Wartawan dan Berita Besar (An-Naba’)

Oleh Diko Ahmad Riza Primadi
ANDAI Anda seorang wartawan. Berpacu dengan waktu, memburu peristiwa, pagi, siang, dan malam. Melihat, mendengar, dan merasakan segala macam tragedi kehidupan, mulai dari manusia yang berteriak, menjerit, tersenyum, menangis sedih, haru, atau bahagia. Tertawa, kesal dan kemudian marah. Ada manusia yang merencanakan berbagai macam cara untuk menaklukkan dirinya, orang lain, semesta, dan apa saja yang perlu untuk mengangkat martabat serta ambisi hidupnya.
Tidak jarang juga manusia yang melakukan pengorbanan atas nama kemanusiaan, memberi, berbagi, menolong, meringankan beban penderitaan sesama dan lain sebagainya. “Semoga kita tidak termasuk dari golongan orang-orang yang mendustakan Agama. Yaitu orang-orang yang menolak terpanggil untuk memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkannya,” inti sari firman Tuhan dalam QS Al-Maun.
Sejak virus corona resmi menyerang Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020, ditandai dengan pengumuman adanya pasien positif pertama oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. Kegiatan ekonomi praktis berhenti. Jutaan orang di berbagai daerah kehilangan sumber penghasilan. Kelaparan adalah ancaman besar. Angka kemiskinan meningkat tajam dan beradu cepat dengan manusia yang terjangkit virus. Hingga saat ini, kenyataan tersebut masih dan akan terus terjadi. Karena tidak ada satu pun orang di negeri ini yang berani menjamin kapan corona akan berhenti.
Sakit, kematian, dan penderitaan adalah wajah dunia hari ini. Kita hidup pada era penuh ketidakpastian, krisis dalam skala yang tidak pernah terbayangkan dalam sejarah manusia modern. Vivere pericoloso, kita hidup dalam tahun-tahun penuh marabahaya. Kepanikan, kebingungan, juga melebarnya kesenjangan sosial dapat berimplikasi pada meningkatnya ancaman keamanan dan politik.
Sudah berbulan-bulan hidup manusia seperti dikurung di sebuah penjara modern. Sebuah ruang yang terlihat transparan. Tidak ada tembok atau jeruji yang menjadi pembatas, penghalang atau yang mengurung manusia secara fisik, kecuali pribadi yang memenjarakan dirinya sendiri. Melakukan isolasi mandiri. Work from home. Memakai masker. Menjaga jarak serta menjauhi kerumunan. Di setiap tempat, orang-orang mulai membudayakan cuci tangan dan hidup sehat.
Memang demikianlah anjuran dari para pemangku kebijakan. Bagaimana pun dan siapa pun mereka – mereka sangat perhatian kepada kita. Demi kebaikan bersama. Terhadap apa saja yang dilakukan oleh Lembaga Otoritas Negara atas hal-hal yang menyangkut penanganan virus corona, sebagai wartawan, saya tidak berkomentar, tidak melayangkan kritik, tidak memberi saran, tidak memuji, dan atau apa pun. Tugas kami hanya memberitakan sesuai dengan kode etik yang telah ditetapkan oleh Dewan Pers. Biarkan masyarakat sendiri yang memberikan penilaian terhadap kinerja pembantunya dalam memerangi corona. Bagaimana pun, di negara dengan sistem demokrasi rakyat adalah raja.
Datangnya corona merupakan berita besar. Menghebohkan dunia. Menjadi headline pemberitaan di berbagai media dan surat kabar. Corona sangat populer meskipun amat kecil dan tak kasat mata, tetapi amat nyata mencelakakan manusia. Bukan maksud para wartawan untuk menakut-nakuti walaupun ada yang bertujuan demikian.
Dalam segala hal yang menimpa hidup manusia, dalam sebuah diskusi Cak Nun pernah menyampaikan bahwa, penderitaan lebih berbobot dibanding kebahagiaan. Rasa sakit lebih dirasakan oleh manusia dibanding rasa sehat. Rahmat Tuhan kalah daya tekannya atas kehidupan manusia dibandingkan azab. Disiksa lebih merupakan peristiwa psikologis dibanding dimanja. Kebangkrutan lebih parah diratapi dibanding disyukurinya kesuksesan pada kehidupan manusia. Mungkin kalau diperluas atau diperpanjang, takut kepada neraka lebih merupakan atmosfer kejiwaan manusia dibanding kerinduannya kepada nikmat surga.
Para wartawan secara pasti juga memiliki kejenuhan dalam menulis berita yang membahas isu itu-itu saja khususnya yang terkait corona. Sejak awal kemunculannya hingga sekarang, dunia masih saja terasa mencekam. Dihantui ketidakpastian. Pada tanggal 5 Juli, Pimpinan Pusat Muhammadiyah kembali menunda pelaksanaan Muktamar yang seharusnya terlaksana pada Desember tahun ini, kembali diundur sampai tahun depan. Namun, bagaimana pun situasi dan kondisi hari ini, menulis adalah panggilan, dan mewartakan kepada seluruh dunia menjadi kewajiban bagi seorang wartawan. Semoga berita besar ini dapat menjadi pelajaran sekaligus tamparan bagi umat manusia.
Tragedi corona ini seperti sudah tergambar jelas di dalam firman Tuhan (QS An-Naba). An-Naba’ yang berarti berita besar. Surah yang menjelaskan betapa dahsyatnya hari kebangkitan. (1) Perkara apakah yang mereka pertanyakan? (2) Tentang sebuah kabar yang menggemparkan. (3) Suatu perkara yang mereka perdebatkan. Dalam konteks hari ini adalah kebangkitan musuh tak kasat mata yang menyerang umat manusia. Membuat ciut nyali manusia atau semakin membuat angkuh kepada Tuhannya.
Wartawan dan Tugas Kenabian
Menjadi seorang wartawan menuntut kita selalu merasakan empati terhadap keadaan orang lain. Mampu merasakan kesedihan, kebahagiaan, kekhawatiran, kenyamanan yang orang lain rasakan. Menyusuri ruang perasaan setiap insan. Melewati terowongan gelap, terang, maupun remang-remang. Begitulah manusia. Kondisi kejiwaannya cepat sekali berubah. Miskin, kaya, susah, senang, ada di mana-mana.
Di tengah situasi yang kacau ini, pasti ada harapan. Sebagaimana Rasulullah hadir di tengah-tengah umat saat dunia berada dalam kerusakan yang luar biasa. Membawa kabar gembira dan duka. Menyeru kepada manusia agak kembali kepada Tuhan yang berada digenggamannyalah seluruh nyawa manusia. Wartawan menyampaikan bahwa jika hendak keluar harus memakai masker, menjaga jarak, dan jangan berkerumun. Semoga Tuhan merahmati kita semua.
———————-
Diko Ahmad Riza Primadi, Wartawan Suara Muhammadiyah
