Indonesianisasi Ilmu Sosial

Oleh Febrie Hastiyanto
KETIKA pertama kali mendapat tugas dari dosen untuk menulis resume satu buku teks berbahasa Inggris, saya sempat gugup mengingat skor TOEFL saya yang pas-pasan. Namun karena dipaksa situasi, saya memberanikan diri menerjemahkan secara bebas buku teks yang diminta sang dosen. Di Perpustakaan Fakultas saya mulai membaca dengan teliti satu bab yang hendak saya resume. Membaca paragraf demi paragraf membuat saya lupa pada kegugupan saya. Meskipun tak yakin benar dengan terjemahan saya, namun beberapa jam kemudian saya dapat “menebak” apa maksud penulis dalam buku tersebut.
Dalam menyusun resume saya terbantu oleh banyaknya kosakata Bahasa Inggris yang telah diserap oleh Bahasa Indonesia. Saya mencatat pada paragraf pertama buku tersebut terdapat 158 kata, hampir seperlima diantaranya (23 kata) adalah kata-kata yang secara efektif telah menjadi Bahasa Indonesia, seperti national, corruption, modern, public, administration, structures, procedurally, potential, management, concepts, auditing, manager, conflicts, service, civil, systems, nonpartisan, politicians, reform, ethics, reducing, dan types.
Belum lagi kata-kata Bahasa Inggris yang meskipun tidak kita serap namun cukup familier di kalangan masyarakat seperti kata city, state, governments, developments atau concern. Selain sebagian kata yang belum pernah saya baca, dalam paragraf tersebut saya terbantu oleh kata sambung dan penjelas seperti and, in, for, of atau or yang artinya sudah saya ketahui. Dengan modal kosakata (vocabulary) yang sering saya temui, tanpa menguasai dengan baik tata bahasa (grammar) saya dapat menarik benang merah perspektif apa yang hendak dibangun penulis. Tentu saja metode penerjemahan saya jauh dari kata ideal dan tak patut ditiru mahasiswa lain.
Cita Rasa “Inggris”
Dalam pengalaman membuat resume, saya mendapati beberapa hal yang menarik untuk didiskusikan. Kata-kata seperti national, public, administration, management, auditing atau ethics tidak hanya berkedudukan sebagai lema dalam kamus. Kata-kata ini sesungguhnya telah menjadi konsep, abstraksi dari realitas sosial. Bila kita sepakat dengan pernyataan bahwa kata sekaligus mencerminkan konsep dalam bahasa keilmuan, dapat dikonklusikan secara sederhana bahwa hampir semua aspek ilmu sosial kita mengadopsi paradigma dari luar negeri, utamanya Amerika Serikat. Bahkan kita tidak memiliki kata asli untuk menggantikan kata “sosial” yang kita serap secara bulat dari kata social. Meski demikian, beruntung kita masih memiliki kata “budaya” sebagai terjemah kata culture.
Konsep-konsep ilmu sosial yang kita kenal macam interaksi, toleransi, status, motivasi, termasuk perilaku, hampir kesemuanya disarikan dari penelitian-penelitian yang dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat. Celakanya, Perguruan Tinggi di tanah air lebih banyak menjadikan penelitian-penelitian yang dilakukan di luar negeri sebagai referensi yang kemudian dikodifikasi sebagai teori. Padahal sebagai bangsa yang beradab kita juga telah mengkodifikasi seperangkat tata nilai yang juga dapat disebut teori.
Dosen-dosen umumnya menugaskan mahasiswa membaca atau menyusun resume dari buku-buku teks berbahasa Inggris. Tidakkah babad, tambo, parasasti atau kitab-kitab kuno seperti Negarakertagama atau Kuntara Raja Niti dan I Lagaligo juga memuat konsep-konsep administrasi publik, interaksi sosial, atau deskripsi sosial masyarakat Indonesia pada satu masa. Konsep Clifford Geertz soal santri, priyayi, dan abangan misalnya, meskipun banyak dikritik namun dianggap mampu menggambarkan struktur kelas dalam masyarakat Jawa. Konsep marhaenisme Soekarno juga tepat memotret realitas kelas di tanah air yang berbeda konteks dengan struktur borjuis-proletar ditimbang dari aspek kepemilikan faktor produksi. Begitu juga konsep-konsep “pranata” yang ekuivalen dengan konsep “norma,” atau “tenggang rasa” yang identik dengan “empati” termasuk konsep “toleransi” yang dalam bahasa kita disebut “tepo seliro.”
Teori dan Praksis
Dalam banyak aspek, konsep dan teori yang dipelajari bertahun-tahun di bangku sekolah dan perguruan tinggi menjelma menjadi imaji nasional yang kemudian hendak diwujudkan dalam relasi kebangsaan sehari-hari. Pada konsep demokrasi misalnya, kita gagap ketika hendak mengaplikasikannya dalam konteks keistimewaan Yogyakarta. Refleksi keistimewaan Yogyakarta sesungguhnya mengajak kita kembali bertanya: apa sebenarnya makna demokrasi? Dengan formulasi macam apa ia diimplementasikan? Kita kemudian mencari-cari landasan teoritis “demokrasi Yogyakarta” yang tak ekuivalen dengan “demokrasi model Amerika.” Tak hanya soal Gubernur ditetapkan atau dipilih, kita masih berdebat apakah laku pepe; berjemur di Alun-Alun sebagai tanda kritik apakah dapat disebut sebagai tindakan yang demokratis.
Indonesianisasi ilmu sosial tentu bukan perkara mudah. Soal lain yang perlu menjadi perhatian adalah koleksi manuskrip-manuskrip kuno kita banyak diangkut ke luar negeri pada masa penjajahan. Manuskrip Negarakertagama saja “ditemukan” ketika Belanda menyerang satu Puri di Lombok. Belum lagi “bergerobak-gerobak” manuskrip yang dirampas Inggris dari Kesultanan Yogyakarta. Alasan praktis lain: mahasiswa akan semakin kerepotan. Membuat resume buku teks berbahasa Inggris saja harus bekerja keras, apatah lagi meresume manuskrip-manuskrip berbahasa Sanskerta. Meskipun saya percaya dosen saya seorang intelektual sejati, sebagai mahasiswa yang “baik” tentu saya hanya “berani” curhat dalam esai ini. Sudah barang tentu, sebagai mahasiswa ketakutan terbesar saya adalah terancam cumlaude. []
————–
Febrie Hastiyanto, Wakil Ketua Dewan Riset Daerah Kabupaten Tegal.
