Isbedy Stiawan ZS: Generasi Milenial Juga Rival

SASTRAWAN sudah menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia sejak sebelum merdeka. Ada banyak jenis sastra yang terkenal dari dulu hingga kini.
Nama-nama pengarang Indonesia pun selalu bermunculan berdasarkan zaman. Hal ini menandakan, sastra adalah salah satu bidang ilmu pengetahuan yang cukup diminati oleh masyarakat Indonesia.
Tentu saja, hal ini bukanlah tabu. Banyak perguruan tinggi negeri yang memiliki Program Study Ilmu Sastra dan Bahasa Indonesia. Peminat sastra tidak pernah berhenti dari zaman ke zaman. Itu terbukti, meski beberapa media yang memuat cerpen dan puisi tidak lagi memberi kolom. Namun, Event-event sastra, baik perlombaan maupun festival selalu bermunculan sepanjang tahun.
Salah satu sastrawan Indonesia yang karyanya sudah mendapat berbagai apresiasi dari berbagai event atau penghargaan ialah Isbedy Stiawan ZS. Beliau lebih dikenal sebagai penyair dan sebagai Paus Sastra Lampung.
Beberapa waktu lalu, Isbedy tak hanya mendapat penghargaan dari Lembaga Swasta di Lampung, yakni Lamban Gedung Kuning. Namun, tiga karyanya masuk nominasi 5 besar buku puisi terbaik Kemendikbud, 25 besar buku puisi terbaik Hari Puisi Indonesia dan 5 besar buku puisi terbaik Tempo tahun 2020. Lantas, bagaimana perjalanan karirnya dan rahasia apa di balik karya-karya serta kehidupannya? Berikut petikan wawancara wartawan Lampung News Muhammad Alfariezie bersama Isbedy Stiawan ZS, Senin (4/1/2021).
Ceritakan dong kekuatan utama buku puisi Tausyaih Ibu yang masuk Nominasi 25 Buku Puisi terbaik Hari Puisi Indonesia?
Dalam masa pandemi ini, kita memerlukan suatu nasehat. Saya melihat dan merasakan kalau yang paling mujarab adalah dari ibu. Bukan dari pemerintah atau siapapun.
Berdasarkan fenomena pandemi, maka saya berinisiatif untuk memberi judul buku ini Tausyiah Ibu. Meski, ada juga dalam buku puisi tersebut yang tidak bicara pandemi. Tapi, sekali lagi, kenapa judulnya Tausyiah ibu? Setiap menentukan judul, saya selektif. Dari proses penyeleksian itu, saya menilai kalau Tausyiah Ibu akan lebih menarik perhatian orang-orang.
Kalau buku yang masuk nominasi 5 kategori puisi terbaik dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, yang judulnya Kini Aku Sudah Menjadi Batu, Bagaimana?
Judul buku ini bermakna tentang situasi ketika kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Saya merasa, ketika seseorang sudah tidak bisa protes kepada negara atau penguasa berarti hampir sama seperti batu. Seperti pada kekuasaan sekarang ini, sedikit-sedikit menjerat orang dengan pasal undang-undang IT. Kalau sudah begitu, kita sebagai manusia tidak bisa apa-apa lagi untuk hidup di negara ini. Apakah judul ini sebagai ungkapan kekecewaan? Iya. Boleh juga jika diartikan sebagai kekecewaan terhadap penguasa atau fenomena saat ini.
Puisi Kini Aku Sudah Menjadi Batu, saya anggap kuat dalam kualitas karya dan memiliki nilai jual.
O iya, denger-dengar, ada cerita unik dari penetapan pemenang buku terbaik Kemendikbud itu?
Waktu itu, ke lima penyair yang masuk lima besar sepakat, kalau buku-buku yang masuk nominasi adalah para juara. Pada tahap puncak seperti itu, untuk apa lagi memikirkan ego untuk menjadi yang terbaik. Toh, lima-limanya sudah menjadi yang terbaik. Dari gagasan tersebut muncullah ide kami yang dimulai dari Iyut Fitra, yang kebetulan bukunya terpilih sebagai juara. Gagasannya adalah siapa yang menang wajib membagi hasilnya pada ke empat kawannya.
