Yahudi Bisa Jadi adalah Kita: Muhasabah Tahun Baru
Oleh Doddi Ahmad Fauji
SAYA tumbuh dan besar di lingkungan Persatuan Islam (Persis), salah satu organisasi Islam yang menganut Wahabiah, yang apa-apa dalam urusan ibadah mahdoh maupun ghoir mahdoh, selalu berpatokan pada Quran dan hadits. Bila terjadi perbedaan pendapat apalagi sampai debat, segera bertanya, “apa dalilnya?”
Persis meneruskan ajaran Muhammad Abduh (dari Mesir) yang bertujuan memurnikan ajaran Islam dari aneka pengaruh budaya, termasuk Islam di Kota Makkah, dengan cara kembali pada Quran dan Sunnah (hadits, tarikh, dan ijma (kesepakatan para ulama). Jihad (pendapat) individual nyaris tidak diterima, apalagi jika nyata-nyata bertentangan dengan Quran dan hadits. Dilihat dari mazhab 4 Imam, ajaran Muhammad Abduh ini cenderung dekat pada konsepsi Imam Maliki dan Imam Hambali. Pengamal ajaran Muhammad Abduh sering disebut Wahabiah, dan dilabeli pula sebagai salafy (berpedoman lebih utama pada Quran dan Sunnah).
Adalah orang Persis, setahu saya, yang bawel mengomentari aneka ritual dengan bid’ah. Kegiatan seperti Musabaqoh Tilawatil Quran, tahlilan, marhaban, qunut tiap Subuh, menabuh bedug bahkan solawatan, akan dibilang bid’ah. Dalil tentang bid’ah ini berbunyi: qullu bid’atun dholalaa, waqullu dholala finnar (setiap yang bidah itu sesat, dan setiap yang sesat masuk neraka). Hingga tamat SMA, saya penganut paham yang diajarkan Persis, sehingga di masa SMA sering debat sama teman sebangku, yang adalah golongan Nahdliyiin.
Lalu saya keterima kuliah di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, IKIP Bandung. Ini sebenarnya pilihan ketiga. Pilihan pertama jurusan Fisika, lalu Matematika. Mungkin ini semacam karma, karena di saat SMP dan SMA, saya tidak menyukai pelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yang bila direnungkan sekarang, karena metode mengajar dari guru, tampak kurang atau malah tidak memikat. Terutama bidang sastra, hanya berupa hapalan judul-judul karya sastra, yang bisa jadi gurunya sendiri tidak membaca buku yang judulnya harus dihapal itu. Memang pernah ada satu guru saat kelas 1 SMA, namanya Ibu Rosa, yang ketika ia melanjutkan kuliah ke jenjang S1, ketemu saya di Jurdiksatrasia. Ibu Rosa ini yang memperkenalkan Merahnya Merah karya Iwan Simatupang. Ia menceritakan isi novel itu, tapi kala itu, saya tidak tertarik. Saat kuliah, saya terkagum-kagum pada karya Iwan Simatupang.
Di saat kuliah itulah, tentunya saya bertemu dengan manusia dari cukup banyak aliran, etnis, dan juga agama. Juga ketemu kawan-kawan pecinta sastra dan ingin menjadi penulis, salah satunya adalah alm Wan Anwar. Buku-buku yang disarankan untuk dibaca oleh Wan Anwar, membuka cakrawala saya tentang aneka hal, termasuk masalah agama. Pertemuan dengan Wan Anwar ini yang akhirnya juga menyeret saya berkenalan dengan teater, dan di teater, saya menjadi sparing partner dari Nandang Aradea, yang juga sudah almarhum. Wan Awar dan Nandang Aradea, saya katakan, adalah dua orang sahabat dalam pergaulan kampus yang sering kali saya rindukan. Semoga keduanya meraih maghfiroh dan berkah Allah. “Ilmu dan keberanian yang kalian tularkan, adalah salah satu dari tiga amal yang pahalanya memanjang, terus memanjang….”
