Sang Panggung: Jalan Sunyi Kesenian Tradisi
Oleh Christian Heru Cahyo Saputro
PENAKA kerakap di atas batu. Ujaran yang pas untuk menggambarkan kehidupan ke(seni)an tradisi warisan leluhur saat ini. Hidup segan mati tak mau. Kesenian tradisi makin terjerembab ke jalan sunyi. Apalagi ketika era globalisasi dengan dukungan teknologi yang canggih tak bisa dibendung tanpa henti terus membobardir hingga pelosok-pelosok kampung dan ruang privat.
Kehidupan manusia tersandera televisi dan gajet. Ini yang menjadi salah satu musabab ke(seni) an tradisi terasing bak melangkah di jalan sunyi. Ditambah lagi dengan situasi terkini, ketika pagebluk pandemi Covid -19 ini ikut meluluhlantakkan berbagai sendi kehidupan termasuk jagad kesenian.
Panggung seni tradisi yang biasanya memang sudah jauh dari “kemakmuran”, makin sunyi dan terpuruk terdampak pandemi. Para seniman untuk mempertahankan eksistensi pun berkompromi untuk mengikuti langkah disrupsi dengan pentas dari di panggung virtual dan juga melakoni pentas climen berdamai dengan situasi pandemi agar tak menabrak protokol kesehatan anjuran pemerintah.
Lakon “Sang Panggung” yang ditaja Teater Lingkar, Semarang, dalam pentas daringnya yang mengusung kisah kesenian “Ketoprak Tobong” merupakan gambaran kekinian seni tradisi yang terasing di kampungnya sendiri.

Pakeliran Sampak’an
Naskah lakon bertajuk : “Nyi Panggung” karya Eko Tunas diadaptasi oleh sutradara Sindhunata Gesit Widharto, S.Sn menjadi “Sang Panggung”. Pementasan “Sang Panggung” yang sekaligus merupakan karya yang diajukan sebagai Tugas Akhir Program S2 Intitut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sutradara Sindhunata Gesit Widharto, S.Sn — juga salah satu aktor Teater Lingkar– jadi tesisnya dengan tajuk: Pakeliran Sampak’an “Sang Panggung“
Pementasan”Sang Panggung” ini didukung lakon dari anggota Teater Lingkar (Semarang); Denmas Eko/Dalang (Sindhu), Nyi Gadhung Mlathi (Niken), Darbol (Yaya), Bandhot/Bandhung Bandhawasa (Roso Power) Laras/Lara Jonggrang (Ning), Paimin (Teguh Tegsa), Jabrud (Pay) Tukang Pijat (Wiwiek), Bodrex/Prabu Baka (Prieh Raharjo), Jujuk (Neena Ponny), Polenk–polahe koyo celeng– (Anto Galon), Penari Tari Nisin (kreasi putri): Nimas Ponta-Ponti, Cemblex, Distra, Destya dan Penari Prajurit Soreng (Putra): Aziz Ganong, Irawan, Gayuh, Bagus, Danang. Sedangkan tokoh Ndrajid merupakan tokoh imajinatif yang hanya diceritakan dalam dialog, tidak dimunculkan.
Sang sutradara Sindhunata, dalam pementasan “Sang Panggung” ini mendaphuk ; Maston Lingkar, Preh Raharjo, Budi Wuwu, dan Edi Morpin sebagai asisten sutradaranya. Sedangkan ilustrasi musik yang dikomandani Githung Sugiyanto digarap bersama mahasiswa ISI Surakarta dan Teater Lingkar, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Githung yang diberi kepercayaan menata musik pementasan ini, membabar, konsep musik dalam pementasan ini digarap dinamis untuk membangun suasana sesuai dengan konsep pementasan sampakan yang mengolabirasikan berbagai unsur seni berupa tari, wayang, dan teater. “Musik harus bisa membangun sauasana dan sinkron dengan lakon . Apalagi musiknya juga ada dari unsur barat dan timur,” terang Githung.
Ruang Pusdiklat markas Teater Lingkar berukuran sekira 90 meteran disulap menjadi studio pentas daring. Studio disetting menjadi panggung besar yang dibagi menjadi empat panggung kecil.
Sebelum lakon dibabar, dalam bincang-bincang pendek sang sutradara Sindhunata mengatakan, kalau dia merombak habis-habisan naskah “Nyi Panggung” menjadi “Sang Panggung. “Jadi benar-benar berubah 180 derajat dari naskah aslinya. Atas seijin penulisnya hanya saya ambil ruh, tema dan semangatnya, ” terang Sindhunata.
Lebih lanjut, Sindhunata, kalau dalam “Nyi Panggung” hanya satu pemeran (Nyi Panggung) yang jadi fokus cerita atau daya tarik cerita, tetapi dalam “Sang Panggung” besutan saya ini , semua pemain punya peran sesuai dengan tokoh yang dimainkannya. “Jadi pementasan “Sang Panggung” ini lebih kompleks, meriah, dan menarik, apalagi naskah ini saya garap dengan konsep sampakan,” beber Sindu di jeda persiapan pementasan.
Konsep Pakeliran Sampak’an “Sang Panggung” ini merupakan pementasan bentuk perpaduan antara pakeliran wayang kulit, tari, teater tradisi (ketoprak) dalam satu panggung besar yang terbagi dalam empat panggung kecil.
