Ombak di Laut Bergulung Sedih dan Menangis
Cerpen Kartika Catur Pelita
Pada sebuah pantai elok berpasir pink, berkalang bukit merah, berombak biru tosca, barisan pohon nyiur syahdu melambai. Ibu, Widuri dan adik-adiknya bertamasya, ketika badai mengempas, memburaikan pakaian yang mereka kenakan. Angin jalang membawanya terbang….
***
Suara azan Subuh mengalun dari musala di Ujung Kampung.
Widuri membangunkan adik-adiknya. Sembahyang berjamaah, kemudian membereskan rumah. Putri menyapu halaman, membersihkan reruntuhan dedaunan pohon jambu air. Bayu menimba air sumur, mengisi bak mandi. Badriah menyapu dan mengepel lantai, setelah mandi sibuk berdandan.
Widuri dibantu Putri menyiapkan sarapan pagi, nasi goreng telur dadar.
Di meja makan sudah berkumpul. Bayu berseragam SMP. Badriah mengenakan seragam pabrik. Putri memakai baju rumah bersih, rapi. Mereka menunggu Widuri yang mengajak Ibu makan pagi.
Ibu Widuri sedang melamun di depan jendela kamar ketika Widuri mengetuk pintu.
Tok-tok-tok! “Ibu….sarapan dulu!”
Pintu terkuak, muncul Ibu. “Sudah berulangkali Ibu bilang Wid, Ibu tak biasa sarapan pagi. Kalau kalian mau makan, makanlah.”
“Ibu seharusnya membiasakan sarapan agar tak kena maag.”
“Kenyataannya Ibu baik-baik saja, kan, Wid. Sudahlah, sana, adik-adikmu sudah menunggu.”
Widuri kembali ke ruang makan dan sarapan bersama adik-adiknya. Ibu menemaninya, memandang permata hatinya penuh balur kasih sayang
***
Widuri sedang menyisir rambut, Bayu memasuki kamar dan menghampiri.“Mbak Wid…”
“Ada apa, Bay?”
“Uang sekolah Bayu bulan ini belum bayar, Mbak. Juga uang LKS.”
“Ya. Kapan paling telat bayar, Bay?”
“Tiga hari lagi, Mbak.”
“Besok Insya Allah uangnya sudah ada. Ini uang sakumu hari ini.” Widuri mengangsurkan uang.
“Terima kasih Mbak Wid.”
Widuri melangkah ke ruang tamu. Di sana Ibu masih melamun. Melihat kedatangan Widuri, Ibu langsung menegur.“Belum berangkat, Wid?”
“Menunggun Bobi, Bu.”
“Biasanya jam segini dia sudah jemput.”
“Sebentar lagi mungkin, Bu. Oya…Badriah sudah berangkat, Bu?”
“Selesai sarapan dia terburu-buru. Mungkin takut ketinggalan bus.”
Tin-tin-tin…terdengar klakson motor.
“Bobi datang, Bu!”
“Wid, beras hari ini habis. Ibu tak punya uang belanja.”
Widuri memberi uang Ibu. Ibu menerimanya. “Listrik bulan ini sudah dibayar kan, Wid?”
“Sudah, Bu. Widuri berangkat ya, Bu.”
Widuri mencium tangan Ibu, melangkah. Bobi mengangguk, memberi salam pada Ibu. Motor melaju.
Ibu memandangi kepergian Widuri sambil menghela nafas panjang, haru. Kasihan kamu, Wid. Kamu menjadi tulang punggung keluarga. Seharusnya semua ini kewajiban ayahmu. Tapi lelaki tua-tua keladi itu lebih mementingkan istri-istri mudanya daripada kalian yang darah dagingnya!
***
Sebuah rumah tembok bercat merah marun. Lelaki berumur lima puluhan, tegap gagah, ganteng, pensiunan tentara, h berpakaian seragam satpam, necis. Dia sedang mengenakan kaos kaki, ketika Bu Lekah muncul, menyiapkan sarapan pagi.
“Kopinya diminum dulu, Pak.”
“Kopinya kurang manis, Bu.”
“Alaa untuk kesehatan Bapak kan. Bapak punya darah tinggi. Enggak boleh minum manis-manis.”
“Sekali kali kan tak apa. Sarapannya mana?”
“Ibu tak sempat masak, Pak. Gasnya abis. Bapak sarapan di pabrik aja, ya.”
Satpam Toyib menggerutu, buru-buru memakai sepatu. Mengambil rokok di meja dan berangkat menaiki Vespa tua. Suara mesin tua meraung.
Sepeninggal satpam Toyib muncul si kembar anak tiri Satpam Toyib. Lekah menghidangkan nasi goreng dan susu hangat. “Cepat kalian makan. Ibu lebih sayang kalian daripada satpam Toyib.Yang mata keranjang. Bang Toyib-Bang Toyib istrinya ada di mana-mana….
Pandar dan Pandir, anak usia 12 tahun berbadan gendut beraksi : makan sangat rakus!
***
Pada kantin pabrik, satpam Toyib makan-minum terburu-buru, sambil melirik jam di tangan. Bertepatan minuman habis, bel tanda masuk shift pertama terdengar!