Awal nominasi itu diumumkan kami sempat diskusi untuk mengajukan agar tidak diadakan juara kepada panitia. Tapi, penyair Wayan Jengki mengingatkan kalau tidak mungkin terjadi. Karena, waktu pengumuman juara hanya menunggu jam.
Terlepas dari cerita unik itu, event dari Kemendikbud ini cukup kredibel. Jurinya Eka Budianta, Triyanto Triwikromo, dan Joko Pinurbo. Itu kan sastrawan-sastrawan kuat Indonesia yang buku-
bukunya mejeng di rak-rak toko buku Gramedia.
Lalu, kalau buku Puisi yang judulnya Belok Kiri Jalan Terur Ke Kota Tua, yang masuk 5 besar puisi terbaik Tempo, bagaimana?
Alhamdulilah juga itu rezeki akhir tahun saya. Tiga buku puisi saya telah menemukan tempatnya masing-masing. Apalagi mengingat jurinya juga tidak kalah hebat. Untuk juri di Tempo, ada Arseno Gumira Aji Darma (Seno Gumira Aji Darma), Faruk H.T dan Zen Hai.
Belok Kiri Jalan Terus Ke Kota Tua adalah salah satu puisi saya yang jadi juara pada lomba nasional. Kalau bagi saya, kekuatan utama puisi ini karena saya bermain dengan gaya yang jarang saya tulis. Saya memainkan sub judul dalam satu puisi.
Kalau untuk isi utama Buku Puisi Belok Kiri Jalan Terus Ke Kota Tua, saya banyak bicara tentang perjalanan dan istirah. Kenapa perjalanan dan istirah? Karena hidup ini seperti perjalanan yang memiliki jeda dan segala persoalan. Seperti ketika kita duduk di suatu kafe. Kalau kita menghayati, pasti kita menemukan suatu persoalan, entah itu besar atau sebaliknya.
Apakah dewan juri pernah memuji karya Anda, yang kerap dianggap fenomenal, seperti Kini Aku Sudah Menjadi Batu?
Untuk saat ini belum ada. Tapi, dulu pernah. Buku yang mendapat pujian dari Sutardji Calzoum Bachri, judulnya Di Alun-alun itu Ada Kalian, Kupu-kupu dan Pelangi. Menurutnya puisi ini memiliki kekuatan. Namun, sayang. Karena sudah menjadi juara di Festival Banjarbaru maka dianulir pada Ajang Lomba Hari Puisi Indonesia.
Bagaimana sih Anda menentukan judul untuk buku Puisi?
Saya selalu memilih judul puisi yang berkesan dan mesti memiliki imaji yang kuat sehingga mudah menarik perhatian orang banyak. Harus. Judul puisi juga mesti diperhitungkan. Judul saya anggap pintu bagi puisi. Jika diibaratkan rumah maka pintu adalah yang pertama dilihat. Begitu pun judul. Jangan meremehkan pemilihan judul.
Kalau makna dari Judul Buku Puisi Belok Kiri Jalan Terus Ke Kota Tua, bagaimana?
Saya hanya bercerita tentang kota tua yang ada di jakarta. Tapi, bisa juga tentang kota tua yang lain. Tergantung dari pembaca saja. Selain itu, saya ingin bicara, masalalu akan menjadi sesuatu yang sangat mahal untuk masa kini.
Kota tua di Jakarta utara sendiri memiliki berbagai peninggalan bersejarah dari Belanda. Ada Stasiun Jakarta Kota, ada Museum Fatahillah. Itu kan mahal pada masa kini. Menjadi objek yang diminati sehingga selalu dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai kalangan.
Tapi, apakah Anda yakin kalau puisi masih diminati pada masa kini?