Karena kuliah di Jurdiksatrasia itu, saya bertemu tokoh-tokoh penting dalam sastra. Dan dari diskusi dengan berbagai tokoh itu, muncul sifat toleransi. Kini saya tidak akan latah menyebut atau memberi cap bid’ah lagi kepada aneka ajaran Islam yang beragam ini. Bahkan, ketika saya berdialog dengan tokoh Hindu, ia membuka pengertian tentang banyak hal, misalnya soal ‘kemenyan’ yang untuk orang Persis, akan dibilang musyrik bila menyalakan kemenyan untuk merapal mantra. Kata tokoh Hindu tersebut, kemenyan itu kan sama dengan obat nyamuk, adalah serbuk dari melamin kayu, yang bila dibakar, mampu mengusir mahluk halus. Melamin dalam obat nyamuk, itu kadarnya kecil, sehingga hanya bisa mengusir nyamuk. Namun melamin dalam kemenyan asli (campurannya kurang), tentu saja orisinal, sehingga mampu mengusir makhluk yang tidak terlihat, yang sering disebut makhluk halus, macam virus. Nah, virus Korona yang kasat mata itu, adalah mahluk halus yang bisa disebut jurig, dedemit, dll. Pantesan orang tua dulu suka melarang anak-anak main ke kebun, tempat pembuangan sampah, yang disebut jarian. “bisi dihakan jurig jarian.” Jurig jarian yang dimaksud, bisa jadi adalah virus yang memang bisa membuat manusia sakit, kadang kesurupan, bahkan mematikan seperti korona.
Saat korona memuncak, saya menyalakan kemenyan seperti di Wuhan (dupa), yang membuat Kota Wuhan sebagai yang dituding asal mula korona, justru menjadi kota yang pertama bersih dari korona. Salah satunya berkat kemenyan yang bernama dupa.
Juga sekarang ini saya akan berusaha tidak mengatakan kafir kepada siapa pun. Sebab, salah satu etimologi dan terminologi kafir itu berbunyi, tertutup. Oleh apa tertutupnya? Bisa oleh apapun, dan kita pun bisa tergolong pada orang-orang yang tertutup, seperti mengenakan kacamata kuda, dan ‘kurung batokeun’, dan apa-apa, hanya ditinjau sekilas lalu dikomentari berdasarkan perspektif sendiri yang terbatas, simplifikatif, oposisi biner, hitam-putih.
Pepatah mengatakan, “telunjuk lurus kelingking berkait,” yang artinya, kita menuding seseorang itu A dengan telunjuk, tetapi tiga jari secara sembunyi menuduh A pada diri sendiri. Makna tahun baru salah satunya adalah ruang untuk muhasabah, introspeksi diri, agar aku tidak telunjuk lurus kelingking berkait.
Lucu sungguh, di sosmed ada postingan mengatakan, merayakan tahun baruan itu sama dengan ikut budaya Yahudi, itu bisa masuk neraka. Lucu sungguh, ia memposting pernyataannya itu melalui sosmed, yang merupakan karya anak Yahudi. Kalau anti-Yahudi dan mau memboikot produk Yahudi termasuk Amerika, berarti tidak bisa ber-sosmed dong. Kenapa tidak memboikot FB, WAG, Instagram, Tiktok, Youtube, Twitter, yang merupakan produk Yahudi?
Saya berkomentar, mereka yang merayakan tahun baru bersama keluarga atau teman-teman, atau menonton pertunjukan berjamaah, itu sedang melakukan ‘healing’ sambil silaturahmi. Ada pun mereka yang merayakan tahun baru dengan hura-hura hingga pesta miras, itu bukan saja di malam tahun baru yang mesti ditentang, di hari lain pun harus ditentang, apalagi jika terbukti merugikan orang lain.
Lalu siapa Yahudi itu?
