Sosok

In Memoriam Jacob Oetama

SAYA cuma wartawan lokal dan lebih sering bermain lokal-lokal saja, tidak sampai menasional, apalagi mengglobal. Tapi, untunglah ada koran yang sangat membantu saya mengetahui apa yang terjadi di daerah lain, bahkan di belahan dunia lain.

Ya, koran. Saya besar bersama koran (media cetak). Dunia digital itu baru.

Saya salut dengan pers yang masih bertahan atau mempertahankan media cetaknya. Saya sangat hormat dengan tokoh-tokoh pers nasional yang menginternasional dan melegenda. Dan, saya lebih kagum lagi dengan perintis/pendiri koran (cetak) yang eksis dalam kurun waktu panjang hingga kini, bahkan diwariskan ke generasi ketiga atau keempat. Itu luar biasa sekarang ini di tengah gempuran globalisasi yang “mendewakan” internet (digitalisasi).

Di sinilah nama seorang Jacob Oetama (1931– 2020) menempati tempat utama sesuai namanya. Tahun 1980-an Kompas bagi saya sama saja dengan koran-koran lain. Apalagi koran ini tidak memuat puisi, yang mulai saya gandrungi gegara para penyair Lampung kala itu, seperti Suara Karya, Pelita, Merdeka, Berita Buana, dan lain-lain. Ketimbang membaca Kompas, saya lebih suka membaca majalah Anita Cemerlang, Aneka Yess, Hai, dan majalah remaja lainnya. Hahaa… namanya juga ABG.

Sebelumnya, saya juga tak tahu Pak JO, begitu Jacob Oetama biasa disapa. Sampai suatu hari di Perpusda Lampung saya menemukan sebuah buku tebal banget berjudul Kompasiana (1981). Penulisnya PK Ojong (1920-1980). Itu juga setelah buku fiksi di Perpusda ini habis saya baca dan tak ada lagi yang bisa saya pinjam atau dikutil.

Luar biasa buku Kompasiana ini. PK Ojong sangat piawai mengolah kata menjadi kalimat dan paragraf pendek-pendek, jelas, dan menarik – sesuai dengan prinsip-prinsip bahasa Indonesia jurnalistik deh – untuk berbagai tema dengan perspektif yang kuat. Ow, rupanya inilah yang namanya kolom (column). Dan, buku ini adalah kumpulan kolom PK Ojong di rubrik Kompasiana yang ditulis rutin oleh PK Ojong.

Nah, dari Kompasiana inilah, saya baru tahu PK Ojong pendiri Kompas. Dan, olala… ketika saya mulai membaca Kompas dan menjadikannya koran nasional yang wajib disimak – waktu itu, saya sudah mulai agak pinteran dikit, hehee… – ternyata, ada Jacob Oetama yang juga menjadi pendiri Kompas tahun 1965 bersama PK Ojong.

PK Ojong sudah sangat cerdas. Tentulah, tokoh pers kelahiran 27 September 1931 di Kecamatan Borobudur, Jawa Tengah ini demikian pula halnya. Tajuk-tajuk rencana (editorial) Kompas yang sangat brilian tentulah berasal dari Pak JO. Begitu juga opini-opini dan artikel-artikel yang dimuat Kompas bagus-bagus. Sangat solutip, kata Bu Tejo.

Berita-berita dan reportase dari wartawan Kompas sangat dalam dan kuat. Kalau sebelumnya, baru ada cerpen, esai, dan tulisan seni-budaya, belakangan Kompas juga memuat puisi. Para penulis di Kompas juga merasa menjadi lebih terhormat karena melalui Penerbit Buku Kompas, lahirlah buku-buku kumpulan cerpen, buku kumpulan puisi, kumpulan esai, dan lain-lain.

Di balik semua itu, dari teman-teman jurnalis lain, ketika bertemu dalam berbagai even di Jakarta misalnya, saya mengetahui bahwa ada Jacob Oetama – setelah PK Ojong — yang telah meletakkan pondasi kuat bagi pertumbuhan ideal Kompas (dan grup) sebagai industri pers. Harus diakui, saat ini Kompas adalah surat kabar nomor satu di negeri ini.

Tak semata bisnis, Kompas menyodorkan banyak hal yang berharga bagi pers dan jurnalisme Indonesia. Jurnalisme damai, jurnalisme makna, jurnalisme yang menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai bagian dari kerja media banyak lahir dan dipraktikkan di Kompas.

Halaman sastra (seni-budaya) Kompas yang bertahan hingga kini tidak lepas dari pesan Jacob Oetama. Setidaknya, itu saya ketahui dari Bre Redana, salah satu wartawan senior Kompas dalam Temu Redaktur Kebudayaan se-Indonesia di Jakarta, 9-11 Oktober 2012.

Hari ini, Rabu, 9 September 2020 di Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara, Pak JO berpulang, pergi untuk selamanya. Jakob wafat karena mengalami gangguan multiorgan. Usia sepuh kemudian memperparah kondisi Jacob hingga akhirnya mengembuskan napas terakhir.

Pak JO memang tiada. Tapi, ia mewariskan banyak hal, terutama idealisme dan wawasan jurnalisme kepada kita. Itu cukuplah baginya menjadi bekal terbaik menghadap Ilahi. Amin. []

* Fotonya pinjam punya Kompas.

Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

To Top