Masih dan saya yakin itu. Karena, di berbagai aplikasi seperti Hello atau Lemo banyak yang mendiskusikan puisi. Saya pernah masuk aplikasi itu untuk mengisi materi tentang puisi kepada anak-anak muda. Tentu, seperti biasa. Kaum perempuan lebih dominan mengikuti pelajaran tentang puisi.
Kok Anda mau mengikuti aplikasi anak milenial. Itu untuk menunjang karier atau ada hal lain?
Yang lebih utama adalah karena saya diundang. Kemudian mereka memberi saya honor sebagai tanda terima kasih.
Bagi saya hal itu menjadi bagian kehidupan. Saya menjadikan bidang tulis menulis atau lebih khusus sastra, sebagai mata pencaharian utama maka mau tidak mau mesti menyesuaikan. Tapi, saya juga tidak berlangsung lama kok menggunakan aplikasi itu. Setelah mengisi materi, kemudian langsung saya hapus.
Kalau bicara puisi, genre apa yang paling Anda suka?
Kalau Anda memerhatikan puisi-puisi saya maka jawaban itu akan muncul sendiri. Selama ini kan saya selalu menulis puisi bergenre Aku Lirik. Kecuali, saya dapat undangan untuk menulis. Seperti puisi Essay dari Denny J.A. Baru saya menulis puisi bergenre lain.
O iya, ini perlu diinget juga. Jangan terbalik. Saya bukan penulis puisi essay. Tapi, penulis puisi Aku Lirik yang berkenan menerima tantangan dari Denny J.A saja.
Kenapa tidak menulis puisi naratif?
Banyak juga kok puisi-puisi saya yang bernarasi. Siapa bilang saya tidak pernah menulis puisi narasi. Namun, kebanyakan puisi-puisi narasi menggunakan Aku juga.
Menurut saya, menggunkan tokoh Aku, lebih impresif. Lebih terasa dan tentu sebagai penulis saya lebih menghayati.
Nah, banyak juga yang bertanya. Aku yang terdapat pada puisi-puisi Anda. Itu aku orang lain atau akunya Isbedy Stiawan ZS?
Bisa aku Isbedy. Tapi, mungkin juga orang lain. Seorang penyair mesti memiliki banyak pengalaman. Sehingga pengalaman yang entah didapat dari orang lain atau diri kita, akan menjadi inspirasi bagi khalayak. Tak perduli pahit atau manis.
Seperti judul karangan yang ditulis Ratna Ayu Budhiarti. Kebetulan saat ini sedang viral karena karangan tersebut tercipta dari pengalaman buruk di suatu negara. Tulisan itu kan menceritakan tentang penyiksaan orang-orang di zaman perang.
Nah, itu kan termasuk pengalaman buruk. Dalam suatu drama itu, Ratna membuat beberapa tokoh. Tokoh-tokoh tersebut tentu saja bukan si pengarang. Iya apa enggak?
Bagi Anda, apa itu puisi?
Puisi tercipta dari pengalaman perasaan. Tapi, jangan juga antilogika. Peran logika penting sekali dalam puisi. Terutama logika berbahasa. Ada banyak puisi-puisi yang penuh perasaan. Namun, ketika bahasanya kita telaah. Ternyata bahasanya lemah.
Apalagi ada suatu pengertian, puisi adalah seni berbahasa. Jadi, logika berbahasa sangat penting dalam puisi. Selain itu, menulis puisi mesti ditunjang oleh pengetahuan lain. Seperti ilmu sejarah, sosiologi, filsafat, sains dan lain-lain.
Kalau Anda sendiri, ada enggak rumus-rumus atau trik khusus ketika menulis puisi?
Setiap orang memiliki rumus tersendiri. Tiap saya menulis puisi saya selalu melihat suatu fenomena, baik yang ada dalam sekitar saya atau dunia luar. Seperti televisi atau media lain. Kemudian fenomena itu saya gubah sehingga puisi yang dihasilkan memiliki karakteristik sendiri.
