[Otak Atik Otak] HRS versus Polisi, Mungkinkah bak Waiting for Godot (1)
Oleh Hardi Hamzah
KEBENARAN itu begitu mudah dipahami, masalahnya bagaimana menemukan kebenaran itu. Itulah sebenarnya makna hidup, utamanya di tengah kelangkaan kebenaran yang terkubur oleh hoaks dan ujaran kebencian. Mungkin Derrida, benar. Filsuf modern mengatakan bahwa kesendirian individu akan terus memaksakan pemahaman masing-masing yang satu sama lain bersikukuh atas nama ignoran(ketidaksepahaman).
Saling silang klaim kebenaran antara FPI dan polisi atas terbunuhnya enam laskar, mengajak tahu kita bahwa kerap kali kita selalu melupakan residu. FPI boleh jadi melupakan residu teror verbalnya, akan hal nya polisi, yang menggunakan abuse of power, mustinya telah ditinggalkan paska 98.
Kendati hasilnya sudah dapat diduga, disatu sisi dinamika demokrasi nampak ternoda. Oleh pihak umat islam yang sedang menggantang kelelahan berpacu dengan akselerasi globalisasi yang menhempaskan Islam atau agama pada umumnya yang terus menerus terhimpit.
Sampai di sini saya teringat Samuel Beckedt penulis Irlandia yang memenangkan hadiah nobel atas naskahnya Waiting for Godot.
Ya, dalam hidup ini selain ada kehidupan dan kematian, ada pula penantian, itulah sebabnya kemudian masing-masing kita simultan berasumsi sama, seperti apa yang dikatakan oleh Daniel Bell: ideologi sudah mati. Sehingga penguasa tunggal dunia tidak bisa terlepas dari jebakan kapitalime, ujar Fukuyama.
Sementara Samuel P Huntington melihat ditengah spekulasi itu dunia akan disibukkan oleh disorentasi agama yang tidak pernah menemukan bentuknya. Agama akan beradu pandang antar dirinya sendiri, adu kuat tanpa reserve.
Apabila kita mempercayai siklus dunia berputar, maka benar apa yg dikatakan oleh humanis India Saroyini Naidu, ia berujar kelengkapan hidup adalah kepandaian kita menyatukan ketidakpahaman Atas nama kemanusian. Menunggu Godot, yakni interprestasi penantian yang sia-sia. []
Hardi Hamzah, kolumnis.