Satpam Toyib buru-buru setengah berlari ke luar dari kantin membunyikan peluitnya. “Kere-kere…masuk kerja!”
Buruh-buruh pabrik yang sedang duduk di pelataran pabrik bergegas. Beberapa di antaranya meng-uh pada celotehan satpam Toyib yang kasar, tapi mereka paham dengan ulah satpam Toyib. Disiplin. Suka bercanda, omongannya asal jeplak. Anehnya karyawan pabrik banyak yang suka pada satpam Toyib.
“Masuk…kerja, hei kamu…semok!”
Satpam Toyib menempelkan tongkatnya pada seorang buruk pabrik seorang wanita muda bertubuh bahenol. Si buruh pabrik ogah-ogahan bangkit. Si buruh pabrik meleletkan lidah-meledek dan buru-buru bergabung bersama-sama teman-temanya masuk areal pabrik dan siap bekerja.
***
Menikmati makan siang, Widuri semeja dengan Bobi. Di pojok kantin Alena membisikkan rencana jahat pada Tini. Tini sengaja menumpahkan makanan di baju Widuri.
“Aduh, maaf, ya, Wid. Enggak sengaja.”
“Tak apa-apa, Tin. Bisa aku bersihin kok.”
“Aku bantuin bersihin deh.”
Sengaja membuat baju Widuri makin kotor, celemong. Bobi sewot memandang ulah Tina. “Gimana sih Tin, mau bantuin bersihin atau ngotorin?”
Tini melirik sinis Bobi- dan berlalu setelah pura-pura minta maaf dan menyesal. Widuri pamit ke kamar kecil. “Bob, maaf ya aku bersihin baju dulu ke toilet. Kamu terusin aja makan.”
Alena muncul membawa baki makanan dan menghampiri meja Bobi. “Hai, Bobi tumben sendirian?’’
***
Pada kantin pabrik, Badriah mengantri makanan ketika Robin Wibawa mendekati, mencolek, memanggil-manggil namanya. Badriah dongkol dan sebal
“Mengapa sih kamu suka ngegangguin aku terus?”
“Karena aku suka kamu.”
“Kalo ngomong ngaca dong.”
“Saban hari udah ngaca tuh. Aku ganteng, kamu cantik. Kayaknya kita pasangan serasi. Cocok.”
“Rayuan norak.”
“Tapi suka, kan?”
Badriah menggeret Asih dan batal memesan makanan. Robin tersenyum lebar melihat ulah Badriah. Tiyok yang berada di dekat Robin menegur. “Kenapa sih kau ngejar-ngejar dia?”
“Karena suka dia.”
“Jelas-jelas dia nolak kau.”
“Boleh dia benci padaku. Benci akhirnya benar-benar cinta.”
“Sinting.”
“Sebagai teman jangan asal ngumpat dong. Kasih saran atau ide…”
Tiyok sesaat berpikir, dan akhirnya memberikan usul jitu. “Kata orang bijak jika kau suka pada anaknya-untuk mendapatkan hatinya kau bisa mendekati orang tuanya. Hei, mulai besok kau deketin satpam Toyib!”
***
Robin dan satpam Toyib ngobrol santai di pos satpam.
“Ada apa kamu ngasih rokok banyak begini, Bin?”
“Kebetulan saudara punya hajat, Pak. Banyak sumbangan rokok. Saya ingat Bapak suka merokok. Jadi saya bawain.”
“Bukan nyogok, agar dipek mantu, kan?”
“Apa saya pantas jadi menantu Bapak. Saya hanya buruh pabrik. Bukan anak orang pangkat.”
“Kok sampai ngelantur panjang segitu. Tapi, aku pernah denger selentingan… katanya kamu naksir ya sama si Badriah, anakku.”
“Ya, sih, Pak. Tapi kayaknya Badriah tak suka. Mungkin…”
“Mungkin apa, Bin?”
“Gosipnya Badriah pacaran dengan Mandor Kero, Pak. Kata temen-temen sih begitu.”
“Kata siapa?! Aku tak setuju Badriah deket dengan mandor kerempeng itu. Aku sudah melarang Badriah berhubungan dengan mandor kere!”
Robin seperti melihat ada pelangi di bibir pantai.
***
Tapi pada kenyataannya : Badriah dan Mandor Kero menitih asmara di punggung pantai. Mandor Kero merayu Badriah. “Kamu cantik, Say. Rambutmu indah. Pipimu indah. Hidungmu bangir. Enggak tahan Abang memandang.”
“Masak sih?”
“Raba dada Abang kalo enggak percaya.”
Badriah malu-malu meraba dada berambut itu
“Abang sayang padamu, Yang. Kamu cantik. Beda sama istri Abang yang jelek, tua , cerewet.”
“Masak sih? Lalu mengapa dulu Abang menikahinya?”
“Terpaksa aja. Abang sebenarnya tak cinta padanya. Abang akan menceraikannya. Lalu kita nikah, Say.”
“Kita nikah Bang?”
“Ya sayang…Abang kan serius sama kamu.”
Mandor Kero membelai rambut panjang Badriah, menciumnya. Angin laut berembus resah. Ombak di laut bergulung sedih dan menangis pilu. []
Kota Ukir, 16 Maret-01 September 2020