita akan terjebak pada rasa egois dan angkuh. Dan, rasa sombong itu secara diam-diam menyelinap pada diri kita tanpa kita sadari.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering terjebak dalam kondisi seperti ini. Apalagi jika permasalahan tentang agama, tentang syariat dan hakikat. Tidak sedikit di tengah masyarakat kita saling menghukum atau men-just seseorang dengan kata kafir, meskipun dalam satu akidah. Apalagi jika kita berlainan keyakinan dan kepercayaan, kata-kata kasar atau ungkapan yang justru dilarang oleh Tuhan akan terucap dari mulut atau bibir dari seorang yang mengaku beriman dengan-Nya. Ini memang sangat ironi terjadi di tengah masyarakat kita yang beragama dan menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan.
Di dalam Islam, tingkat pemahaman dan keimanan umat tentu berbeda-beda. Tergantung pada kecerdasan dan pemahaman yang mampu ia terima. Sekelas orang awam tentu berbeda dengan para wali Allah, demikian juga halnya dengan Nabi.
Hanya sebagai ilustrasi, anggap saja ilmu seorang Nabi yang ia terima dari tuhan sebanyak sembilan ribu kuantitasnya. Dari sembilan ribu itu, sebanyak tiga ribu harus ia ajarkan kepada umatnya. Tiga ribu lagi ia simpan untuk pengetahuannya sendiri (pakai sendiri). Sedangkan tiga ribu lagi untuk para cerdik pandai yang dibawa semenjak ia lahir atau pintar bawaan. Termasuk juga para wali Allah.
Dari ilustrasi ini dapat kita ambil beberapa poin untuk kita sebagai orang awam. Sebenarnya ilmu pengetahuan kita belumlah memadai dalam kategori itu. Kita masih memiliki kesempatan yang luas untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Kita masih bisa menuntutnya kapan saja dan dimana saja. Terlebih dari ilmu orang-orang jenius atau wali Allah, bila saja ada yang mau mengajari atau mengajarkan ilmunya kepada kita. Kita harus senang hati dan antusias menerimanya. Dalam islam sendiri menuntut ilmu itu adalah satu kewajiban dari mulai kita dilahirkan hingga masuk liang kubur.
Kita bisa belajar dengan guru-guru kita. Bisa juga belajar dengan alam atau belajar dari pengalaman orang. Di zaman era digital ini banyak sekali tempat-tempat yang bisa kita kunjungi. Tidak perlu merogoh kocek yang banyak, hanya beberapa rupiah saja kita sudah bisa mendapatkan berbagai ilmu yang kita inginkan. Coba saja kita buka google atau media lainnya. Akan banyak situs atau website yang tersajikan yang dapat kita kunjungi. Kita tinggal pilih sajian itu, kita cerna dan lalu kita pilih mana yang lebih sesuai dan dapat diterima oleh akal sehat kita. Jadi jangan semuanya diterima dengan begitu saja, perlu pengkajian lebih lanjut.
Karena itu mari kita berlomba-lomba menambah pengetahuan kita tentang hidup ini. Tidak perlu saling menghakimi antara satu dengan yang lain. Perbedaan pendapat atau pandangan itu lazim saja. Selagi tujuannya lurus dan dapat diterima oleh akal sehat tentu saja akan direspon dengan baik oleh masyarakat. Sebab, perbedaan diciptakan untuk membedakan antara satu dengan yang lain. Dengan tujuan agar kita saling mengenal, bercermin dan berlomba untuk semakin baik.
Tabik. []
—————-
Semacca Andanant, sastrawan

Cengir 9373
Agustus 12, 2023 at 1:49 pm
Good job… Saya suka ini,, lanjutkan bang.. 👍