Bisnis

Mewaspadai Undervalue Komoditas Kopi di Lampung

Oleh Yusril Izha Mahendra

DALAM paradigma ekonomi pembangunan dikenal sebuah istilah paradoks pembangunan (development paradox). Istilah tersebut merujuk kepada fakta bahwa negara-negara maju yang mengandalkan sektor industri (dalam menyerap tenaga kerja dan kontribusi terhadap PDB), berteknologi modern dan memiliki pendapatan per kapita yang cukup tinggi memproteksi pertaniannya, yang sebenarnya memiliki jumlah sedikit. Sedangkan negara-negara miskin atau yang masih bergantung dan menjadikan sektor pertanian sebagai sektor basis utama cenderung tidak ramah terhadap pertaniannya, meskipun faktanya sektor pertanian masih menjadi kontribusi utama dalam Produk Domestik Bruto (PDB) maupun menyerap tenaga kerja.

Dengan sedikit penyesuaian basis argumen tersebut dapat kita gunakan untuk menyoroti kondisi di lapangan dengan konteks yang lebih spesifik yaitu komoditas Kopi di Lampung. Bukan sebuah fakta baru bila kita melihat Lampung sebagai salah satu provinsi yang memiliki produksi kopi terbesar di Indonesia, dapat dikatakan bahwa kopi merupakan salah satu basis ekonomi masyarakat Lampung khususnya pedesaan, yang menguasai hajat  hidup orang banyak dan menyerap banyak tenaga kerja. Namun meskipun demikian berdasarkan publikasi Fairtrade Foundation, menerangkan bahwa terdapat sekitar 125 Juta orang di seluruh dunia yang bergantung pada mata  pencaharian kopi tidak dapat memperoleh penghidupan yang layak dari kopi yang mereka hasilkan. Namun sebaliknya margin keuntungan terbesar diperoleh perusahaan pengekspor kopi.

Dengan berbagai macam fakta baik yang bertendensi positif maupun negatif seperti pertumbuhan produksi kopi yang relatif flat atau bahkan turun, kondisi pasar global yang cenderung dinamis, serta tingkat kesejahteraan petani kopi yang lebih rendah daripada kontribusi yang dihasilkannya tentu saja sudah banyak upaya yang dilakukan baik dari pemerintah provinsi maupun kabupaten. Namun tentunya dukungan yang bersifat teknis atau bahkan kegiatan riset dan pengembangan (R&D) dirasakan belum cukup. Dibutuhkan pula dukungan pada taraf politik dan pasar.

Pertama, memperbaiki spread harga dunia dan domestik komoditas kopi atau harga pada tingkat produsen maupun konsumen. Dengan makin terbukanya perekonomian serta jangkauan pasar yang semakin luas yang mengandalkan teknologi informasi mengakibatkan keterkaitan dan ketergantungan perekonomian dan perdagangan global. Tantu saja hal tersebut dapat berakibat cukup buruk bagi produsen apalagi mengingat Indonesia masih tergolong negara berkembang, sehingga dapat menimbulkan disinsentif serius bagi petani kopi termasuk di Lampung untuk meningkatkan produksi dan produktifitasnya. Apabila perbedaan (spread) harga tersebut tidak dapat diantisipasi atau pun diperkecil akibat yang paling paling buruk adalah iklim perdagangan dunia semakin tidak adil dan kesejahteraan petani kopi tidak akan membaik.

Kedua, menghindari bias persepsi pada pemerintah atau pemangku jabatan terhadap sektor pertanian umumnya dan kopi pada khususnya. Peminggiran yang dilakukan oleh politisi maupun perumus kebijakan tidak dapat dilepaskan dari kalkulasi ekonomi yang didasarkan argumen dengan persepsi yang kurang tepat seperti anggapan bahwa kontribusi atau pangsa (share) sektor-sektor yang berbasis sumber daya alam terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) mengalami penurunan, dan harga rill dari komoditas tersebut mengalami penurunan dibandingkan sektor industri dan jasa. Tentu saja pada akhirnya kesalahan persepsi tersebut harus dibayar mahal.

Sebagai penutup, apabila pemerintah provinsi maupun kabupaten, perumus kebijakan memang serius dalam mengembangkan komoditas kopi maupun lainnya dengan basis sumber daya alam, tidak ada jalan lain kecuali harus menempatkannya pada posisi prioritas. Upaya demikian terutama apabila didukung oleh pengembangan institusi yang berkaitan dan capacity building lainnya, dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat khususnya pedesaan, serta berkontribusi pada penerimaan daerah yang dapat berkelanjutan. []

———————-
Yusril Izha Mahendra, Mahasiswa Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top