Panggung kesatu, area Sang Dalang, panggung kedua, area siluet Sang Dalang, panggung ketiga, area tari dan area keempat tobong ketoprak Eko Mardhika.
Lakon “ Sang Panggung” mengisahkan mengisahkan kehidupan seni tradisi ketoprak tobong “Eko Mardhika” yang semakin terdesak kekuatan media elektronik. Era globalisasi, digitalisasi, menjadikan dunia jadi kampung global, media elektronik berupa televisi, gajet, membuat seni tradisi makin tersingkir.
Apalagi pola pikir kekinian yang tak lagi memandang kearifan dan nilai luhur membuat seni tradisi warisan leluhur makin terdesak. “Kaum kapitalis para penguasa media (televisi) hanya mementingkan dirinya sendiri ini. Ini juga yang menjadi salah satu faktor penyebab kesenian tradisi terpinggirkan,” ujar lelaki yang suka mendalang sejak bocah ini.
Nguri-uri dan Ngurip-urip
Dialog-dialog dalam pementasan ini mengusung narasi berupa persoalan-persoalan kehidupan keseharian awak panggung. Dialog-dialognya juga menarasikan kegelisahan tentang keberlangsungan kehidupan seni tradisi yang selama ini digeluti dan jadi satu-satunya tumpuan kehidupannya. Hingga menukik kepersoalan bangkrutnya kesenian tradisi.
Dikisahkan, Denmas Eko (yang diperankan Sindhunata) pemilik tobong ketoprak Eko Mardhika yang didukung awak ketopraknya mencoba untuk bertahan hidup dengan segala daya upayanya agar tobong kehidupannya tak bangkrut.
Tokoh sentral “Sang Panggung”, Denmas Eko ini meski pun tradisi tapi stylenya dan fashionnya harus menggambarkan milenial. Muda dan “berbahaya”, stylenya rock and roll tapi jiwanya itu tradisi dalam artian pedalangan sudah manuksma—menjiwo — manunggal nyawiji jadi satu dalam jiwa–.
Kalau dalam istilah sastra pedalangan ada bahasa manuksma yang punya arti sudah merasuk dalam sukma cintanya pada seni tradisi maksudnya termasuk jagad pedalangan.
Kesenian tradisi tak hanya diuri-uri tetapi juga diurip-urp. Nguri-uri itu hanya senang thok tetapi kalau ngurip-urip itu ya menghidupi termasuk gelem nanggap, mau terjun langsung, ngopeni dan sebagainya.
Pergelaran lakon “Sang Panggung” ini sarat pesan dan muatan moral. Sindhunata menandaskan, Sang–adalah sesuatu yang terhormat. Sedangkan Panggung dalam hal ini merupakan ruang yang tak terbatas dan sebagai tempat dalam menumbuhkembangkankreativitas seni tradisi yang elok, agar tak tergusur tetapi juga disukai milenial bertumbuhkembang dan lestari.
Inovasi dan Kreativitas
Lebih lanjut, Sindhunata, mengatakan, seharusnya, era globalisasi memberikan inpirasi positif bagi masyarakat Indonesia termasuk pelaku kesenian. Era globalisasi harus disikapi dengan kreatif dan inovatif sehingga seniman memiliki kemampuan yang kompetitif agar dapat bersaing secara sehat di panggung kesenian yang kini makin mengglobal tak terbatas. ”Kalau panggung kesenian tradisi kini banyak ditinggalkan dan tak ditonton kaum milenial. Jangan salahkan para milenial. Tetapi pelaku seninya harus instropeksi. Di Kids Zaman Now ini para pelaku harus melakukan inovasi dengan berbagai kreasi dengan menyuguhkan pentas yang tak stagnan dan membosankan. Tetapi juga tak merusak pakem, ” ujar Sarjana Seni Pedalangan jebolan ISI Surakarta ini mengingatkan.
Lewat pementasan “Sang Panggung” ini juga Sindhunata selaku sutradara juga ingin menyampaikan pesannya agar para penonton yang sebagian besar mahasiswa yang kelak bakalan menjadi penggede. Audies akan ingat pernah ada pementasan “Sang Panggung”, sehingga tidak meremehkan dan semena-mena terhadap kesenian tradisi warisan nenek moyang bangsa kita. “Mereka nantinya akan teringat pernah melihat pementasan teater “Sang Panggung” karya saya ini,” ujar lelaki kelahiran 10 Januari 1996 ini.
Di samping itu, Sindhunata, lewat garapannya ini, yang mengkolaborasikan pedalangan, tari, karawitan, berharap seni tradisi akan bertumbuhkembang di bumi nusantara.” Saya tak ingin nantinya orang Indonesia akan nonton wayang, tari tradisional dan karawitan justru ke luar negeri misalnya, ke Belanda atau Amerika,” ujar anak dari founder Teater Lingkar Suhartono Padmo Sumarto alias Maston Lingkar.
Selain itu, Sindhu juga ingin,kesenian tradisi di Indonesia juga dihormati dan dihargai seperti di luar negeri. Sindu menambahkan di luar negeri kesenian kita dihargai mahal. Jadi jangan salahkan juga kalau banyak seniman kita yang berkarya di luar negeri. Bukan mereka tak bangga dengan bangsa dan negaranya. “Untuk nonton mereka harus membayar mahal bahkan hingga ratusan dolar. Dan penontonnya membludak. Tetapi di sini pertunjukkan digratiskan saja penontonnya pun sepi,” sindir Sindhunata prihatin. []