Sosok

Selalu Ada Cinta buat Diego

Oleh Romi Afriadi

“JIKA Anda memberikan jeruk kepada Diego jr, ia akan mengambil sebuah pisau, mengupas jeruk itu, lalu memakannya. Tapi jika Anda memberikan jeruk itu kepada Maradona, ia akan men-juggling jeruk tersebut, memainkan layaknya bola di kaki, dada, dan kepalanya.”

Saya tak ingat pada media apa dan siapa penulisnya. Yang jelas, saya pernah membaca kalimat yang redaksinya lebih kurang begitu dari sebuah koran lusuh yang barangkali telah sekian hari teronggok di tempat sampah. Jikalau bukan berisi seputar sepakbola, saya mungkin akan ogah membuka koran yang telah penuh pasir dan tanah itu. Masa itu, segala sesuatu yang berhubungan dengan sepakbola memang penting untuk dilirik. Saya pernah memungut gumpalan koran bola di jalanan, begitu pun saat menemukannya terbungkus pada nasi Padang atau sate. Dan sore itu, saya menemukan tulisan ciamik yang membincangkan Maradona.

Pada salah satu bagian, tulisan itu menceritakan perbandingan antara Maradona dengan seorang putranya dalam urusan sepakbola. Bagaimana, kehebatan sang ayah tak secuil pun melekat pada diri si anak. Komparasi yang tak bisa dielakkan, meski di satu sisi itu terlihat tidak adil. Sebab garis keturunan tidak selamanya jadi jaminan. Itulah yang terjadi pada Maradona dan putranya. Belakangan saya tahu, karier sepakbola si anak memang cuma berkutat di divisi-divisi bawah liga Italia dan Argentina.

Namun,  bagi saya itu menandakan semacam kerinduan orang akan sosok hebat, harapan yang kembali berkecambah untuk menyaksikan seorang fenomenal hadir menyihir di lapangan hijau. Perbandingan yang secara tersirat juga mengonfirmasi bahwa penikmat sepakbola tak pernah rela jika bakat selangka Maradona ikut punah. Maka, jalan terbaik yang paling masuk akal untuk dilakukan ialah menggantungkan harapan pada pundak si anak, meski realitas berbicara jauh panggang dari api.

Tulisan itu sukses membekas pada ingatan remaja seorang bocah kampung, bahwa rupanya pada dekade lalu pernah ada seorang manusia cebol yang keahliannya di lapangan hijau mampu menghipnotis ribuan pasang mata. Kurun waktu itu, saya memang lebih kerap mendengar nama Maldini, Ronaldo, maupun Zinedine Zidane berseliweran dan diperbincangkan ketimbang Maradona. Barulah bertahun kemudian, ketika teknologi makin canggih dan internet mewabah, saya bisa melihat di televisi atau di layar gawai serupa apa aksi Maradona.

Teknologi itu mampu memberi petunjuk pada saya untuk memutar ulang nuansa magis kejayaan Maradona pada zamannya. Masa ketika ia memecundangi pasukan Inggris di piala dunia 1986 Mexico lewat dua gol sensasional yang akan diingat publik hingga kiamat. Gol pertama terjadi berkat “tangan Tuhan”, gol yang mematahkan hati punggawa Inggris. Gol kedua barangkali sama remuknya bagi skuad Inggris karena nyaris dilakukan seorang diri oleh Maradona dengan menggiring bola dari tengah lapangan lalu meliuk untuk lolos dari lima hadangan pemain. Pertandingan itu juga dikenang spesial rakyat Argentina karena serasa membayar lunas nyawa warga mereka yang mati di tangan pasukan Inggris dalam perang Falkland memperebutkan Pulau Malvinas.

Teknologi juga dengan mudah melacak prestasi hebat lainnya Maradona di negeri pizza saat ia menyumbangkan dua Scudetto bagi Napoli, pencapaian yang menobatkan Maradona sebagai warga kehormatan Naples sesudahnya. Di piala dunia 1990 Amerika Serikat, Maradona turut pula membantu negaranya melaju ke partai puncak, meski harus puas sebagai Runnerup karena Jerman membalas kekalahan mereka pada edisi sebelumnya.

Karier Maradona lalu memburuk setelah kecanduan kokain. Ia tak lagi mampu menemukan sentuhan terbaiknya saat bergabung dengan Sevilla, Newell’s Old Boys, hingga kembali ke Boca Junior pasca dihukum gegara obat terlarang itu. Dalam beberapa kesempatan, Maradona memang mengakui bahwa kehebatannya akan lebih berlipat, andai ia tak memakai kokain.

Peruntungan Maradona pun tak kunjung membaik ketika mencoba bekerja sebagai pelatih. Kemampuan Maradona agaknya memang lebih layak dipamerkan ketika di tengah lapangan ketimbang berada di bench sembari berteriak-teriak di pinggir lapangan. Praktis, tak ada yang bisa dibanggakan selama ia menjamah dunia kepelatihan. Di klub, ia boleh dikatakan hanya membesut tim-tim pesakitan. Timnas Argentina cuma dibawanya melenggang ke perempat final piala dunia 2010 di Afrika Selatan. Kolaborasinya dengan si anak ajaib yang dianggap titisannya, tak memberi prestasi sensasional kala itu, sebagaimana saat Maradona melakukannya semasa bermain.

Walaupun demikian, para penikmat sepakbola tetap mengingatnya sebagai salah satu bakat terbesar dalam jagat sepakbola yang pernah ada. Menahbiskannya sebagai legenda setelah ia pensiun. Jutaan manusia di seluruh penjuru memujinya. Di Buenos Aires, bahkan umatnya mendirikan sebuah gereja kecil untuk Maradona. Hingga kematiannya akibat henti jantung Rabu pagi (25/11) waktu setempat, puja-puji itu tak pernah selesai. Tentu masih akan ada cinta berikutnya buat Diego. Selalu. []

—————–
Romi Afriadi, penikmat sepakbola. Pernah menjadi pelatih di sebuah SSB.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top