Banyak juga yang bilang kalau puisi saya selalu menyindir dan satir. Tapi, itu persoalan lain. Mungkin, karena ada pengalaman yang sama sehingga pembaca berpendapat begitu. Tapi pokoknya, setiap puisi yang saya tulis tidak pernah lepas dari fenomena. Dan, kebanyakan penyair menulis puisi, pasti karena fenomena yang ditangkapnya.
Ada beberapa penyair yang sebelum menulis puisi lebih dulu menentukan tema hingga latar. Tapi, Sapardi tidak melakukan itu. Dia menulis saja secara mengalir. Kalau Anda, bagaimana?
Saya seperti Sapardi. Menulis mengalir begitu saja. Menurut saya, yang menentukan Tema itu nanti, biar saja pembaca atau kritikus. Sebagai penulis, ketika kita memegang pulpen dan buku atau komputer dan lain-lain, maka menulis saja sesuai pengalaman dan pengetahuan dan unsur-unsur puisi.
Banyak yang bertanya mengapa hingga mencapai usia lebih dari 60 tahun Anda masih menulis puisi. Apa alasan Anda?
Ketika persoalan masih berlangsung di sekitar saya, maka saya menulis. Kemudian, rival-rival saya masih hidup dan produktif menulis puisi. Termasuk anak-anak muda atau dalam hal ini penyair-penyair muda.
Lha, kenapa anak muda Anda jadikan rival? Kenapa Anda tidak mengambil bagian sebagai guru mereka atau pengayom mereka?
Rival dong. Karena saya kan masih menulis puisi, sama seperti penyair-penyiar muda. Walaupun ada beberapa, yang memang belajar langsung dan banyak diskusi dengan saya. Saya harus menganggap generasi milenial juga rival.
Apa Anda tidak kecewa jika harus bertarung dengan murid sendiri?
Tidak dong. Kalau kecewa, ngapain saya ngajarin? Inilah yang kadang-kadang menjadi kelemahan orang. Ada yang merasa kalau murid tidak boleh bertarung dengan kita (guru). Bagi saya, guru vs murid dalam urusan berkarya, tidak masalah. Justru itu menjadi pemicu bagi saya untuk tidak berhenti menulis secara kreatif dan berkualitas.
Jangan-jangan, penyair angkatan 87, barangkali yang masih berkarya dapat dihitung. Selain saya, barangkali nama-nama yang masih menulis puisi secara serius, tersisa Acep Zamzam Noor. Triyanto Triwikroma di bawah angkatan saya. Penyair seangkatan saya itu, Acep Zamzam Noor, Soni Farid Maulana, Remmy Novaris DM. Kira-kira itu.
Cukup lama juga durasi Anda menjadi penyair. Dulu, bagaimana perjuangan Anda?
Perjuangan dulu, di Lampung dapat dikatakan masih sulit. Apalagi zaman dulu, kami yang beradu karya di Indonesia harus melalui tahap seleksi yang ketat oleh para redaktur media. Misalnya, di Berita Buana ada Abdul Hadi W.M, kemudia di Horison ada Sutardji, di Swara Karya ada Ateng Winarno.
Kalau sekarang, kecendrungan para penyair hanya melalui event-event. Saya anggap ada beberapa event yang belum cukup kuat. Karena ada kepentingan memenuhi kuota maka beberapa puisi yang tidak kuat akan dimasukkin juga. Contoh lagi, ada event Tegal Mas Poetry Island. Puisi pada event itu kan tidak melalui seleksi. Tapi, penyair-penyair yang hadir di sana karena mendapat undangan dari panitia.
Apa yang membuat Anda teguh dalam Sastra?
Saya hanya ingin menulis saja. Mengungkapkan sesuatu yang bergolak dalam batin saya. Mungkin, batin saya yang bergolak ini tidak bisa diungkapkan melalui media lain. Tapi, mudah menggunakan ilmu susastra.
Bukan karena pada zaman Anda terdapat banyak pengarang hebat dan terkenal hingga dielu-elukan masyarakat?
