Bak, Buku-Buku, dan Pelajaran Mengarang
HARI INI, Minggu, 27 Desember 2020 tepat lima tahun sudah kepergian Bak (ayah, bahasa Lampung). Pensiunan guru sekolah dasar ini menghembuskan napas terakhir di RSUD Liwa, Minggu, 27 Desember 2015. Sejak beberapa waktu lalu ada keinginan untuk menulis buku biografi Bak, kira-kira berjudul “Ayahku Guruku: Biografi Zubairi Hakim”. Tapi, belum kesampaian juga. Saya belum punya waktu untuk napak tilas dan mengumpulkan data perjalanan hidup Bak.
Makanya, tak juga menulis tentang Bak. Tapi, saat sedang mengingat Bak sembari membuka-buka Facebook, ee… ada ajakan “Ayo Menulis tentang Ayah Kita: Seri Aksi Swadaya Menulis dari Rumah” yang dibagikan Mas Kurniawan Junaedhie di grup Komunitas Dari Negeri Poci. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Baiklah kali saya ikutan project ini. Dengan ruang sempit, saya hanya menuliskan sepenggal kesan tentang sikap literer dan sedikit mengenai cara Bak mendidik kami, lima anaknya.
***

Kalau dipikir-pikir — sebagaimana kata orang-orang ketika saya membagikan foto Bak bersama siswa-siswanya di SDN 1 Negarabatin Liwa (1974) di media sosial – sosok saya memang menjadi duplikat Bak, mirip sekali dalam hal penampakan dan ‘kelakuan’. Padahal, sebenarnya saya berupaya bersungguh-sungguh agar tak sama dengan beliau. Tapi, mana mungkin saya menolak takdir menjadi anak dari seorang lelaki asal Negarabatin Liwa – tentu setelah bekerja sama dengan seorang ibu yang berasal dari desa sebelah, Way Mengaku.
Bak lahir 23 September 1943, mudah mengingatnya karena tanggalnya bertepatan dengan Dies Natalis Universitas Lampung, almamater saya. Setelah menyelesaikan Sekolah Guru Bantu (SGB), beliau langsung menjadi guru di Krui, Pesisir Barat. Menikah dengan sesama orang Liwa beda kampung, 1969, kembali mengajar di Krui dan mengajak istrinya tinggal di sini.
Kalaulah Mak tidak diantar ke Liwa saat hamil tua, tentulah saya lahir di Krui. Tapi tidak, mak bersalin di Liwa, melahirkan saya pada menjelang azan Subuh, Jumat, 12 Juni 1970. Bak terus mengajar di sebuah sekolah dasar negeri di Kabupaten Pesisir Barat. Kapan pindah mengajar di Liwa tidak tahu persis. “Bak-mu tidak memberi tahu. Tahu-tahu di Liwa saja enggak balik-balik ke Krui,” kata Mak. Demikianlah, kami lima bersaudara lahir di Liwa semua.
Sejak kepindahannya ke Liwa, Bak mengajar di SD 1 Negarabatin Liwa, lalu menjadi Kepala SDN Kubuperahu, SDN 1 Way Empulau Ulu, dan SDN 1 Padangcahya sampai pengsiun pada 2003. Bak guru yang bersahaja, tidak neko-neko, dan tawaduk. Ya, mengajar saja. Saat pemerintah meminta guru-guru melakukan penyetaraan pendidikan karena guru minimal harus D2, lalu ditingkatkan lagi D3, dan terakhir guru harus S1, Bak tetap bertahan dengan ijazah SPG (Sekolah Pendidikan Guru)-nya. Sampai akhirnya, menjelang pensiun, beliau tidak boleh menjadi kepala sekolah karena terbentur persyaratan harus sarjana. Ia memilih menjadi guru biasa dengan gaji yang ala kadarnya.
