Dosa Budaya
Oleh Hardi Hamzah
KALAU kita masih percaya, bahwa ide, gagasan, visi dan pemikiran, menghasilkan kebudayaan, berarti budaya berada di ruang kehidupan kita. Realitas kemanusiaan dalam sejarahnya, selalu saja terseret oleh logika quantum yang absurd, bahkan metafisis. Realitas pilkada/pilcaleg, misalnya, ditumbuh kembangkan oleh kebudayaan finansial.
Aspek kebudayaan menjadi fatamorgana. Wilayah kebudayaan telah sumpek oleh komersialisasi gagasan. Ini terjadi sejak Romawi, Yunani yang standarnya Binzantium. Bahkan, Alexander Agung tidak ubahnya seperti Joko Tingkir yang legendanya dipalsukan, bahwa dalam substruktur politik budaya kita, mereka berdua adalah “jagoan” tak terkalahkan.
Demikian pula sirnanya suku Aborigin, yang kemudian melahirkan Australia dalam persemakmuran, sesungguhnya juga “budaya” lewat pikiran nakal tadi, yakni migran yang mengkoloni. Ketika Nelson Mandela memperjuangkan Apharteid, pun budaya hakiki dikotori, meski cemaran itu tereduksi oleh rekonsiliasi.
Kebudayaan yang kita kenal sebagai kebudayaan Yunani dan Romawi, juga menghasilkan “dosa budaya”. Apa yang dimaksud dengan “dosa budaya”, adalah sederet pemikiran dengan turunannya tanpa mengimbangi antara profan dan sakral.
Skema Marshal Plan, misalnya sebagai budi baik AS untuk membantu Eropa, melahirkan sikap skeptis dan individual di pihak Eropa dan arogansi di pihak AS, muncullah kemudian gerakan paska zaman Malaise, dimana setelah resesi ekonomi, Kebudayaan Eropa justeru ditunjang kuat oleh budaya perang, yakni perang Dunia I dan perang Dunia II yang berlumur Genosida.
Dalam rangkuman sejarah panjang Kenabian, juga pemikiran bersiklus lewat apriori sentrifugal “dosa budaya” yang identik dengan zaman Jahiliyah. Kita ternyata memang tidak terlepas dari “dosa budaya”, ironinya orang menari dan berpesta di atasnya, melalui berbagai kesempatan politisi dan ekonom. Justeru ketika setiap sosok ingin melampiaskan energinya.
Ketidaksadaran terhadap “dosa budaya”, muncul secara masif manakala rentetan logika bertarung dengan agama, setidaknya satu abad sebelum Renaisans. Negara-negara Asia Tengah dan Asia Selatan yang terjerumus dalam Blok AS dan Blok Soviet membuat “dosa budaya” semakin panjang deretannya, ia kemudian melahirkan suatu rasionalitas baru, sehingga Bung Karno melahirkan Non Blok, melalu kaca mata anti kebangsaan, kenyataan Non Blok juga membuat “dosa budaya”, setidaknya rata rata negaranya membuat masyarakat lapar.
Kalau ditilik dari analisis di atas, “dosa budaya” seakan equivalen dengan politik dan ekonomi, dalam arti ide, gagasan, dan pemikiran negatif mereka dimana mana masyarakat tidak pernah diberi ruang politik yang subject dan wilayah ekonomi yang riil, dus mereka terpleset lewat sebaskom ide petinggi yang ditumpahkan tanpa arah.
Kesadaran, budaya, sesungguhnya merupakan kesadaran kebersaamaan yang tak ternilai oleh nilai itu sendiri. Jauh waktu, filsafat Auf Klarung telah mengintrodusir hal ini, yang secara genius dibakar oleh ideologi, misalnya saja kita bisa memahami ini dari Madilognya Tan Malaka, kita bisa memanifestasikannya melalui ruas kebudayaan Cina dan riwayat Kanabian, sialnya kita tidak mampu merefleksikannya secara intrinsik kealam nyata, bahkan ke alam baka (baca: sadar akherat atau hari kemudian) serta merta kita jauhkan, lebih banyak kita berkelompok pada “kebersamaan yang salah” yang dalam uraian berikut adalah “dosa budaya” yang sistematik.
Sejarah mencatat, bahwa dalam kehidupan, sesungguhnya kematian merupakan ujung dari kemelut “dosa budaya”, centang peranangnya dunia, semisal, peristiwa Tian Nanmen di Cina, banyak diantara kita melihatnya sebagai kelaliman tentara rakyat (tentara merah) Cina dengan legitimasi komunis. Kenyataannya, “dosa budaya” dalam bentuk pembantaian itu, justeru dianggap penduduk Cina sebagai suatu pintu gerbang liberalisme di bawah bayang bayang tentara merah PKC.
Padahal, apapun pekerti dan makna hakikinya, gagasan, visi progresif dan perilaku kreatif, suka atau tidak suka harus disebut sebagai “dosa budaya”. “Dosa budaya ”, umumnya disenangi dalam otak bawah sadar kita. Wilayah bawah sadar yang banyak “memainkan” logika cenderung berujung pada pisau bermata dua yang siap membutakan mata hati manusia, untuk kemudian berenang dalam arus deras “dosa budaya”.