Kita bisa meninjaunya dari sisi genetis, ras, dan ideologi. Secara genetis, Yahudi adalah para putra Yaqub yang gemar berpergian, mengembara, incognito, sehingga mereka digelari bani Israil (pengembara). Putra Yakub terbesar, namanya Yahuda. Ia selalu berhasil mempengaruhi 9 adiknya, untuk ikut pada gagasan-gagasan yang menyimpangnya. Dua adiknya yang terakhir, Yusuf dan Benyamin, selalu gagal mereka ajak, apalagi Yakub begitu protektif. Dari keturunan Yahuda dan adik-adiknya itu, muncul istilah Yahudi (pengikutku) yang dalam bahasa ilmiahnya diberi nama rumpun Smith. Orang Inggris menyebutnya Jews, seperti mendekati istilah Zeus untuk dewa matahari di Yunani, atau mazusi yang menyembah api itu.
Secara karakteristik, dapat dilihat karakter Yahuda dan adik-adiknya, yang secara sadar maupun tidak, terwariskan kepada anak-anaknya. Dalam Inzil dan Quran digambarkan, karakter Yahudi itu adalah membangkang terhadap perintah Allah dan Rasul-Nya, dan membunuh para Nabi dari keturunan mereka sendiri. Ada sekira 150-an Nabi bagi bangsa Yahudi. Banyak Nabi yang mereka bunuh, termasuk Yahya putra Zakarias, dan hendak membunuh Isa putra Maryam. Juga digambarkan dalam kitab suci, karakter lain dari Yahudi adalah rakus dalam mengumpulkan kekayaan, merekedeweng, serta mengibuli orang demi keuntungan pribadi. Dalam Surat Al-Baqarah dituturkan, bagaimana rakusnya Yahudi, hingga mengibuli Musa.
Dalam al-Baqarah itu, kurang lebih Musa berkata seperti ini, “Sudahlah sehari saja, di hari Sabat yang disucucikan ini, kalian berhenti dari mengurusi masalah dunia. Kita fokus, itiqaf, hanya beribadat mengagungkan Allah.”
Mereka setuju. Namun sejak matahari tenggelam, mereka pergi ke sungai dan masang bubu, alat perangkap ikan, hingga ayam berkokok. Mereka pulang dengan tubuh letih. Esoknya, mereka tidur karena semalaman begadang. Sayang Bang Haji Rhoma belum lahir, untuk menasehati mereka, “begadang jangan begadang, kalau tiada artinya!”
Di siang itu, Musa culang-cileung, dengan pertanyaan pada ke mana ini umatku. Musa mencari ke rumah-rumah, ternyata mereka tidur hingga seharian. Mereka berkilah, kami tidak mengurusi dunia, kami tidur. Malam tiba, lalu pergi ke sungai untuk memeriksa bubu perangkap ikan. Pada saat itulah turun kutukan, “Kalian akan menjadi monyet yang menjijikan,” (QS. 2: 65, QS: 7: 166).
Tentu saja monyet di sana adalah majas kiasan, bukan kera secara harfiah, namun sifat rakus-nya menyerupai kera. Tangan kanan memegang pisang, dan segera mengunyahnya, hingga habis, sebagian disimpan dalam tembolok. Bila dikasih lagi pisang, monyet akan mengambilnya, padahal mulutnya masih mengunyah, dan bila dikasih lagi, akan mengambilnya dengan lengan satunya lagi, dan bila dikasih lagi, akan mengambil dengan kakinya. Begitulah gambaran kerakusan sifat Yahudi.
Nah, sifat rakus, merekedeweng, kokoro manggih mulud, ini bisa menimpa bangsa manapun, termasuk bangsa Indonesia. Ia yang menenggelamkan Sidoarjo dengan lumpur Lapindo, lalu berusaha mengucurkan anggaran uang negara untuk menutupi kerugian, pada dasarnya memiliki sifat Yahudi. Lurah Moelyono yang dengan segala akalnya mengusahakan pangeran bisa naik tahta padahal menurut konstitusi tidak memenuhi syarat, pada dasarnya mengandung sifat merekedeweng seperti Yahudi.
Tetapi aku mesti berhati-hati menunjuk siapapun, sebab seperti kata pepatah, “telunjuk lurus, kelingking berkait!”
Cag. []
————–
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan