Muhammad Yusuf Rizal (2): Sang Pejuang Altruis

Oleh M Saddam SSD Cahyo
PATUT disyukuri, elemen pergerakan khususnya mahasiswa di Lampung tampak begitu setia menaruh perhatian pada Tragedi UBL Berdarah 1999. Selama 22 tahun berlalu, rasanya tak sekalipun terlewatkan digelar berbagai rangkaian kegiatan untuk memperingatinya, baik berupa demonstrasi, forum diskusi hingga pementasan seni. Rasanya final bagi kita semua, Ijal dan Atul adalah Pahlawan Reformasi yang membanggakan dari Tanah Lada ini.
Namun, seperti ada yang terlewatkan dalam narasi sejarah yang dominan dituturkan.Aktivis gerakan mahasiswa, jurnalis, maupun para tokoh penyintas cenderung hanya membicarakan seputar latar peristiwa penolakan RUU PKB, kronologis tragedi, buntunya penegakan keadilan, peran-peran heroisme pribadi, serta detail kenangan tentang Atul yang memang mencerminkan idealisme jurnalis. Dibandingkan Atul yang mungkin bisa disebut “korban salah sasaran”, sosok Ijal yang demonstran betulan saat itu justru “agak terpinggirkan” dan malah dipenuhi dengan kabar yang kabur.
Harumnya nama Atul semisal dapat ditengok dari apresiasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandar Lampung yang sejak tahun 2008 rutin menggelar Saidatul Fitriah Award bagi karya jurnalistik yang memiliki dampak positif bagi demokrasi. Juwendra Asdiansyah misalnya jurnalis kawakan yang di masa itu menjabat sebagai Pemimpin Umum UKM Pers Mahasiswa Teknokra Unila rutin bicara dan telah mencatatkan ingatannya dalam buku berjudul Pertengkaran Orang Baik yang terbit tahun 2021. Lantas, siapa sebenarnya M Yusuf Rizal? Bagaimana sosoknya baik dalam perjuangan, perkuliahan, bahkan percintaan?
Penelusuran informasi terus menggelinding bak bola salju untuk menjumpai kontak demi kontak pribadi yang mengenal baik sosok mendiang Ijal. Melalui forum daring saya berhasil berbincang dengan rekan seperjuangannya seperti Surya Adhi (Ilmu Pemerintahan ’97), Taufik Hidayat/Galang (Ilmi Pemerintahan ’97), Laila Ahmad/Uthet (Humas ’99), Suci Perlindungan (Ilmu Tanah ’97), Berga Samuel Saragih (Sosiologi ’97), Bella Suzantina (Komunikasi ’97). Kedekatan mereka dengan Ijal sebagai inner circle pergaulan kesehariannya dalam beberapa tahun menyandang status aktivis mahasiswa hingga ajal menjemput tidak bisa diragukan. Terlebih Berga sahabat karibnya sejak Penataran P4 di awal perkuliahan.
Ijal sama sekali bukan aktivis karbitan, apalagi sekadar ikut-ikutan. Ia merenangi dunia kampus persis di masa puncak krisis politik nasional, dan sebagai mahasiswa di lingkungan FISIP Unila, tentu sejak awal ia sudah melebur dalam kultur perjuangan. Bermula dari seringnya ikut diskusi dengan para senior di fakultas, ia bersama beberapa rekan seangkatan seperti Andrianto, Muzzamil, Galang, dan Aprica Winata membentuk sebuah Kelompok Diskusi bernama CIKAL, akronim dari Cermin Ilmu dan Kreativitas Intelektual.
Ijal tercatat sebagai anggota aktif UKM-F Cakrawala yang menjadi saluran hobi pecinta alamnya sejak remaja. Ia tak sekedar gemar mendaki demi menghirup segarnya udara murni pegunungan, tetapi juga mengidolakan mendiang Soe Hok Gie berikut pemikirannya yang kerap ia kutip dan tulis di sela buku catatan harian. Hal ini membuatnya tumbuh menjadi sosok aktivis yang romantik dan kontemplatif serta menggandrungi sastra.
Pada suatu aksi mogok makanyang diikutinya, 3 Oktober 1997, Ijal berteriak keras di dalam hati dan menuliskannya sebagai puisi “Diam adalah Aksi!” di secarik kertas. Ya, dari keterangan rekan-rekannya, Ijal memang bukan tipikal orator yang haus panggung. Tapi soal demonstrasi, ia nyaris tak pernah absen. Konon, ia punya posisi favorit di barisan terdepan sebelah kanan sambil memegang bendera atau juga spanduk tuntutan. Ini bukan tanpa alasan, dengan sosok tubuhnya yang tinggi besar ia jadi lebih mudah membuka jalan bagi kawan-kawannya jika terjadi bentrokan. Sebuah cerminan sikap atruistik yang dimilikinya.
Sidang Paripurna MPR RI tanggal 11 Maret 1998 yang resmi melantik Soeharto sebagai Presiden untuk ketujuh kalinya, didampingi B.J. Habibie dalam masa jabatan 1998-2003 menuai protes keras di seluruh penjuru negeri. Tak luput, mahasiswa Lampung berdemonstrasi nyaris setiap hari, hingga meletuslah Tragedi Gedungmeneng Berdarah pada Kamis, 19 Maret 1998 di Jalur Dua Unila Jl. Soemantri Brojonegoro. Meski tak ada korban jiwa, puluhan mahasiswa terluka akibat bentrokan hebat dengan aparat itu. Ijal tak ketinggalan turut serta menyala sebagai titik api dalam momentum aksi besar ini. Hingga setelahnya, sebuah sajak mengharukan karya Iswadi Pratama untuk mengenang peristiwa ini selalu terlipat rapih di dompetnya.

Usai ikut bergulung peluh merobohkan tirani Orde Baru, Ijal dan kawan-kawannya dari beragam Kelompok Diskusi yang tumbuh menjamur di masa itu menginisisi konsolidasi gerakan mahasiswa pascareformasi, khususnya di dalam kampus. Guna mengisi kevakuman Senat Mahasiswa Unila dan berangkat dari pandangan agar lembaga internal kampus bisa l hadir dengan spirit progresif-revolusioner, mereka membentuk sebuah organisasi wadah bernama Dewan Mahasiswa (Dema-Unila) yang diketuai oleh Surya Adi. Sementara Ijal bertugas di Departemen Pengembangan Organisasi (DPO).
Bersama Dema Unila, aktivisme Ijal semakin matang ditempa. Meski tidak resmi diakui Rektorat, kala itu aktivitas Dema Unila cukup populer dan tiada putusnya. Lebih banyak mereka concern pada isu-isu nasional dan kerja pengorganisiran multisektoral dengan advokasi konflik rakyat tertindas karena meyakini bahwa gerakan mahasiswa tak semestinya hanya menjadi moral force yang temporer, tetapi harus mewujud sebagai political force. Mereka menggugat kecenderungan mahasiswa yang terlanjur nyaman di atas menara gading intelektualitas dan enggan turun langsung menuntaskan beragam masalah rakyat kecil. Jargon perjuangan mereka berbunyi “Menuju Kampus Demokratis Pro-Rakyat!”, sebuah perspektif yang anti-mainstream di masanya.
Di acara-acara diskusi publik, pameran buku, dan mimbar bebas yang digelar Dema Unila, Ijal kerap tampil sebagai agitator pembakar semangat peserta. Biasanya ia akan penuh semangat mengusung kepalan tinju tangan kirinya ke atas seraya memimpin pembacaaan “Sumpah Mahasiswa Indonesia”, lagu “Darah Juang”, atau puisi Wiji Thukul “Peringatan” yang amat populer itu. Kesehariannya di kampus memang lebih banyak dihabiskan di sekretariat Dema Unila yang menempati sebuah ruang terbengkalai dan sebelumnya menjadi laboratorium persidangan Fakultas Hukum di lantai 2 samping gedung Balai Bahasa.

Tragedi UBL Berdarah sebenarnya merupakan puncak demonstrasi dari rentetan beberapa aksi massa sebelumnya di Lampung untuk ikut menolak pengesahan RUU PKB yang digagas oleh Dema Unila beserta unsur lainnya yang tergabung dalam KMPPRL (Komite Mahasiswa Pemuda Pelajar dan Rakyat Lampung). Tanggal 26 September 1999, mereka berunjuk rasa di depan markas Korem Gatam dan mendapatkan sambutan represi. Idhan Januwardhana aktivis PUSSSBik yang tergabung dalam aliansi menjadi sasaran pukul tentara. Besoknya tanggal 27 September 1999 di depan markas Koramil Kedaton, 11 orang aktivis Dema Unila termasuk Ijal menggelar aksi diam sebagai bentuk protes.
Tanggal 28 September 1999, Ijal datang terlambat. Ia tidak mengikuti dari titik awal longmarch di Unila. Ia baru muncul bergabung dalam barisan demonstran setelah tiba di dekat kampus UBL. Seperti biasanya, Ijal pun langsung mengambil salah satu bendera Dema-Unila dan maju ke barisan depan sebelah kanan. Ia larut dalam riak gelombang protes hari itu, beberapa rekannya berhasil merubuhkan papan nama Koramil dan dengan euforia Ijal ikut menginjak-injak. Sampai akhirnya desingan peluru tajam tentara dilepas tanpa pertimbangan. Ratusan massa aksi itu terkejut dan kocar-kacir berhamburan mencari selamat. Tetapi takdir untuknya sudah digariskan, Tuhan memilihkan waktu terbaik baginya menjadi syuhada.

Ijal gugur sebagai pahlawan bagi banyak orang. Persemayamannya dilakukan dengan penuh khidmat dari ribuan manusia, baik yang mengenalnya dengan baik maupun yang tersentuh karena merasa haknya diperjuangkan. Jenazah Ijal yang semula terbujur kaku di RSUDAM esok harinya disalatkan di Masjid Al Wasi’i Unila. Ustaz K.H. Abdurrahman Hilabi (alm) bahkan turut mengusung keranda jenazahnya. Sungguh penghormatan yang mengharukan bagi kawan seperjuangan terlebih keluarga yang ditinggalkan. Jasadnya dengan tenang dikebumikan di TPU yang tak jauh dari rumah orang tuanya, di kawasan Bayur, pinggiran Kota Bandar Lampung. []
—————-
* Artikel ini ditulis untuk buku Romantika di Kampus Oranye: Dinamika FISIP Universitas Lampung dari Kisah Alumni (proses terbit).
M Saddam SSD Cahyo, alumnus Sosiologi FISIP Universitas Lampung Angkatan 2008.Saat ini bekerja sebagai Analis Kelembagaan di Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP RI). Aktif menulis kolom dan cerpen di media massa. Kumpulan artikel opininya di rentangtahun 2010-2015 telah dibukukan dengan judul Biji Yang Bertumbuh: Bunga Rampai Pemikiran Kritis Mahasiswa.
