[Otak Atik Otak] Perspektif Pemerintah Dalam Merespon HRS dan FPI (3)
Oleh Hardi Hamzah
AKHIR tulisan bagian dua, implisit sekularisme menjadi pokok bahasan yang tak terhindari, di mana sekularisme gejala psikis normal dari penetrasi westernis. Di pihak lain, bersamaan dengan itu(maksudnya sekularisme tadi). Kelompok Islam fundamentalis dengan para haroqah-nya akan selalu merasa gerah, tentu saja hal ini patut direspon oleh NKRI.
Dalam kokteks ini, semestinya pemerintah menyadari, bahwa munculnya kelompok milineal perkotaan yang disubordinasi oleh sekularisme, sangatlah rentan terhadap nilai-nilai fundamentalisme yang deviatif. Hal ini,karena agama agaknya tidak mampu menjawab kebutuhan ekslarasi etnisitas perkotaan.
Sementara itu dalam maryarakat rural dan urban, agama dirasakan sebagai simbol-simbol nilai ansich, yang pada giliranya hanya bertendens dan atau berorientasi pada surga neraka. Sulitnya lagi, dalam komunitas ini banyak menampilkan pula lintas akulturasi budaya yang vis a vis dengan kejumudan yang konservatif, seperti jaula, komunitas Islam Mbah Google, dan para revolusioner puritan utopis.
Celakanya, komunitas ini cenderung memunculkan desekularisasi tanpa arah (disorientatif). Padahal, pada skematis ini, seyogyanya dimunculkan tradisi sufisme yang diharmonisasikan dengan Islam inklusif model Cak Nur. Artinya, ada “agama lain” di dalam agama Islam. Beragama dalam masyarakat pluralis menarik diri dari ruang publik yang crowded. Bila ini dapat diimplementasikan, munculah yang di dalam tasawuf lebih dikenal sebagai uslah. Ini memang menguatkan kesalehan secara individual, tetapi ini akan mensenyawakan proses keterpaduan antara NKRI, Pancasila, dan berbagai dinamika kelompok Islam di Indonesia yang notabene syarat pula dengan nilai-nilai kepercayaan, seperti Sapta Dharma, Sunda Wiwitan, dan lain lain yang tidak dapat kita hindari.
Dengan demikian, kemunculan HRS dan FPI dapat juga dipandang sebagai element kontributif, asalkan dapat dimunculkan semangat dialogis. Sebab, bila fenomena HRS dan FPI salah memperlakukannya, terbuka peluang sebagaimana yang terjadi di Iran (1979), yaitu revolusi agama.
Seperti yang diungkap oleh Peter L Berger, bila agama-agama di dunia ketiga tidak direspon secara baik oleh negara, ia akan mencari bentuknya sendiri sebagai sustainable oposan.
Memahami hal di atas, sesungguhnya kemunculan HRS dan FPI mestinya dilihat sebagai fenomena yang tak terelakan dalam NKRI akibat mandulnya lembaga legislatif. Murice Duverger bahkan melihat bentuk-bentuk pressure group di sebuah negara haruslah direspon dalam spektrum yanng persuasif, sehingga demokrasi dapat berjalan, sebagaimana yang diinginkan. []
Hardi Hamzah, kolumnis.