Bentuk paling riil “dosa budaya”, antara lain ketika Thomas Hobe, memperkenalkan Yuridis dalam kotak ke Eropaan, dan Von Savigny dengan bangga mengatakan, “Die normatif, krachah des pastesen”, suatu legitimasi dehumanisasi, yang terjemahan kasarnya “tidak tahu norma harus ditata”. Sampai disini Von Savigny, nampak benar, namun ketika dalam primbon hukum Belanda dikatakan “ignorantia lergis excucet neminen” (“tidak tahu hukum bukanlah suatu pemaaf”). Norma hukum ini simultan menjerat rakyat untuk menggumuli hukum adat yang sarat hakekat kebudayaan. Dus di peribahasa wong Londo itu, justifikasi terhadap “dosa budaya” semakin mengental.
Saya menyadari ada kejahatan baru ada kebaikan baru. Namun, di dunia yang telah berusia lebih dari enam miliar tahun ini, semuanya bergembira dalam “dosa budaya”. Bahkan, bangga. Kutub kutub apa yang kemudian harus kita beri atmosfer positif, sehingga multi polar antar transformasi kejahatan tidak terlalu banyak menempel dibenak kedirian kita. Keakuan yang sejalan dengan egoisme duniawi, cenderung mentransformasikan paradoks, yang pada gilirannya juga memanifestasikan “dosa budaya”.
Salah satu contoh paradok, Bung Karno, sosok kebangsaannya yang tangguh di era pergerakan untuk menggulingkan Belanda berteriak “Samunbundelling van Alle National Krachtren” menghimpun kekuatan rakyat, bersama untuk berevolusi. “Budaya pahala” dimunculkan sejenak melawan kolonial, pekik revolusi dimana mana. Namun, setelah Soekarno berkuasa, ia justru masuk dalam kancah revolusi yang meraba raba. Jargon “Revolusi Belum Selesai” yang didengung-dengungkannya setelah negeri ini relatif aman, adalah bagian dari politik “dosa budaya”. Dan, selalu ada peluang di kancah revolusi yang memakan anak anaknya sendiri.
Refleksi di atas, menjelaskan pada kita, bahwa budaya yang sesungguhnya berbudi luhur tersebut kini telah jauh mengalami deviasi (penyimpangan) dan terjerumus ke jurang kenistaan yang mekanismenya kita ciptakan sendiri. “Dosa budaya” lahir atas nama garis garis hitam otak manusia, garis garis putih, agaknya terkalahkan. Semua itu, apakah agama sebagai variabel kontrol tidak mampu lagi bersemedi dan membatini sifat sifat putih dan nilai nilai hakiki kemanusiaan? Sehingga, “dosa budaya” hinggap merayap sampai batas batas yang inskonstitusional, ia merambah agama, trias politika, demograsi dan ideologi impersonal.
“Dosa budaya” yang diuraikan di atas mengajak memahami bahwa religiusitas, humanisme, dan kepedulian kita sebagai manusia telah semakin jauh. Ketika Soedjatmoko bicara humanisme manusia, ia bertendens pada diversifikasi ide yang sangat orientatif, dan berlawanan dengan Mochtar Lubis yang membongkar seluruh hipokrisi masyarakat Indonesia.
“Dosa budaya” kini telah dalam formula, ia lahir selain cacat dalam kandungan. Pun, ironinya bersamaan dengan kejayaan agama, kejayaan ilmu, dan keserakahan manusia. Pertanyaan besarnya kemudian, adalah apakah “dosa budaya” yang kemudian dapat saja menjadi kebudayaan dosa, bisa berkompetisi dengan budaya pahala. Budaya pahala yang esensinya transformasi kenormalan berpikir yang nyaris linier, sayangnya sukar sekali menyentuh generasi muda. Ia terpelanting dihadapan kaum tenager sebagai cikal bakal khalifah di muka bumi.
Dan, oleh karena itulah jauh jauh sebelum restorasi Meiji, Nabi Muhammad Saw mengidungkan nilai nilai budaya pahala. Budaya pahala kemudian menjadi terbelah dalam lempeng lempeng liberalisme, sosialisme, bahkan dalam agama itu sendiri.
Sebagaimana penduduk dunia dengan struktur demografi yang tidak harmonis, realitasnya transformasi nilai nilai agama masih sangat signifikan, manakala nilai itu berjalan bersama teolog modern yang melahirkan diskursus baru bagi generasi yang menuju terang atas nama agama yang penuh ide, pemikiran, visi dan hakekat hidup gilang gemilang, sehingga dapatlah diidentifikasi keseimbangan antara “dosa budaya” dan budaya pahala, lalu kita dapat menemukan kebudayaan dalam arti yang sebenarnya. []
——————
Hardi Hamzah, Peneliti Madya Mahar Indonesia Foundation