Itu menjadi salah satu alasan. Tapi, saya kira pada zaman ini juga banyak sastrawan yang hebat, terkenal dan dielu-elukan. Hanya, kecendrungan sastrawan saat ini kan hanya berkarya dari media sosial. Banyak sekali sastrawan Sosmed. Tapi, saya lihat, karyanya belum menunjukkan ketetapan unsur-unsur ilmu sastra.
Saat ini, bagaimana Anda melihat kehidupan Sastra di Lampung, apakah sudah menjanjikan?
Saya kira, penyair bukanlah profesi yang menjanjikan di negara kita. Tapi, perkembangan sastra di Lampung cukup baik ya saya lihat. Hanya saja lembaga-lembaga berkompeten perlu lebih merangkul penyair-penyair yang ada di Lampung. Saat ini, sastrawan di Lampung itu terpecah-pecah.
Bayangan Anda, apa yang bisa menyatukan yang berkeping-keping itu?
Sederhana saja. Yang utama adalah keterbukaan dan kejujuran. Misalnya gini. Terimalah Isbedy sebagaimana dia yang berkarya. Bukan Isbedy yang frontal atau lain hal sebagainya di luar karier sastranya.
O iya, kenapa Anda tidak memilih menjadi seperti H.B Jassin? Padahal, banyak penyair yang ingin karyanya Anda bahas. Anda dinilai memiliki akses nasional maupun internasional.
Kritikus? Itu saya lakukan juga. Tapi, memang tidak segencar H.B Jassin. Saya dan kawan-kawan sastrawan memilki perkumpulan yang bernama Lamban Sastra Isbedy Stiawan ZS. Di sana, ada beberapa penyair muda atau yang baru menulis puisi. Saya selalu mengkritik dan memberi masukkan. Ada salah satu penyair juga, yang puisi-puisinya saya kirimkan ke koran. Saya menilai puisinya baik dan memiliki unsur puisi maka saya kirim. Alhamdulilah puisinya dimuat dan ketika dia mengirim sendiri puisi ke media lain juga dimuat. Berarti kan yang saya nilai sesuai.
Selain itu, saya juga khawatir jika terlalu dalam menekuni bidang kritikus. Saya ini praktisi puisi atau penulis puisi yang hingga kini masih aktif. Saya tidak ingin terlalu dominan. Nah, kalau H.B. Jassin kan, dia tidak menulis puisi. Dia cenderung fokus sebagai kritikus. Berbeda dengan saya. Tapi, saya selalu membuka diri bagi siapapun yang ingin berdiskusi.
Terakhir, stimulan apa yang dibutuhkan Sastrawan Lampung? Apa penghargaan yang kemarin Anda terima itu penting?
Untuk yang baru-baru, mungkin penting. Tapi, bagi saya tidak lagi menjadi penting. Yang terpenting adalah sikap pemerintah terhadap sastrawan. Pada acara ulang tahun Lampung, misalnya. Saya denger-denger, di acara tersebut, pemerintah mengundang PNS hingga bidan yang telah mengabdi bertahun-tahun. Tapi, seniman?
Pernah ada. Saat itu, yang mengajukan progam Dewan Kesenian Lampung melalui Syaiful Irba Tanpaka. Tapi, saya tidak datang karena yang saya dapat hanya piagam. Untuk apalagi? Saya sudah banyak dan tidak terpakai.
Pesepakbola, itu mereka diberi upah. Bahkan, pada era ini, bonus para atlet ratusan juta. Lalu, akan dijadikan sebagai aparatur sipil negara.
Nah, kenapa sastra atau seniman tidak diberi apresiasi seperti itu? Banyak lho, sastrawan atau seniman yang mengharumkan nama Indonesia di kancah Internasional. Beberapa buku sastrawan kita laku di luar negeri. Bahkan, digadang-gadang pernah dilirik untuk mendapat penghargaan Nobel Perdamaian Dunia Kategori Sastra.
Jangankan pemerintah. Kalau di Lampung, Dewan Kesenian pun tidak terpikir untuk memberikan penghargaan yang bukan cuma piagam kepada seniman. Jangan-jangan kepada Isbedy, apalagi. Tambah tidak mungkin. []
