[Otak Atik Otak] HRS, NKRI, dan Islam Indonesia (2)
Oleh Hardi Hamzah
HUBUNGAN interaktif antara agama dan negara hendaknya dijalin dalam suatu konstruksi demokrasi, dalam arti hiruk pikuk yang dilakukan HRS dan pengikutnya adalah bagian terpenting bagi tumbuh dan berkembangnya demokrasi. Terlebih lagi bila didekati secara persuasif, kendati berbagai pressure group FPI memang keluar dari fatsun politik keindonesiaan yang banyak diwarnai budaya politik Jawa. Sedangkan FPI tampil dalam bentuk sarkasme yang beririsan dengan SARA. Maka, hasilnya dapat mudah diduga HRS akan dirasakan sebagai batu sandungan di panggung politik NKRI. HRS yang acap bersuara tampil dalam bentuk sarkastis, suatu tampilan yang tidak layak bagi umat Islam Indonesia yang terbiasa dengan transformasi normatif dari ulama konvensional.
Lahirnya ulama konvensional resultante dari terbakarnya buku buku moderat Ibnu Rusdy di Kordova, maka muncullah islam Al Ghazali-an, yang yang berstandar pada ritus semata, tentu saja paradoks dan kontradiksi dengan apa yang diintrodusir HRS. Bahkan, cenderung fragmentasi di kalangan umat, terlebih lagi pada penguasa.
Dalam konteks ini, kiranya Robert N. Bellah benar, bahwa dalam negara pluralis, harus ada interaksi dalam agama. Sambil menyunting Jean-Jacques Rousseau, Bellah mengintrodusir. Dalam spektrum itulah agama hendaknya diimplementasikan kedalam ruang publik kontekstual, membumi, agama harus membangun diri jurus baru dalam komunitas Indonesia yang terlanjur sekular.
Di sinalah kelak rezim akan mampu menjawabnya. Bagaimana menjawabnya? []
——————
Hardi Hamzah,
kolumnis.