Satu hal yang membanggakan atas kerja keras Bak – tentu dibantu pula oleh Mak – kami, lima anaknya, yaitu dua laki-laki dan tiga perempuan, bisa menjadi sarjana semua. “Kalau untuk sekolah, saya akan upayakan. Tapi, kalian harus sekolah negeri. Kalau tidak, saya tak sanggup,” kata Bak pada kami. Dan, benar kami semua bersekolah dari SD hingga perguruan tinggi negeri. Kecuali, adik perempuan saya yang nomor empat yang memilih menikah selepas SMK. Tapi, kemudian bisa juga ia meraih sarjananya.
***
Ceritanya, setelah TK, saya masuk SDN 1 Negarabatin Liwa, di rapor tertulis 1 Januari 1977. Dan, astaga… wali kelasnya Bak sendiri. Jadilah saya dan murid lainnya diajar beliau membaca, menulis, dan berhitung di kelas. Khusus saya, diajar lagi di rumah. Ya, anaknya guru!
“Wah, kamu sih enak diajar bapak sendiri,” ledek orang-orang.
“Apanya yang enak. Kalau Bak marah di kelas, yang lain pulang selesai. Lah, saya bisa dimarahi lagi. Marahnya dobel. Bahkan bisa lebih dahsyat,” kata saya.
Wajar jika Bak lebih keras mendidik kami. Bak mungkin akan malu kalau anaknya guoblok.
Di balik itu, saya dan adik-adik sangat dimanja dengan berbagai macam bacaan, baik koran, majalah maupun buku-buku yang beliau bawa dari sekolah, di samping yang kami pinjam dari sekolah atau membaca di rumah teman yang juga keluarganya suka membaca. Meskipun di desa, kami tidak pernah kekurangan bacaan. Bersama bahan literasi yang berlimpah itu, saya, adik-adik, dan teman yang hobi membaca, bisa mengembara ke ruang dan waktu yang tak terbatas.
Seperti saya ceritakan kepada Ritanti Aji Cahyaningrum (2008), saya sangat tekesan dengan buku-buku cerita anak karangan Mansur Samin. “Saya mendapatkan ‘semangat perlawanan yang luar biasa’ terhadap lingkungan yang feodal, ortodok, paternalistik, dan antikritik. Sesuatu yang dikemudian hari saya “salahgunakan” untuk menentang Bak. Ya Allah, ampunilah saya!
Masih SD, saya sudah membaca semua jenis buku, novel terjemahan seperti Tom Sawyer-nya Mark Twain, Sebatang Kara karya Hector Malot, dan Oliver Twist-nya Charles Dickens, roman picisan, bahkan stensilan (bacaan porno). Upf! Ketika melanjutkan pendidikan di SMA di Bandarlampung, hobi membaca saya semakin tersalurkan karena SMA tempat ia menimba ilmu memiliki perpustakaan dan letak SMA-nya juga berdekatan dengan Perpustakaan Provinsi. Bacaan saya semakin meluas, tidak hanya mengonsumsi bacaan dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.
Hobi membaca dan mengumpulkan tulisan-tulisan sastra sejak kecil membuat saya memang sejak kecil bercita-cita menjadi penulis. Dan, guru mengarang pertama saya ya Bak saya yang juga guru saya di SD, mulai dari mengenal huruf, mengeja, penggunaan tanda baca, membuat kalimat langsung dan kalimat tidak langsung, dst. Tidak secara khusus, hanya ketika mengajar di kelas. Saya ingat, bagaimana saya mengulang-ulang berlatih membuat kalimat langsung dan kalimat langsung dengan mencocokkan dengan bacaan yang ada di depan saya.
Bak memang tidak pernah meminta saya menjadi penulis, tetapi boleh jadi beliaulah yang menjerumuskan saya untuk menggeluti dunia kepenulisan. Diam-diam mengirim tulisan ke berbagai media sejak SMP. Ada juga nyangkut dimuat media di Jakarta dan daerah, meskipun tak banyak. Waktu kuliah aktif di pers mahasiswa.
Sekarang, bisa jadi ada andil Bak, yang membuat saya tak bisa lari dari profesi wartawan. Menghidupi diri dan keluarga dari menulis! Tabik. []